Pekan lalu dan beberapa pekan atau bulan ke depan, guru yang
tersertifikasi sibuk dan akan tetap sibuk oleh apa yang disebut Uji
Kempetensi Guru (UKG). Saya ingin memberikan catatan, sebaiknya kita
sekarang unjuk kepedulian kepada guru. Guru adalah figur yang menjadikan
kita seperti sekarang. Sebagai manusia biasa, guru tak luput dari
beberapa kelemahan. Tapi pun begitu, peran, kontribusi, jasa, dedikasi,
para guru, patut kita apresiasi. (Bandar Lampung, Jumat, 03 Agustus
2012)
Para guru yang telah bersertifikat sebagai guru profesional, dihadapkan pada Uji Kompetensi Guru (UKG).
Seperti biasa, program pemerintah pusat ini menuai pro dan kontra. Ide
dasar UKG seperti digembar-gemborkan pemerintah, adalah dalam rangka
pemetaan kualitas guru di berbagai jenjang sekolah dan di berbagai
daerah.
PIHAK-PIHAK yang
kontra terhadap UKG bersikukuh menolak UKG sebagai instrumen penilaian
kinerja guru dengan dalih pemetaan. Mereka menganggap pemerintah
seakan-akan kurang pekerjaan, dengan menggelar UKG. Ada dua hal
substansial yang mendasari penolakan UKG secara online; pertama adalah
bahwa menilai kompetensi guru tidak bisa hanya berdasarkan ujian dengan
tipe soal pilihan jamak. Apalagi aspek-aspek profesional guru sangat
banyak, dan sebagian besar menyangkut kompetensi yang untuk menilainya
mengharuskan dilakukan pengamatan praktis dan menyeluruh.
Kedua,
bahwa pemerintah saat ini memiliki tanggung jawab menuntaskan ratusan
ribu guru yang belum tersertifikasi. Dalam dua tahun terakhir, kuota
bagi peserta sertifikasi ditingkatkan, dalam rangka mengejar pencapaian
sertifikasi guru. Pertanyaannya, mengapa tidak peningkatan status guru
tersertifikasi itu dulu yang diprioritaskan?
Sejak akan
dilaksanakannya UKG, penulis berhipotesis bahwa ini adalah suatu program
yang mengemban dua agenda. Pertama, melalui UKG pemerintah akan mudah
menjawab kritik masyarakat bahwa sertifikasi guru bermanfaat atau
setidaknya meningkatkan kinerja guru, meskipun dalam kadar yang tidak
terlalu menggembirakan. Kedua, apabila ada beberapa kekurangan atau
kelemahan dalam aspek-aspek profesional di kalangan guru, maka
pemerintah akan meluncurkan program pembinaan yang lebih masif.
---Perlu Penjelasan
Pertanyaan-pertanyaan
yang perlu jawaban dan penjelasan adalah, mengapa untuk melakukan
pemetaan kualitas guru harus melalui UKG yang diikuti semua guru
bersertifikasi? Tidak adakah metode sampling yang valid dan reliabel
untuk memetakan kualitas guru? Bukankah untuk menggelar UKG memerlukan
biaya yang besar? Apakah selama ini tidak ada institusi atau tim yang
fungsinya melakukan pendataan dan pemetaan terhadap kualitas guru dan
sebaran guru?
Agak miris malah ketika UKG diluncurkan, muncul
statemen bahwa “jika guru selama ini menguji murid, maka guru saat ini
harus siap diuji”. Statemen ini terlalu meremehkan seolah-olah guru
tidak mau (tidak siap) diuji.
Persoalan lain adalah waktu untuk
sosialisasi UKG juga sangat singkat. Informasi yang sampai di tingkat
guru membias. Yang didengar guru adalah bahwa UKG akan berdampak kepada
status sertifikasi mereka. Jika tidak lulus dalam UKG, maka status
sertifikasi terancam.
Kenyataannya, seperti mudah diduga,
pelaksanaan UKG tidak optimal, untuk tidak menyebut gagal. Di berbagai
tempat ujian, akses internet sangat lambat bahkan ngadat. Kesiapan para
guru peserta UKG juga sangat memprihatinkan. Masih banyak yang gagap
teknologi. Bagi sebagian guru yang tidak terbiasa dengan komputer,
mengoperasikan komputer bagaikan menghadapi hantu.
Dilema
teknologi, seperti biasa, dapat digambarkan seperti menunggang harimau.
Jika tak pandai mengendalikan, maka penungganglah yang akan diterkam
oleh harimau. Idiom ini berlaku terhadap penggunaan komputer dalam UKG
yang dilakukan secara online.
Sekedar diketahui, ada banyak guru
dari suatu kecamatan, terpaksa membeli laptop baru dan dibawa ke tempat
ujian, meskipun belum bisa memanfaatkan fungsi-fungsi laptop. Dan benar,
di tempat ujian, laptop itu tidak digunakan sama sekali untuk ujian,
karena sudah disediakan komputer oleh panitia.
Menyimak
pelaksanaan UKG yang lalu, belum tampak bahwa UKG berpihak pada guru.
UKG lebih menampilkan sebagai peran antagonis dalam suatu drama kolosal.
Peduli nasib guru tidak harus menjadikan guru terombang-ambing dalam
ketidakpastian.
Suatu kompetensi sudah selayaknya diasah dan
ditingkatkan sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman. Jika ada guru
yang bersertifikasi, tetapi kinerjanya menurun, mungkin secara kasuistik
itu ada. Tetapi menggeneralisasi bahwa sertifikasi belum atau tidak
memperbaiki kualitas guru, adalah pandangan yang naif. Mengapa? Karena
saat lolos sertifikasi, guru telah diwajibkan memenuhi berbagai
persyaratan dan proses panjang oleh institusi yang kredibel.
--- Motivasi Pribadi
Meningkatkan
kapasitas, kualitas, dan kompetensi diri pribadi terutama didorong oleh
kemauan dari dalam diri sendiri. Siapapun kita, apalagi seorang guru,
rasanya perlu selalu menambah energi dan terus berusaha mencari pola
baru yang lebih efektif untuk meningkatkan kompetensi.
Eksistensi
guru dalam diri siswa tidak semata-mata kehadirannya di depan kelas
maupun di sekolah. Seorang guru harus menampilkan diri sebagai sosok
teladan dalam segala hal yang positif.
Guru harus memiliki
motivasi belajar yang tinggi, sehingga bisa memotivasi siswanya untuk
belajar lebih giat. Guru harus menebar semangat kemandirian dan
menanamkan tanggung jawab dalam diri siswa.
Menjadi guru di era
sekarang, berbeda dengan beberapa dasawarsa lalu. Bahkan situasinya jauh
berbeda dibanding dengan enam tahun silam. Guru sekarang menghadapi
berbagai tantangan yang semakin kompleks.
UKG diplesetkan menjadi
Uji Kesabaran Guru. Ini sebuah ungkapan bahwa guru, di samping
melaksanakan tugas dan fungsi mendidik, menjadi obyek eksploitasi dari
birokrasi yang cenderung tidak peduli. Meskipun tidak sepenuhnya benar,
aspirasi ini patut mendapat apresiasi. Mengapa? Sudah sepantasnya guru
menyuarakan aspirasi, kondisi, kebutuhan, dan berbagai problematika
terkait tugas dan fungsinya, di hadapan praktik birokrasi yang berjiwa
"kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah". Mengherankan memang, di era
keterbukaan, masih saja birokrasi belum berubah. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar