Artikel ini dimuat Harian Trans Lampung Edisi Senin, 5 Oktober 2015
USAHA mikro dan kecil muncul sebagai tuntutan untuk “bertahan hidup”. Kehadirannya seringkali bersifat alamiah,
dalam arti dibentuk dan dilakukan oleh perorangan atau badan usaha untuk
menghidupi keluarga atau kelompok kecil. Dalam pengelolaannya sangat sederhana, belum menerapkan
sistem akuntansi yang rumit dan legalitas yang terbatas.
Usaha mikro kecil mendayagunakan potensi yang ada dalam diri perorangan
atau badan usaha, dengan skala usaha yang juga terbatas dan tidak bersifat
ekspansif. Biasanya pula, usaha mikro kecil menghadapi permasalahan akses
terhadap modal perbankan karena berbagai keterbatasannya.
Usaha mikro kecil acapkali bergerak di bidang industri rumah tangga,
produk kerajinan, perdagangan dalam skala yang kecil, atau pelayanan jasa yang sederhana.
Penyederhanaan ini untuk membedakan dengan usaha besar yang bersifat
konglomerasi dan orientasi profit. Usaha besar seringkali menangani usaha dari
hulu hingga hilir, bernafsu menguasai semua lini usaha, dan menyebar luas di
seluruh wilayah negeri. Tabiat kapitalisasi akan muncul dalam wujud ekspansi
yang masif dengan memanfaatkan teknologi, sumber daya manusia yang berkeahlian
tinggi, dan akses modal yang boleh dibilang nyaris tak terbatas.
Berdasar pengalaman krisis moneter 1997 hingga 1998, usaha mikro dan
kecil dianggap tangguh menghadapi situasi krisis. Ini karena usaha kecil
ditopang oleh berbagai faktor yang bersifat mandiri dan penggunaan sumber daya
setempat. Yang juga penting diingat, usaha mikro kecil tidak memiliki
ketergantungan yang tinggi terhadap kurs mata uang asing.
Perbedaan akan sangat mencolok ketika perusahaan besar menghadapi
krisis moneter dan nilai tukar terhadap dolar dibandingkan usaha mikro kecil.
Perusahaan besar memiliki ketergantungan terhadap bahan baku dan sumber daya
dalam jumlah yang sangat besar. Ketika terjadi pengurangan pasokan bahan baku,
sistem operasi akan terganggu.
Situasi perekonomian tahun 2015 ini memaksa kita belajar dengan kondisi
serupa tahun 1997-1998. Krisis waktu itu berimbas pada krisis politik sehingga
menumbangkan Orde Baru.
Untuk memberdayakan usaha mikro kecil, pemerintah baik pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah tak cukup hanya
beretorika atau menabur harapan semu. Diperlukan program dan aksi nyata
yang langsung menyentuh kepentingan usaha mikro kecil. Usaha mikro kecil tidak membutuhkan program yang
muluk-muluk. Ia hanya butuh “keberpihakan” dari pemerintah.
Dalam skala daerah, pemerintah daerah perlu mencari terobosan untuk
memberikan stimulus bagi usaha mikro kecil, tanpa mengorbankan tatanan lain
yang sudah mapan dan mengganggu pundi-pundi pendapatan daerah.
Pembinaan terhadap usaha mikro kecil benar-benar berdasarkan potensi
dan identifikasi masalah yang diahdapi, pendampingan berkelanjutan, dan stimulus
lain yang benar-benar memberdayakan.
Aktivitas usaha mikro kecil meskipun tidak menjadi sumber utama pendapatan
asli daerah, ia bisa menopang perekonomian masyarakat. Dan yang lebih penting
ia juga menjadi katalisator krisis ekonomi. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar