Kamis, 10 November 2016

Fenomena Guru Ringan Tangan



Artikel ini dimuat Lampung Post, Senin, 24 Oktober 2016 
PEKAN lalu mencuat kasus yang mencoreng dunia pendidikan. Di Bandarlampung, seorang guru di SDN 4 Sawahlama diduga melakukan kekerasan terhadap siswa kelas VI.
Apa yang terjadi di SDN 4 Sawahlama, adalah guru menampar dan mencubit sejumlah siswa. Alasannya, hanya karena siswa tidak mengerjakan tugas/pekerjaan rumah (PR). Kabar itu awalnya merebak setelah adanya video yang beredar melalui media sosial dan kemudian menjadi pemberitaan media massa. Video itu direkam oleh salah satu siswa.
Mengamati video tersebut, siswa yang mengalami kekerasan oleh guru tidak hanya satu orang. Sedangkan siswa lainnya terlihat menjerit histeris ketakutan. Belakangan beberapa orangtua siswa melaporkan masalah ke Polda Lampung. Walikota Bandarlampung Herman HN berharap masalah ini tidak bergulir ke ranah hukum, karena dinilai akan merugikan semua pihak. Kapolda Lampung Brigjen Pol Sudjarno juga berharap agar kasus ini diselesaikan secara kekuargaan dengan melibatkan orangtua, sekolah, dan Dinas Pendidikan.
Kekerasan yang terjadi di sekolah dimungkinkan dilakukan oleh siapa saja yang memang terkait dalam interaksi pendidikan di sekolah. Bentuknya pun beragam, dari yang bersifat nonfisik seperti membully, kekerasan nonverbal, hingga yang bersifat fisik seperti mencakar, mencubit, menendang, menampar, memukul, dan sebagainya.
Mencuatnya kasus ini ditengarai merupakan fenomena puncak gunung es. Ada kasus-kasus sejenis yang tidak terungkap ke publik karena berbagai alasan.
Pertama, siswa yang mengalami kekerasan tidak menceritakan kepada orangtua/walinya, karena takut justru dia yang akan dipersalahkan. Mereka akan merahasiakan apa yang dialaminya.
Kedua, orangtua yang mengetahui anaknya mengalami kekerasan oleh guru mungkin juga tidak mau ribet berurusan dengan sekolah, dan juga khawatir tidak mendapat respon yang positif atau malah dikira mencampuri urusan sekolah. Orangtua khawatir dicap tidak mengerti pendidikan dan tidak mempercayai sekolah.
Munculnya keengganan orangtua mengungkap kekerasan dalam pendidikan, bisa jadi karena alasan bahwa posisi guru sedang dianggap selalu benar dalam hal melakukan pendidiplinan siswanya. Dalam perspektif lain, sejak adanya kasus siswa dan orangtua yang diduga mengeroyok guru dan kemudian bergulir ke ranah hukum, guru tersebut mendapat dukungan luas dari banyak kalangan. Siswa tersebut kemudian tidak diterima di sekolah-sekolah lainnya.
Akhirnya menjadi semacam “pedoman” bagi pihak sekolah dengan kalimat; “Bagi orangtua yang tidak mau anaknya ditegur/dididik oleh guru silakan didik sendiri, buat kelas sendiri, buat aturan sendiri, buat sekolah sendiri, dan buat rapor dan ijazah sendiri.”
Apa yang tertuang dalam pernyataan tersebut sebenarnya normatif, tapi menjadi ekstrem dan tidak kontekstual dengan peristiwa “kekerasan dalam pendidikan”. Disebut ekstrem, karena fungsi sekolah adalah melaksanakan pendidikan dan guru memiliki peran sebagai pendidik. Sedangkan sekolah dalam operasionalnya perlu melibatkan orangtua, membutuhkan partisipasi aktif orangtua dan masyarakat.  
Tidak elok juga mempertontonkan ego sektoral dan terkesan anti-kritik. Bagaimanapun guru adalah manusia. Sedangkan sekolah semestinya juga menjalankan peran penerus peradaban dan kebudayaan. Sekolah adalah media untuk menanamkan nilai-nilai moral dan etika selain mengembangkan ilmu pengetahuan. Dan untuk itu sekolah juga harus transparan dan terbuka terhadap kritik, saran, dan masukan yang konstruktif untuk kemajuan dunia pendidikan.
Pertengahan tahun ini di Sidoarjo, seorang guru bernama Sambudi sempat menjalani persidangan. Dia didakwa melakukan kekerasan menyeret siswanya agar sholat berjamaah. Sambudi mengaku bahwa sang anak sedang nongkrong di pinggir sungai, sedangkan teman-temannya bersiap sholat berjamaah di mushola sekolah. Sambudi hanya mengelus pundak siswa tersebut agar mau melaksanakan sholat berjamaah. Jadi bukan mencubit siswa dalam rangka tindakan mendisiplinkan siswa. Kasus ini berakhir damai antara keluarga dan sekolah.
Dari berbagai peristiwa kekerasan dalam pendidikan tersebut, sejatinya berpotensi dilakukan oleh siapa saja, apakah itu guru, orangtua, maupun siswa. Oleh karena itu penanganan harus benar-benar bijaksana, dan menemukan akar permasalahan yang sesungguhnya dan tidak saling menyalahkan. Dan ini perlu melibatkan para pemangku kepentingan.
Beberapa pertanyaan pantas diajukan. Apakah guru “sudah selesai dengan dirinya sendiri”?. Apakah menjadi guru merupakan panggilan jiwa sebagai abdi masyarakat, bukan karena keterpaksaan atau dorongan yang bersifat materialistik?
Apresiasi patut diberikan kepada guru yang memang bekerja dengan sepenuh hati, mencurahkan segenap potensi dan sumberdaya dirinya untuk mencerdaskan kehidupan generasi muda. Guru kelompok ini menjadikan profesi sebagai guru merupakan panggilan jiwa pengabdian. Ia akan berupaya mengembangkan dirinya, meningkatkan profesionalisme dengan tidak selalu didasarkan pada imbalan yang bersifat material.
Dinas Pendidikan juga perlu memastikan kesesuaian dan kualifikasi guru dan tenaga kependidikan di sekolah-sekolah. Perlu juga mensosialisasikan dan menyebarluaskan peraturan-peraturan yang berlaku, sehingga tidak ada alasan lagi terjadi kekerasan di sekolah.
Selain itu melakukan pengecekan terhadap semua standar pelayanan dan prosedur serta administrasi sekolah. Yang sering terjadi, prosedur dan administrasi hanya formalitas atau sebaliknya segala sesuatu dibuat semakin birokratis.
Adalah benar bahwa tugas guru adalah mendidik dan menanamkan nilai-nilai dan budaya bangsa kepada peserta didik. Oleh karena itu segala yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur budaya bangsa tidak pantas hadir dalam dunia pendidikan. Kekerasan tidak boleh terjadi di sekolah, karena itu justru akan menghancurkan nilai-nilai luhur budaya bangsa.
Semua pihak yang terlibat dalam interaksi pendidikan harus memahami bahwa pendidikan memiliki tujuan yang mulia dan dilakukan dengan cara-cara yang bermartabat. Sesungguhnya pendidikan memiliki arti yang luas, yaitu proses terencana untuk membuat manusia lebih bahagia dan sejahtera.
Dalam arti persekolahan sebagai proses pembelajaran dalam kelas, guru harus berusaha menciptakan pembelajaran yang kreatif, menyenenangkan, dan demokratis. Dengan begitu akan tumbuh generasi muda yang memiliki karakter, kemandirian, dan tanggung jawab.
Untuk itu, guru hendaknya mencintai pekerjaannya, memiliki orientasi pengabdian bagi umat manusia, berpikir jangka panjang, dan memiliki basis ilmu pendidikan yang memadai.
Dalam kasus guru SDN4 Sawahlama, maupun dalam kasus serupa, penulis tidak sependapat jika hal itu diproses dalam ranah hukum, namun bagi pelaku juga harus ada penanganan yang tuntas dan bijaksana. Kasus seperti ini jangan pula digeser ke persoalan lain seperti emngapa sampai ada siswa yang membawa handphone dan merekam peristiwa dalam kelas. Justru kalau digeser ke persoalan lain seperti ini akan semakin menunjukkan kegagalan pengelolaan sekolah. Kasus ini pembelajaran yang sangat berharga, sehingga ke depan tidak ada lagi guru arogan atau orangtua siswa yang arogan. (*)

Tidak ada komentar: