*****Artikel ini dimuat Radar Lampung, Jumat, 16 Desember 2011****
Menarik membaca
tulisan sahabat Nurcholis (Radar Lampung, 29/11) dan Gunawan Handoko (Radar
Lampung, 12/12) tentang guru. Bicara mengenai guru, sepertinya kita perlu
memulainya dari upaya-upaya yang bersifat menggugah. Maklum, ini masalah laten,
yang setiap saat muncul, dan tak pernah ada akhirnya. Permasalahan manajemen
guru dan pendidikan memang kompleks dan dinamis.
SECARA konsep,
paling tidak ada tiga isu utama pendidikan; pemerataan kesempatan, kualitas,
relevansi. Beberapa pihak menyebut sebagai strategi dasar yang harus dilakukan
dan menambahkan beberapa isu strategis lainnya.
Dalam sistem pendidikan formal, guru dapat dipandang sebagai
subsistem pendidikan, yang perannya sangat vital. Memperbaiki atau meningkatkan
kualitas pendidikan jelas menyangkut perbaikan pengelolaan dan kinerja guru.
Dengan perspektif konstelasi permasalahan seperti itu, maka
perbaikan dalam pengelolaan guru dan peningkatan kinerja guru diharapkan menyentuh
ketiga isu utama. Dalam kosa kata pendidikan, prasarat bagi ukuran pelaksanaan
tugas guru adalah kompetensi yang meliputi kompetensi pedagogik, akademik,
sosial, dan profesional. Seperangkat kompetensi tersebut harus mewujud dalam
perilaku dan budaya kerja guru.
Meningkatkan pengetahuan, kemampuan, keterampilan, keahlian guru
secara teoritis akan meningkatkan kualitas pembelajaran yang dilakukan, dan kemudian
meningkat pula prestasi belajar siswanya. Ini kemudian dapat diartikan
meningkatnya kualitas pendidikan sekaligus meningkatnya relevansi atau
keterkaitan nyata antara pendidikan dengan dunia usaha.
Guru sejahtera,
kinerja meningkat?
Memperbaiki kesejahteraan guru, memang penting. Tapi harus
didasarkan pada model yang baku, aturan yang jelas, dan diimplementasikan
secara konsisten. Yang dituntut para guru terutama yang non-PNS terkait kesejahteraan
jangan diartikan hanya imbalan berupa uang. Para guru non-PNS, yang sebagian
besar berpendapatan di bawah UMR memang suatu kenyataan yang memprihatinkan. Apalagi
yayasan tempatnya bekerja terlihat bergelimang sarana dan menumpuk kapital
(meminjam istilah Nurcholis).
Kita tidak perlu membandingkan dengan pendapatan guru berpredikat
PNS dengan masa kerja 0 tahun.
Jadi yang terutama adalah prinsip kesetaraan, keadilan, dan
transparansi. Ini mengindikasikan pentingnya perlindungan dan kepastian.
Sejahtera tidak diartikan lahiriah semata, melainkan sejahtera lahir dan
bathin.
Pertanyaan yang sampai sekarang masih dilakukan kajian mendalam
adalah efektivitas program sertifikasi bagi guru. Harus diakui bahwa memang pemberian
status guru profesional, dengan implikasi pemberian tunjangan, tidak serta
meningkatkan kinerja guru. Secara kasuistik ditemui adalah dampak yang kontraproduktif
dengan tujuan sertifikasi, seperti kecenderungan sikap materialistik, persepsi
diri yang keliru, karena menganggap dirinya sudah profesional, yang belum
sertifikasi tidak profesional, dan sebagainya.
Pertanyaan sederhana layak diajukan bagi guru yang berstatus
guru profesional yang memperoleh tunjangan profesi. Apakah kesejahteraan guru yang
meningkat (dengan tunjangan profesi yang diterimanya) pasti akan meningkatkan
kinerja guru? Jawabannya bisa ya, bisa tidak.
Jawaban iya, jika guru memiliki kesadaran akan jati diri
sebagai pendidik yang mengemban tugas mulia, menghargai profesi yang harus
ditingkatkan harkat dan martabatnya. Dengan peningkatan kesejahteraan dalam
arti material, ia akan berusaha mengembangkan profesinya melalui pengembangan
diri. Ia akan dengan senang hati menambah pengalaman melalui berbagai bahan
bacaan, mengikuti kegiatan ilmiah, dan aktif dalam komunitas atau organisasi profesi.
Ia akan semakin aktif, proaktif, mengenali dan memahami anak-anak didiknya.
Singkatnya, ia akan secara terus menerus antusias memberdayakan diri demi
kemajuan profesi.
Tidak, jika guru memiliki konsep materialistik. Ia akan semakin
meyakini bahwa setiap tindakannya harus menghasilkan uang. Tugas-tugas pokok,
akan dicari alasan sebagai tugas tambahan, dan lagi-lagi akan dikaitkan dengan
uang. Ia akan menjadikan sekolah sebagai pasar, dengan dalih “wirausaha”. Pendidikan
wirausaha disalahartikan sebagai mencari keuntungan, bukan sebagai usaha
membekali anak-anak didik dengan seperangkat pengetahuan, pemahaman, dan
kemampuan menghadapi situasi masa depan. Dengan kata lain, disiplin kerja akan
menurun, gemar mencari kambing hitam untuk setiap kesulitan.
Guru adalah agen pembelajaran yang merupakan motivator, pemicu,
dan pemacu belajar siswa. Dalam tugasnya, guru harus memiliki semua penjabaran
kompetensi guru, sejak perencanaan pembelajaran, penampilan keseharian, dan
komunikasi serta interaksi sosial.
Secara universal guru adalah agen budaya dan pembangunan
bangsa. Ia mendidik anak-anak generasi muda sebagi penerus bangsa. Setiap
bangsa akan membekali generasi mudanya dengan pendidikan yang terbaik. Dan di
sinilah peran, dedikasi, dan kontribusi terbesar guru.
Pemerataan guru dan sarana
Isu kesenjangan penempatan guru sebenarnya sudah mencuat
sejak beberapa tahun lalu. Pemerataan guru antar-wilayah bisa dilakukan sejak
perencanaan penyusunan formasi. Tapi yang terjadi, bertahun-tahun, terjadi
penumpukan guru di daerah tertentu, sementara di daerah lain kekurangan. Dampak
yang terasa adalah ketika banyak guru kekurangan jam mengajar, sedangkan di
daerah yang kekurangan guru, jam mengajar guru bertumpuk. Ketika ada kewajiban
minimal jam mengajar 24 jam, guru disibukkan dengan “mencari” sendiri di
sekolah-sekolah lain yang masih tersisa jam mengajarnya.
Pemerataan guru baik antar-wilayah maupun kelompok mata
pelajaran, sesungguhnya menjadi faktor makin terbukanya kesempatan pendidikan
bagi sebagian besar masyarakat, sekaligus relevansi dalam proses dan output pendidikan
itu sendiri.
Pemerataan penempatan guru terkait dengan ketersediaan
sarana dan prasarana. Di beberapa daerah yang kekurangan guru, umumnya juga
terbatas sarana dan prasarana pendidikan formal yang ada.
Memberdayakan bukan
memperdaya
Meskipun demikian, penulis yakin, dengan usaha bersama
pemerintah dan komponen masyarakat, terutama pengelola yayasan, peningkatan
kualitas pendidikan dapat dilakukan melalui perbaikan pengelolaan guru. Kita hendaknya memahami profesi guru secara
utuh. Hak-hak sebagai guru harus ditegakkan. Guru tidak disibukkan dengan
urusan yang bukan urusannya, agar guru dapat memfokuskan diri pada profesinya.
Perhatian, penataan, pembinaan, dan pengembangan profesi
guru yang menjadi kewenangan pemerintah baik pusat maupun daerah, perlu
komitmen dan konsistensi sehingga dapat menyentuh semua guru. Bagi guru,
memberdayakan diri adalah perjuangan, baik secara pribadi maupun berkelompok. Banyak
tantangan dan hambatan untuk meraih perubahan itu. Kita tidak perlu alergi
dengan perubahan, bahkan perlu berubah ke arah yang lebih maju.
Menyimak tulisan sahabat Nurcholis dan Gunawan Handoko, ada
nada gugatan terhadap tatanan yang sekarang. Ada tuntutan reformasi dalam
manajemen guru; dari paradigma memperdaya ke memberdayakan. Sekali lagi, semua kembali
kepada kebijakan pemerintah dan semangat dari diri guru untuk berubah