BEBERAPA tahun lalu, ujian nasional (UN) bisa menjadi
semacam histeria massa. Semua kalangan terlibat dalam polemik UN. Terutama para
orangtua/wali siswa dan sekolah. UN menjadi hajat tahunan yang berskala
nasional.
Di masa lalu UN menjadi semacam momok bagi kebanyakan siswa.
Berbagai cara ditempuh agar dapat lulus UN. Bahkan kegiatan berbau mistis kerap
mewarnai jelang dilaksanakannya UN. Pasalnya, UN menjadi penentu kelulusan.
Tidak lulus UN bisa berarti beban mental bagi siswa, tambahan beban biaya bagi orangtua,
dan rusaknya reputasi sekolah.
Tapi, sejak 2015 lalu, UN tidak lagi menjadi penentu
kelulusan. UN menjadi sarana pemetaan mutu pendidikan. Yang belum mencapai
prestasi baik akan dilakukan pembinaan. UN kini menjadi sarana mengetahui
kelemahan-kelemahan dan kekuatan-kekuatan dalam penyelenggaraan pendidikan.
Pelaksanaan UN tahun ini masih menggunakan dua metode yaitu
UN berbasis komputer (UNBK) dan UN berbasis kertas. Peserta UNBK tahun ini
meningkat drastis di berbagai wilayah. Sebanyak 7,6 juta siswa SMP dan SMA
Sederajat akan mengikuti UN tahun ini.
Mencermati fenomena kegelisahan di masyarakat dalam
menghadapi UN, pantas diingatkan kembali hakikat pendidikan. Bahwa pendidikan
sejatinya kebutuhan dasar setiap orang. Penyelenggaraan pendidikan dalam arti
luas adalah kewajiban negara bersama masyarakat (swasta).
Dalam masyarakat modern, tugas mendidik anak-anak sebagai
generasi penerus tidak cukup hanya dilakukan dalam lingkup keluarga. Maka
kemudian sistem persekolahan dipercaya sebagai salah satu cara yang baik untuk
menyelenggarakan pendidikan.
Pendidikan diorientasikan untuk mengangkat harkat dan
martabat kemanusiaan. Pendidikan adalah membangun sikap-sikap mulia, nilai-nilai
yang diyakini kebenarannya, mental mandiri dan karakter bangsa.
Pendidikan secara sederhana dapat dikatakan untuk
memanusiakan manusia, meninggikan derajat kemanusiaan. Pendidikan adalah
membangun pribadi-pribadi yang berakhlaq mulia, berbudi luhur, menghargai
sesama dan mencintai lingkungannya. Pendidikan adalah membangun jiwa-jiwa pengabdi
dengan dilandasi semangat kemanusiaan.
Lantas, apa artinya pendidikan jika pelaksanaan ujian masih
diwarnai kecurangan? Apa gunanya pembelajaran bertahun-tahun bila dalam ujian melalukan
apapun untuk mencapai status “berprestasi”?
Selain kontraproduktif dengan tujuan pendidikan, ia
mendegradasikan nilai-nilai kemanusiaan. Sikap, kecenderungan, dan perilaku
curang dalam ujian jelas mengkhianati dedikasi dan pengabdian para pendidik
sejati. Selain itu, ia juga mendzolimi mereka yang berjuang keras mencapai
prestasi dengan kejujuran.
“Prestasi” yang diraih dengan kecurangan tidak akan pernah
menghasilkan kinerja yang baik dalam masyarakat. Ia justru akan menjelma menjadi bibit-bibit
kecurangan-kecurangan yang lebih besar.
Jika demikian, maka potensi terjadinya kerusakan akan lebih
besar. Pendidikan yang seharusnya menjadi lahan menyebai nilai-nilai kejujuran
justru menjadi lahan perusak masa depan.
Kita berharap semoga penyelenggaraan UN semakin baik, tidak
ada kecurangan, tidak ada intrik, dan tidak ada ambisi elit yang dipaksakan.
Ketidakjujuran bukan karakter bangsa kita. Kejujuran harus berada di atas prestasi. Tidak
ada peradaban yang dibangun dengan cara curang. (*) (Artikel ini dimuat di Harian Trans Lampung, Edisi Senin, 4 April 2016 hlmn 1)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar