SETIAP tanggal 25 November diperingati sebagai Hari Guru
Nasional, berbarengan dengan Hari Ulang Tahun (HUT) Persatuan Guru Republik Indonesia
(PGRI). Hari Guru Nasional ditetapkan tahun 1994 oleh Presiden Soeharto melalui
Kepres 78 Tahun 1994.
Seremonial upacara bendera, pemasangan spanduk ucapan
selamat, dan beragam apresiasi diungkapkan. Apresiasi itu berasal dari semua
kalangan, baik siswa, orangtua, maupun elemen masyarakat lainnya. Para siswa
sebagian memberi hadiah (kado) sebagai bentuk terima kasih atas jasa dan peran
guru membimbing dan membelajarkan mereka. Meskipun mungkin nilai hadiah/kado
secara material tidak terlalu besar nilainya, tetapi secara implisit hal itu
memberi makna dan pesan penghormatan dan penghargaan.
Pengakuan sloganistis dideklarasikan, bahwa guru adalah sosok
yang harus dihormati, digugu (dipercaya), dan ditiru (diteladani). Yang paling
sering diungkapkan yakni bahwa Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Begitu
kebiasaan kita.
Apa yang diungkapkan dengan berbagai cara dan pernyataan
tersebut, rasanya memang pantas dan tak berlebihan. Setiap kita bisa tumbuh dan
berkembang serta menjadi pribadi yang utuh, tak lepas dari peran dan jasa guru.
Para guru yang mengajarkan kita membaca, menulis, memahami
fenomena, dan mempersiapkan diri menghadapi tantangan masa depan. Berbagai
ragam kompetensi yang kita miliki saat ini, baik yang bersifat keterampilan
lunak (soft-skills) maupun
keterampilan keras (hard-skills)
berkat pendidikan yang dilakukan oleh para guru. Apapun kapasitas kita saat
ini, juga dibentuk dan dibangun atas kinerja para guru.
Momentum Hari Guru Nasional selayaknya menjadi medium
merefleksikan kembali peran dan kiprah guru. Merefleksikan diri berarti
melakukan perenungan yang mendalam tentang persepsi diri dan harapan
masyarakat. Merenungkan kembali apakah yang sudah dilakukan semakin mendekati
idealitas dengan figur sebagai guru.
Menjadi guru bukan sekadar membelajarkan, mengajar dalam kelas. Peran guru bukan hanya mentransfer pengetahuan atau mengajarkan keterampilan tertentu. Guru tak hanya “memintarkan” siswa, tetapi harus menanamkan nilai-nilai luhur yang menjadi budaya bangsa.
Fenomena dan problematika guru dan pendidikan di Indonesia memang tidak satu dimensi, tetapi multidimensi. Hal ini terkait dengan faktor mutu, sistem, praktik, ekosistem, kebijakan, akses, motivasi, persebaran guru dan pendidik, penyediaan sarana dan prasarana, dan sebagainya. Sebagai contoh adalah keberadaan guru honorer. Dari sisi jumlah, sangat banyak bahkan secara rasio seimbang dengan jumlah peserta didik, tetapi di sisi lain faktor tunjangan dan kompensasi yang diterima guru honor seringkali dinilai kurang layak.
Intervensi pemerintah dan pemangku kepentingan tentu diperlukan untuk mengurai benang kusut praktik pendidikan di Tanah Air. Tulisan ini menyoroti dari aspek mikro peran guru dalam pendidikan, khususnya sosok guru yang diharapkan.
Pendidikan karakter
Nilai-nilai luhur yang ditanamkan kepada peserta didik saat
ini dikenal dengan istilah Pendidikan Karakter. Nilai-nilai baik itu antara
lain bertanggung jawab, toleransi, cinta lingkungan, semangat belajar dan
memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Esensi nilai-nilai itulah yang menjadi
landasan budaya bangsa dan pembangunan peradaban manusia Indonesia.
Dengan pendidikan karakter, diharapkan nantinya terbentuk
generasi yang beriman, dan bertakwa, sekaligus cerdas, dan adaptif terhadap
setiap tantangan zaman. Generasi yang memiliki kepedulian terhadap sesama,
keterpanggilan dan tanggung jawab terhadap bangsa dan negara.
Bagaimana menanamkan nilai-nilai luhur tersebut dalam diri
peserta didik, yang tidak hanya transfer pengetahuan, tentu menjadi tuntutan
dan tantangan profesi guru dan pendidikan.
Sepenuh hati
Melakoni profesi sebagai guru perlu dilandasi dengan sikap
dan kemampuan profesional. Artinya bahwa guru memiliki kompetensi pedagogik. Ia
memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang ilmu mendidik (pedagogik), memiliki
latarbelakang pendidikan yang sesuai dengan bidang tugas, dan secara
berkelanjutan mengembangkan keterampilan profesionalnya.
Guru profesional antara lain juga dicirikan dengan kompetensi
sosial. Hal ini berarti bahwa guru perlu bergabung dalam wadah organisasi
profesi dan terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial di lingkungannya.
Pengembangan diri guru dapat dilakukan baik melalui jalur formal maupun
informal.
Guru profesional juga ditunjukkan dengan kompetensi
kepribadian. Kompetensi ini mengindikasikan pentingnya sikap dan tindakan guru
yang menjadi contoh bagi masyarakat. Menjadi guru tidak hanya di sekolah atau
kampus, tetapi ia juga harus patut menjadi contoh baik bagi semua elemen masyarakat.
Di atas semua itu,
dalam hemat penulis, menjadi guru harus merupakan panggilan jiwa untuk mengabdi
kepada kemanusian dan peradaban. Menjadi guru merupakan perwujudan impiannya
sejak dini. Maknanya adalah bahwa
menjadi guru sepenuh hati, menghibahkan diri dan segenap jiwa-raganya bagi
kemanfaatan orang lain. Menjadi lilin yang menerangi sekitarnya. Kemanusian
merupakan nilai-nilai universal, yang menerobos sekat-sekat suku, ras, dan
latar-belakang sosial.
Dalam tataran praktis, guru harus sudah selesai dengan dirinya sendiri. Ia tidak akan mengeluh
perihal tantangan yang bakal dihadapi dalam tugasnya. Justru setiap tantangan
dan hambatan itu akan menjadi inspirasi dan motivasi untuk berperan lebih dan
menjadi lebih baik lagi. Ia akan selalu menemukan solusi atas setiap masalah
dan mampu mengantisipasi potensi masalah.
Ia akan membangun sikap diri gembira, bahagia, dan menebar
manfaat bagi orang lain. Kebanggaan guru seperti ini, yakni saat anak-anak
didiknya mampu berkembang melampaui batas ruang dan waktu. Anak didiknya itu
tidak terbatas pada siswa yang dia ajarkan di kelas, tetapi setiap pelajar yang
menunjukkan prestasi melampui generasi sebelumnya.
Guru yang sepenuh hati menunjukkan kebahagiaan yang hakiki.
Guru yang melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan motivasi memberi
manfaat bagi sesama.
Unik dan Kualitatif
Keberhasilan pendidikan bukan sekadar ditampilkan dalam
diagram statistik dan kuantitatif. Prestasi keberhasilan pendidikan yang sejati
dapat ditunjukkan secara kualitatif. Perubahan sikap dan perilaku siswa dalam
pergaulan sosial menjadi lebih penting, tak hanya prestasi akademik.
Setiap siswa adalah khas dan unik. Oleh karena itu menjadi
guru juga perlu menguasai seni mendidik. Memperlakukan setiap siswa berbeda
antara yang satu dengan yang lainnya. Mengasuh dengan cara membimbing,
sekaligus mengasah kecerdasan siswanya, dan pada saat yang bersamaan dengan
penuh cinta kasih memberikan motivasi untuk maju.
Guru harus preskriptif dan berpikir futuristik, dan mampu memotret
situasi masa depan. Genersi kini adalah generasi digital dan memiliki keunikan
tersendiri dalam gaya belajar. Guru harus mampu menyiapkan generasi penerus
tongkat estafet kepemimpinan bangsa. Menyiapkan sumber daya insani yang akan
mengisi pembangunan, pemajuan, dan pencapaian peradaban yang lebih baik.
Saat ini, menjadi guru tidak bisa hanya mengajar, sebagaimana
dulu dia diajar oleh para guru terdahulu. Tetapi ia perlu mengembangkan potensi
diri dan kapasitas secara berkelanjutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar