Jumat, 17 April 2015

Tiga Perusahaan Cemari DAS



              MESUJI - Setidaknya tiga perusahaan dari 27 perusahaan yang ada di kabupaten Mesuji mencemari lingkungan yaitu membuang limbah ke Daerah Aliran Sungai (DAS). Hal ini dipastikan setelah Komisi C DPRD Mesuji melakukan kunjungan lapangan dan menemukan titik-titik yang menjadi lokasi pembuangan limbah perusahaan.
Ketua Komisi C DPRD Mesuji Dedi Mulyadi menyebutkan, ada tiga perusahaan yang membuang limbah ke sungai dan diduga mencemari lingkungan. Ketiga perusahaan tersebut antara lain PT. Garuda Bumi Perkasa di Kecamatan SimpangPematang yang bergerak pada induStri penggilingan minyak kelapa sawit, yang limbahnya mengaliri sungai di Desa Agungbatin dan sekitarnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh  PT. Tunas Baru Lampung (TBL) yang juga bergerak di industri penggilingan kelapa sawit yang saat ini limbahnya mencemari aliran sungai Waymati, Kecamatan Mesuji yang bermuara di Sungai Besar Mesuji. "Bahkan akibat pencemaran yang dilakukan oleh PT TBL dan SIP saat ini aliran sungai Mesuji tidak dapat dimanfaatkan warga untuk kebutuhan sehari-hari," ujar Dedi.
 Untuk itu, lanjut Dedi, pihaknya dalam waktu dekat akan segera memanggil pihak perusahaan untuk dimintai keterangan dan segera memperbaiki pembuangan limbah perusahaan.  "Selain itu, tanggung jawab perusahaan terhadap masyarakat sekitar perusahaan melalui Coorporate Social Responsibility (CSR) juga kita harapkan dipenuhi. Karena saat ini perusahaan yang ada di Mesuji terkesan tutup mata dengan kondisi masyarakat setempat," tandasnya. (mg3/drm)

Kamis, 16 April 2015

Desak Normalisasi Sungai - Pembangunan Hotel Horison Langgar GSS dan GSB

Surat Kabar HarianTrans Lampung, 17 April 2015 

BANDARLAMPUNG – Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Lampung mendesak agar manajemen Hotel Horison mengembalikan fungsi sungai Way Simpur. Pihak pengembang maupun manajemen Hotel Horison harus membongkar beton penutup sungai, dan melebarkan badan sungai seperti sediakala.“Kami telah meninjau lokasi, dan ternyata pembatas sungai yang tadinya tanggul, kini dibuat pondasi, tetapi telah dipersempit. Permukaan sungai juga ditutup dengan cor beton, bahkan ada satu cabang aliran sungai yang ditutup atau dibendung,” ujar anggota Dewan Daerah Walhi Lampung, Indra Firsada, Kamis (16/4).
Menurut Indra, pada 20 Maret 2015 pihaknya telah memberikan somasi kepada pengembang hotel dan manajemen hotel, tetapi tidak dihiraukan. “Nggak ada respon sampai saat ini,” imbuhnya.
Walhi Lampung, lanjutnya, mendesak Hotel Horison untuk mengembalikan fungsi sungai, membongkar bangunan lima meter di sisi kanan dan kiri sungai. “Ini pelanggaran terhadap Perda Nomor 10 Tahun 2011. Nggak boleh ada bangunan di sisi kiri dan kanan sungai,” ujarnya lagi.
Jika manajemen Hotel Horison tidak mengembalikan fungsi sungai Way Simpur, Walhi Lampung meminta kepada Walikota Bandarlampung agar mencabut izin operasional hotel.
Indra kemudian menyebutkan, pada hari Rabu (15/4) sore ada dua rumah warga di belakang hotel yang kebanjiran.
“Saat itu hujan sekitar lima belas menit dan tidak terlalu deras. Padahal, sebelum ada bangunan hotel, hujan deras sekitar dua jam, dua rumah warga itu tidak kebanjiran,” lanjutnya. Perwakilan warga, kata Indra, mengadukan nasib mereka ke Walhi Lampung.
DPRD Kota Bandarlampung menyatakan Hotel Horison di Jalan Kartini melanggar GSB dan GSS. DPRD merekomendasikan agar dibuat manhole, mengembalikan fungsi trotoar, dan menjelaskan status sertifikat tanah, mengingat bangunan hotel ini menutup Sungari Way Simpur.

Tampak Belakang Hotel Horison saat proses pembangunan
Sebelumnya diberitakan, pelanggaran terhadap Garis Sempadan Sungai (GSS) dan penutupan permukaan aliran sungai Way Simpur oleh bangunan Hotel Horison merupakan suatu pelanggaran berat terhadap hukum lingkungan. Sanksi yang dapat dijatuhkan berupa sanksi teguran, sanksi administratif, dan sanksi pidana kepada pelaku dan juga pihak pemberi izin.
Pengamat hukum lingkungan Universitas Lampung Prof. M. Akib, Selasa (14/4) mengatakan, menutup permukaan sungai adalah pelanggaran pidana. “Berdasarkan kacamata hukum lingkungan, dengan menutup permukaan aliran sungai adalah suatu pelanggaran pidana, dimana bukan saja yang melakukannya, tetapi juga pemberi izin dapat dejatuhkan sanksi,” kata Akib, Selasa (14/4).
Manurut dia, dari sisi hukum lingkungan, jangankan menutup permukaan aliran sungai, melanggar batas GSS saja merupakan suatu pelanggaran hukum lingkungan. Hal itu telah diatur dalam berbagai peraturan dan UU, di mana dalam Peraturan Daerah juga telah diatur seperti peraturan tentang RTRW dan IMB oleh Pemerintah Kota Bandarlampung.
Inilah trotoar sebagai fasilitas publik yang dijadikan lahan parkir oleh Hotel Horison
Artinya secara hukum, setiap bangunan jangan sampai melanggar GSS, apalagi menutup sungai. Jika ini terjadi adalah pelanggaran dan bertentangan dengan tata ruang,” imbuhnya.Untuk lebih detilnya, Akib meminta agar semua pihak kembali mengecek isi naskah dalam perizinan yang telah dikeluarkan untuk Hotel Horison, agar lebih dapat dipahami bagaimana bangunan hotel itu dapat diberikan izinnya.
Jika memang Hotel Horison sendiri telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan dan hukum lingkungan, maka sanksinya bisa diperingatkan agar segera membongkar bangunan yang melanggar, atau sanksi administaratif seperti menunda atau mencabut izinnya, atau bahkan sanksi pidana.
Jika memang pihak hotel sendiri telah diberikan izin oleh Pemkot, dan ternyata itu merupakan suatu pelanggaran, maka sanksi yang dijatuhkan bukan saja hanya kepada pihak hotel, tetapi juga pihak Pemkot selaku pemberi izin dapat dijatuhkan sanksi hukumnya. (mg6/drm)