Jumat, 25 November 2011

Surat Terbuka untuk Guruku (Refleksi Hari Guru Nasional, 25 November)

(Artikel ini dimuat Lampung Post, Senin, 28 September 2011)

Untuk Guruku. Sebelumnya aku mohon maaf, baru kali ini aku menulis surat ini. Dalam hati kecil ini sungguh banyak yang ingin kuungkapkan kepadamu, bahkan sejak dulu, tapi baru kali ini berkesempatan. Bukan aku mengabaikanmu, atau menomorduakanmu. Bukan.Mohon maaf bila aku mungkin dianggap tidak sopan, tidak santun.
Di setiap doaku, selalu kumohon pada-Nya, semoga engkau selalu berbahagia. Pada banyak momen dalam hidupku, aku sering terkesiap mengingat peran dan jasamu. Aku jadi seperti sekarang, karena engkau.
 Sampai kini aku selalu mengenang jasamu yang tiada tara. Aku selalu ingat lagu klasik “Guruku”. Syairnya begitu menyentuh. Terngiang-ngiang lagu yang sering di televisi. Syairnya menggugah. “Kita jadi pintar dibimbing Pak Guru.....; Kita jadi pandai, dibimbing Bu Guru...; Gurulah pelita, penerang dalam gulita....”
Guruku, aku masih ingat, bagaimana engkau menuntunku belajar bahasa, belajar IPA, dan segala hal. Waktu kecil, guruku mengajak bermain, meskipun itu sesungguhnya adalah belajar mengenali lingkungan. Mengajakku bicara, ternyata itu membelajarkan aku berkomunikasi dan berinteraksi sosial. Guru mengajari baca tulis dan hitung, menanamkan pengetahuan dan cara membuka cakrawala dunia.
Dulu, atas satu kejadian, memang pernah terlintas di benakku, engkau keras. Aku hanya protes keras dalam hati. Oh, ternyata, sikap kerasmu dalam mendidikku dan juga teman-teman, bermakna teramat dalam sekarang.
Jika aku dinilai tangguh, itu atas gemblenganmu. Bila kini aku dianggap tegar, itu pula karena tempaanmu. Kalaupun ada yang menilaiku sekarang, berhasil, itu semua tidak lepas dari peran didikanmu.
Guruku, aku prihatin atas beberapa guru yang mendapat perlakuan tidak adil. Aku sebenarnya berontak ketika ada beberapa guru yang didzolimi. Ada juga perasaan pilu, mendengar berita ada guru berbuat kasar kepada muridnya. Atau bahkan disangkakan berbuat tak senonoh.
Tapi juga aku merasa sangat prihatin, ketika ada guru yang tersangkut kasus. Sepertinya ada saja diberitakan media. Maklumlah, di zaman seperti sekarang, berita apa saja cepat menyebar. Apalagi berita buruk, tentang guru pula. Seperti biasa, berita baik, tentu akan dianggap biasa. Itulah kenapa, kalau ada berita buruk, dengan pesat meluas membahana. Yach, mungkin itu selera pasar. Atau bisa jadi pemenuhan nafsu manusia terhadap informasi.
Kalau ada guru yang tersangkut kasus, apakah itu pelanggaran, atau pidana. Mungkin ia khilaf, dikorbankan pihak lain, atau mungkin benar-benar ketidaksengajaan. Hanya doa dan harapan semoga segera terselesaikan.
Aku ingin mengungkapkan keprihatinanku, kala ada guru yang berubah sikap dan gaya hidupnya dan lebih dekat pada sifat-sifat materialisme, dan berkecenderungan pada budaya instan. Sungguh, rasanya aku masih bisa membedakan, mana sikap pragmatis, dan mana sikap idealis dan logis. Sekali lagi, hanya harapan semoga, itu bukan sifat bawaan dan tidak permanen.(*****lanjut)

Tidak ada komentar: