KEBERADAAN pasar tradisional kini kian terpinggirkan. Faktanya, pasar
tradisional kian tergerus oleh arus modernisasi. Mini-market bertaburan di
sekitar pasar. Mall dan pusat perbelanjaan modern pun berada sangat dekat
dengan pasar (tradisional).
Para pedagang di pasar tradisional tetap bertahan, dengan segmen
pembeli kelompok tertentu, yang jumlahnya semakin berkurang. Para pengunjung
pasar tradisional, selain karena alasan idealisme dan kultural, biasanya karena
alasan dekat dengan tempat tinggal.
Kini mungkin agar terdengar aneh kalau menyebut pasar tradisional. Anak-anak
muda sudah jarang atau mungkin tidak pernah berkunjung ke pasar tradisional.
Untuk memenuhi berbagai keperluan, yang para orangtua dulu membelinya di pasar,
kini mereka memperolehnya di mini-market, mall, atau bahkan belanja via online.
Keberadaan pasar tradisional bukan tak tersentuh oleh pembangunan.
Pemerintah, atau pemerintah daerah, bahkan dinilai memiliki kepedulian yang
sangat tinggi terhadap pasar tradisional. Namun sayangnya, kepedulian terhadap
pasar tradisional lebih pada aspek infrastruktur.
Berbagai permasalahan di pasar tradisional sudah menjadi rahasia umum. Faktor
kenyamanan, kebersihan, keamanan, dan pungutan-pungutan yang mendera pedagang
sudah menjadi hal lumrah. Tapi, dengan alasan keterdesakan kebutuhan, baik oleh
pedagang maupun para pengunjung pasar, semua permasalahan itu bagai angin lalu.
Apalagi yang namanya pungli, sulit sekali membuktikannya. Yang dipungut juga
takut mengungkapkan, karena masih butuh, dan yang memungut juga berlindung di
balik status maupun kekuatan.
Revitalisasi atau pembangunan pasar, seringkali membawa misi mencari
profit dari proses pembangunan itu. Rencana revitalisasi pasar pasti dengan kemasan
meningkatkan kapasitas pasar, menciptakan dayatarik pasar, dan demi kenyamanan
pedagang dan pengunjung pasar. Di sisi lain, untuk revitalisasi pasar, para
pedagang yang sudah ada harus membayar sejumlah uang untuk “booking” los atau
lapak. Kalau tidak mau, masih banyak calon pedagang yang siap membeli.
Para pedagang yang lama, dalam proses pembangunan ditempatkan di tempat
penampungan sementara (TPS). Yang miris,
kalau proses pembangunan pasar itu terkatung-katung, sehingga nasib para
pedagang yang berada di TPS kian tak menentu.
Sebenarnya, beberapa pasar yang ada di Bandarlampung maupun di beberapa
daerah, masih banyak yang layak digunakan. Malah, los maupun toko di pasar
tersebut masih banyak yang kosong. Utamanya pasar yang bangunannya bertingkat.
Namun, atas nama pembangunan, revitalisasi pasar tetap harus dilanjutkan.
Beberapa waktu belakangan ini, Pemerintah Kota telah dan akan terus
melakukan penataan pasar. Belajar dari proses pembangunan Pasar Tugu dan Pasar
Smep, hendaknya revitalisasi pasar maupun penataan pasar, lebih mengedepankan
aspek humanisme.
Penataan pasar bukan hanya merobohkan bangunan yang sudah ada, merombak
total bangunan yang lama, tetapi yang lebih penting adalah penataan sistem
pengelolaan pasar.
Pembinaan terhadap pedagang tidak saja dalam segi ketaatan terhadap
peraturan, tetapi yang lebih penting adalah kelangsungan hidup para pedagang.
Penerapan aturan memang harus dengan disipin. Tapi, memberikan ruang
fleksibilitas terhadap pedagang juga penting. Pembinaan dari segi permodalan,
manajemen usaha, akses terhadap barang, penciptaan keamanan dan kepastian di
pasar, dan sebagainya tak kalah pentingnya daripada pembangunan fisik pasar.
(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar