Polemik dan pemberitaan buku-buku tentang Susilo Bambang Yudhoyono, yang dikirimkan ke beberapa sekolah
tampaknya sudah usai. Salah satu efek dari pemberitaan itu justru menyingkap
fakta bahwa pada sebagian sekolah ternyata belum memiliki perpustakaan yang
memadai. Sebagai pusat informasi dan ilmu, perpustakaan bagi sekolah dan
institusi pendidikan menjadi jantung kegiatan warga belajarnya.
Di sini kita tidak membicarakan
kontroversi pendistribusian buku-buku tentang SBY. Pertanyaan yang menggelitik
justru bagaimana kita memberikan atensi, partisipasi, dan dukungan bagi
perpustakaan yang baik.
Setiap institusi pendidikan, memiliki
tanggung jawab menyediakan sarana perpustakaan yang memadai. Ini diamanahkan
dalam UU No 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. Sayangnya memang, implementasi
UU No 43 Tahun 2007 ini belum maksimal. Belum ada aturan pelaksanaan yang dapat
dijadikan dasar baku bagi pembangunan perpustakaan yang baik, yang memiliki
sanksi yang mengikat.
Selama ini mungkin kita memandang
perpustakaan hanya memainkan peran instrumental atau bahkan hanya sebagai
pelengkap persyaratan formal. Peran perpustakaan secara substantif sering
dilupakan.
Dapatkah kita membayangkan wajah
peradaban umat manusia kini, tanpa perpustakaan? Atau dapatkah kita melihat
generasi muda yang cerdas, inovatif, bermoral, menghargai keberagaman, dan
memiliki kemampuan-kemampuan yang penting bagi kehidupannya sendiri maupun bagi
masyarakatnya, tanpa melihat peran buku dan/atau perpustakaan sebagai media
belajar? (lanjut*****)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar