Dedikasi dalam pendidikan, pembelajaran, persekolahan, teknologi, dan ilmu pengetahuan untuk kemajuan peradaban ummat manusia. Segala sesuatu yang besar, dimulai dari hal-hal yang kecil.
Sabtu, 01 Desember 2012
GURU HARUS BERUBAH
(LAMPUNG POST, SELASA, 27 NOVEMBER 2012)
SUATU kenyataan bahwa setiap organisasi senantiasa menuntut perubahan. Sebab, organisasi yang tidak berubah akan ditinggalkan oleh khalayaknya dan lambat laun akan mati. Demikian halnya sekolah sebagai organisasi belajar atau institusi pendidikan. Sekolah harus melakukan berbagai perubahan ke arah yang lebih maju, menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan, dan selalu memiliki berorientasi ke masa depan.
Guru merupakan salah satu subyek penentu dalam pendidikan di sekolah. Segala harapan dan tujuan pendidikan sebagian besar ditumpukan pada guru. Oleh karena itu perubahan di organisasi sekolah, atau secara luas perubahan pendidikan, mau tidak mau harus melibatkan peran aktif guru.
Dewasa ini, perhatian terhadap profesi guru sudah semakin membaik. Adanya pengakuan dan perhatian terhadap profesi guru berlanjut dengan berbagai regulasi yang melindungi dan menjamin kelancaran tugas-tugas profesional guru. Dampaknya, minat generasi muda untuk menekuni profesi guru meningkat. Indikasi yang paling nyata adalah animo calon mahasiswa memasuki fakultas keguruan yang semakin tinggi. Berbagai perguruan tinggi pun seakan berlomba menyelenggarakan program studi keguruan dan ilmu pendidikan.
Di era reformasi dan kemajuan teknologi informasi, masyarakat memiliki tuntutan terhadap kualitas output pendidikan yang juga semakin tinggi. Di sisi lain, masyarakat juga dengan mudah menyederhanakan persoalan pendidikan. Adanya kasus perkelahian pelajar, guru atau sekolah dipersalahkan. Maraknya perilaku korupsi, berbagai aksi kejahatan, penyimpangan perilaku sosial, dan sebagainya, seakan-akan dengan ringan menimpakan beban permasalahan pada pendidikan. Pendidikan dianggap telah gagal membina mental dan moral generasi muda. Tudingan semacam itu terasa amat menyederhanakan persoalan. Jangan lupa bahwa pendidikan adalah tanggung jawab semua pihak, pemerintah dan masyarakat. Benar bahwa guru memiliki tanggungjawab yang besar karena tugas dan profesinya. Tetapi yang sering dilupakan, bahwa mendidikan anak di sekolah juga memerlukan perhatian, kerjasama, dan partisipasi dari orang tua.
Kompleksitas persoalan pendidikan terkait dengan siswa semakin jelas jika dilihat durasi waktu keberadaan siswa di sekolah lebih sedikit dibandingkan dengan durasi waktu siswa berada di rumah atau di lingkungan. Tidak semua lingkungan di luar sekolah memberi iklim pendidikan yang positif dan terarah. Di tambah lagi dengan kekurangpedulian orang tua terhadap pendidikan anak-anaknya. Sebagian besar menganggap selesai dengan “menitipkan kepercayaan” anaknya di sekolah, dan melengkapi segala kebutuhan material dan finansialnya. Sementara aspek interaksi pendidikan dan sosial sering terabaikan.
Sebenarnya problem pendidikan dapat dilihat seperti mata rantai yang melingkar. Input, proses, output, sumberdaya pendidikan, dan subsistem lain di luar pendidikan saling mempengaruhi. Pendidikan yang hakikatnya adalah membangun manusia seutuhnya, membutuhkan sinergi kerjasama berbagai pihak dan integrasi program.
Memperbaiki pendidikan harus dimulai dari guru. Persoalannya, jumlah guru sedemikian banyaknya, seiring dengan jumlah anak-anak usia sekolah dan tingkat partisipasi pendidikan yang semakin tinggi. Sehingga program peningkatan kualitas guru (kompetensi) tidak mungkin berlangsung cepat dan mampu menjangkau seluruh guru. Selain itu juga niscaya ada alasan klasik untuk meningkatkan kualitas pendidikan melalui peningkatan kualitas guru, yaitu keterbatasan anggaran pendidikan.
Dari sisi internal, guru itu sendiri harus melakukan berbagai perubahan. Menjadi guru harus dilandasi semangat pengabdian kepada kemanusiaan. Menjadi guru merupakan panggilan jiwa untuk mendedikasikan diri kepada kemajuan harkat dan martabat kemanusiaan, membangun kebudayaan dan peradaban. Guru harus memiliki kesiapan mental untuk tidak tergoda dengan arus konsumerisme yang kontraproduktif dengan tujuan pendidikan. Guru harus memiliki daya tahan terhadap berbagai tantangan dan hambatan yang mungkin dihadapi, bahkan perlu memiliki strategi untuk mengatasinya. Guru harus membangun sikap terbuka terhadap ilmu pengetahuan, dan memiliki ketertarikan terhadap setiap pengetahuan baru.
Salah satu bentuk sikap terbuka dan responsif terhadap perubahan dapat diwujudkan melalui penggalian informasi, pengetahuan, memperkaya bahan bacaan, dan mengikuti berbagai kegiatan ilmiah dan akademik. Hal ini dapat dilakukan baik melalui organisasi profesi maupun secara kelompok kecil. Guru perlu mengintensifkan berbagi pengetahuan dan pengalaman melalui interaksi dan komunikasi dan forum ilmiah. Guru hendaknya senantiasa mengasah keterampilan dan kemampuannya di bidang pedagodik maupun bidang studinya.
Jika itu sudah dilakukan, maka menjalani profesi guru akan terasa ringan, indah, dan menyenangkan. Mendidik dan mengasuh siswa dengan antusias dan penuh kasih sayang. Guru yang demikian akan mampu melaksanakan pembelajaran secara menyenangkan, inovatif, dan mampu memacu kreativitas siswa.
Setiap paradigma baru pendidikan dan kebijakan pendidikan guru akan siap dengan perangkat kemampuan yang sudah terinternalisasi dalam diri.
Penyediaan guru yang berkompetensi, dan memenuhi berbagai kualifikasi sebagai pendidik, tidak hanya dari aspek jumlah, tetapi masalah kualitas dan pembinaan profesi juga harus menjadi fokus perhatian. Tingginya animo masyarakat terjun ke profesi guru yang diindikasikan dengan membludaknya calon mahasiswa di fakultas keguruan dan ilmu pendidikan harus dibarengi dengan perangkat aturan dan mekanisme seleksi, pembinaan dan program pengembangan yang jelas.
Perbaikan kualitas pendidikan tidak akan berhasil jika tidak sejalan dengan arah program peningkatan kualitas guru. Sebagai profesi, guru mensyaratkan berbagai kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan di lembaga pendidikan tenaga kependidikan dan pemberian pengalaman yang signifikan serta interaksi dengan kalangan ahli di bidangnya.
Jadi lembaga pendidikan tenaga kependidikan juga semestinya memiliki standar dan melaksanakannya sepenuh hati. Jangan sampai mengejar jumlah lulusan, mengesampingkan kualitas proses pembelajaran mendidik calon guru.
Sebagaimana amanah undang-undang, pemerintah memiliki tanggung jawab yang besar di bidang pendidikan. Pemerintah harus menjadikan pendidikan sebagai program prioritas yang terimplementasi secara efektif dan efisien. Pelaksanaan tugas pemerintah di bidang pendidikan itu perlu pula dorongan dan pengawasan dari parlemen maupun dari elemen masyarakat. Selamat Hari Guru 25 November 2012. Jasamu yang tidada tara akan selalu dikenang. (*)
MENJADI GURU DI ERA PERUBAHAN
(RADAR LAMPUNG, KAMIS, 22 NOVEMBER 2012)
Dalam beberapa waktu terakhir, ada beberapa poin penting terkait dengan profesi guru. Setelah hiruk-pikuk digelarnya Uji Kompetensi Guru (UKG), kini muncul kebijakan baru perubahan kurikulum pendidikan yang mulai diberlakukan 2013. Di sisi lain, praktik profesi guru ditingkahi beberapa peristiwa, perkelahian pelajar, laporan kekerasan yang diduga dilakukan oleh guru, tuntutan guru honorer agar diangkat menjadi pegawai negeri, nominal honorer yang dinilai sangat tidak manusiawi, tuntutan transparansi tunjangan sertifikasi, dan sebagainya.
MESKIPUN begitu, ada pula beberapa prestasi siswa yang mencuat, seperti mobil esemka dan bidang permesinan, kemampuan (merakit) komputer dan berbagai perangkat teknologi, serta bidang seni dan budaya lainnya.
Menjadi guru di era kini memang menuntut banyak kompetensi. Perubahan yang serba cepat yang terjadi di masyarakat mengharuskan guru berpacu untuk dapat menjalankan profesinya sesuai ketentuan. Jadi diperlukan kesiapan diri untuk mengantisipasi perubahan.
Perubahan kurikulum, terutama di tingkat Sekolah Dasar, jelas berdampak luas terhadap guru. Meskipun istilahnya pengembangan kurikulum, ada beberapa hal mendasar yang perlu dipersiapkan oleh guru. Perubahan itu bukan sekadar pengurangan jumlah mata pelajaran, tetapi pengintegrasian beberapa substansi mata pelajaran ke dalam semua pelajaran. Model dan pendekatan pembelajaran juga harus diubah. Singkatnya paradigma guru terhadap pembelajaran yang dikelolanya harus berubah.
Salah satu contoh yang paling nyata dan krusial adalah penerapan teknologi informasi dan komunikasi (TIK). TIK bukan lagi merupakan mata pelajaran tersendiri, tetapi harus mewujud dalam praktik pembelajaran. Demikian halnya dengan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), dan Pramuka.
Secara kuantitif jumlah guru yang akrab dengan perangkat teknologi tidak lebih banyak dibandingkan yang sudah menggunakan perangkat teknologi dalam pembelajarannya. Penguasaan guru dalam pemanfaatan teknologi untuk pembelajaran merupakan problem terpendam. Bagaimana mungkin guru dapat melaksanakan pembelajaran yang memenuhi standar minimal, sedangkan ia “belum selesai dengan dirinya sendiri”.
Ada problem psikologis yang dihadapi guru. Merasa usia sudah tua, sehinga menganggap tak perlu lagi belajar komputer, berasumsi komputer itu rumit, dan berada di “zona nyaman”.
Dilema lain yang dihadapi guru adalah tindakan dalam pendisiplinan siswa. Terlalu longgar dalam aturan disiplin membuat siswa tidak fokus dalam belajar dan mengganggu iklim belajar di sekolah. Menegakkan aturan disiplin di sekolah, membuat guru berurusan dengan polisi. Terkadang siswa dan orang tua siswa emosional membuat laporan ke polisi.
Guru yang menghadapi permasalahan terkadang tidak berdaya dalam berbagai situasi. Menyuarakan aspirasi sering dianggap sebagai tindakan tak pantas, dengan dalih guru banyak tuntutan. Mempertanyakan transparansi pengelolaan anggaran sekolah atau gaji dan tunjangan yang tersendat, dikatakan guru tak layak mengurusi soal uang. Tugas guru itu mengajar, bukan soal uang.
Di bagian lain guru tugas-tugas guru juga syarat beban administratif . Hal ini terjadi karena tidak berjalannya sistem dan fungsi-fungsi institusional. Guru yang bersertifikasi disibukkan oleh pendataan (pemberkasan) yang berulang-ulang, pencairan tunjangan yang terhambat, simpang-siur informasi kebijakan baru yang akan diberlakukan, dan sebagainya.
Guru yang sedang dalam proses sertifikasi juga menghadapi tantangan yang sama. Karena ketidaksiapan, dan karena dorongan untuk dapat lulus dalam program sertifikasi tak jarang ada yang menempuh jalan pintas.
Padahal dengan sistem yang terkomputerisasi, beberapa beban tugas yang bersifat rutin dan administratif dapat terkurangi secara signifikan. Pendataan (pemberkasan) cukup dilakukan sekali dalam periode waktu tertentu, misalnya satu tahun atau dua tahun, karena perubahan-perubahan data dalam kurun waktu itu dalam secara otomatis diprogram.
Pemberkasan yang bersifat fisik dan berulang-ulang selain pemborosan juga mencerminkan sikap tidak profesional. Pernah ditemukan berkas-berkas guru sertifikasi di suatu kabupaten di Lampung, menjadi bungkus kacang di Ciamis, Jawa Barat. Ini mengindikasikan bahwa pemberkasan fisik sebagiannya adalah memproduksi limbah kantor. Padahal guru dibuat pontang-panting memenuhi berkas yang diminta.
Masih banyak guru yang enggan melakukan perubahan dan tidak siap terhadap perubahan. Sebagian beranggapan perubahan sebagai “ancaman” terhadap statusnya. Penerapan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang kemudian menjadi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menghendaki guru kreatif dan aktif merencanakan pembelajaran dan leluasan memanfaatkan sumber belajar yang sesuai dengan kondisi setempat. Tetapi setelah berjalan beberapa tahun, ternyata masih banyak guru yang mengelola kelas secara konvensional dan membelajarkan siswanya sebagaimana dia dulu diajar oleh guru-gurunya terdahulu.
Adanya seminar, pelatihan, dan workshop mampu mengubah cara pandang guru terhadap keberlakuan kebijakan dan program baru. Tetapi biasanya setelah kembali ke tempat tugas hasil dari kegiatan pelatihan, workshop, dan sejenisnya itu, sulit terimplementasi di tempat tugasnya. Persoalannya adalah seminar, pelatihan, atau workshop itu tidak mampu menjangkau sebagian besar guru, dilaksanakan dalam kerangka proyek (biasanya akhir tahun anggaran), dan ketidaksiapan perangkat-perangkat lain yang ada di sekolah.
Pengamatan penulis di suatu sekolah dengan jumlah guru sekitar 60 orang, diberangkatkan dua orang untuk mengikuti pelatihan TIK selama tiga hari. Karena bekal kemampuan dasar yang minimal, dalam pelatihan yang semestinya dengan target untuk implementasi pembelajaran multimedia, akhirnya pelatihan berisi kegiatan “belajar mengetik dengan komputer”. Sekembalinya ke tempat tugas mengajar, di sekolah tidak tersedia komputer, LCD projector, bahkan aliran listrik pun terbatas.
Paradigma baru pendidikan menghendaki pembelajaran dilaksanakan secara aktif, inovatif, kreatif, dan menyenangkan. Merencanakan, mengelola, merefleksikan, dan mengevaluasi pembelajaran, dengan cara konvensional dan manual saja belum sepenuhnya mampu dilaksanakan, kini sudah disusul dengan kebijakan baru perubahan kurikulum dengan pendekatan sains dan pemanfaatan komputer.
Yang juga menjadi tantangan pemerintah adalah penyediaan perangkat komputer dan jaringan internet di sekolah. Menyediakan sarana komputer dan jaringan internet di tengah infrastruktur fisik yang belum beres, jelas bukan pekerjaan mudah.
Dari seluruh paparan di atas penulis meyakini masih ada idealisme, spirit, dan dedikasi guru untuk mendidik generasi muda. Dengan bermodal semangat dan panggilan jiwa untuk mengabdi kepada kemanusiaan, diyakini guru mampu terus berkiprah dan berkontribusi dalam membangun fondasi pembangunan.
Birokrasi pemerintahan yang mengelola guru juga harus melakukan perubahan substansial, yaitu responsif terhadap perubahan. Perubahan bukan hanya simbolik atau kamuflase dan lip service. Birokrasi harus menjadi sarana tertib administrasi dan pemandu agar program tetap berada di arah yang benar dan agar dapat dilaksanakan secara lancar.
Kepemimpinan di organisasi sekolah juga memiliki ciri khas yang berbeda dengan perusahaan. Kepala sekolah yang berhasil adalah yang mampu menumbuhkan prakarsa dan motivasi guru untuk melakukan tugas dengan penuh tanggung jawab, mendorong guru untuk terus belajar, dan membangun iklim sekolah yang kondusif untuk belajar siswa. Keberhasilan kepala sekolah juga dapat diindikasikan dari kesantunan sikap orang-orang yang ada di sekolah itu, suasana belajar yang penuh semangat, pengelolaan anggaran sekolah yang transparan, dan keterlibatan berbagai stakeholder di sekolah yang dipimpinnya.
Kepala sekolah yang berhasil bukan mereka yang ke sekolah dengan bermobil mewah, atau tidak ada di tempat ketika guru hendak bertanya. Bukan pula yang selalu sibuk tugas luar, dan tugas dalam ketika akan ada tamu pejabat yang lebih tinggi.
Pembinaan terhadap profesi guru merupakan bagian tak terpisahkan dari fungsi-fungsi institusi pemerintahan bidang pendidikan. Paradigma pembinaan bukan “mengawasi”, atau menekan dan menebar informasi tak jelas. Pembinaan profesi guru dilakukan melalui pendampingan dan konsultasi, pengarahan, diskusi, dan pelatihan-pelatihan. Semoga tidak ada lagi instansi yang saling melempar tanggung-jawab. Dan semoga terwujud profil dan figur guru yang selalu dirindu siswanya, diteladani sikap-tindaknya, dan menebar kreativitas terhadap siswa sehingga terwujud siswa yang berprestasi. Selamat Hari Guru 25 November 2012. (*)
Kamis, 15 November 2012
MENCINTAI BUKU DAN PERPUSTAKAAN
Perpustakaan
adalah sarana penyebarluasan ilmu pengetahuan dan sarana pewarisan nilai-nilai
budaya bangsa. Koleksi yang ada di perpustakaan menjadi dokumen yang tak
ternilai harganya.
Perpustakaan adalah sumber belajar yang dapat digunakan setiap saat,
sistematis, dan terus dipelihara dan dikembangkan.
Pendidikan
dan perpustakaan dapat diibaratkan dua sisi mata uang. Semua memberi peran dan
saling melengkapi. Perpustakaan merupakan sarana yang wajib ada di lembaga
pendidikan. Di sekolah, perpustakaan sesungguhnya bagian integral Pusat Sumber
Belajar (PSB) yang menjadi pusat peningkatan mutu proses pembelajaran. Di
perguruan tinggi perpustakaan menjadi bagian paling penting dalam menunjang
pencapaian tujuan pendidikan tinggi. Saking pentingnya perpustakaan, ada yang
mengistilahkan bahwa perpustakaan adalah “jantung perguruan tinggi”.
Bahkan di
setiap institusi dan pemerintahan daerah membutuhkan adanya perpustakaan.
Berbagai daerah kini juga memiliki perpustakaan, meskipun ada yang masih
merupakan rintisan maupun digabung dengan satuan kerja lainnya.
Untuk
memahami isi koleksi perpustakaan, harus dilakukan dengan membacanya. Membaca
adalah aktivitas intelektual tetapi sekaligus dapat dilakukan dengan santai. Perpustakaan hendaknya menjadi
tempat belajar yang menyenangkan, menginspirasi dan memotivasi orang untuk
terus belajar.
Dalam proses
pendidikan, baik di jenjang SD sampai perguruan tinggi, aktivitas membaca
merupakan bagian paling banyak dari seluruh waktu yang ada. Membaca adalah
jalan menuju pengetahuan dan perpustakaan dapat dipandang sebagai kendaraan
yang mengantarkan pada pemahaman dan wawasan yang luas.
Koleksi
perpustakaan adalah pintu-pintu menuju cakrawala pandangan dan dunia ilmu
pengetahuan. Koleksi perpustakaan yang sesuai dengan kebutuhan kelompok
masyarakat penggunanya, menjadi ikon yang menandai proses bertumbuh-kembangnya
budaya dan peradaban umat manusia.
Budaya
membaca merupakan wujud proses panjang dan kontribusi banyak pihak. Lingkungan
strategis harusnya berperan besar dalam membangun budaya membaca. Masyarakat perlu memberikan
dukungan bagi kemajuan budaya membaca. Ini dapat dilakukan dengan cara yang
sangat sederhana seperti menyempatkan berkunjung ke perpustakaan, berkunjung ke
toko buku, atau memiliki buku bacaan di rumah.
Sekolah
merupakan lembaga strategis dan formal yang menjadi pilihan pendidikan bagi
masyarakat. Sekolah dan perpustakaan yang ada di sekolah dapat menjadi arus
utama (mainstream) dalam mewujudkan pendidikan karakter bagi peserta
didik.
Kita saat
ini perlu menanamkan kepada peserta didik bahwa perpustakaan sebagai pusat
pengetahuan dan sumber belajar yang tak pernah kering. Perpustakaan tak lekang
oleh waktu. Untuk mencapai kondisi ini pengelola perpustakaan dituntut untuk
mengembangkan diri, meningkatkan keterampilan dan bekerja melayakan koleksi
yang dimiliki kepada penggunanya.
Pimpinan
instansi induk dan pejabat pemerintah perlu menaruh perhatian lebih terhadap
peran dan kontribusi perpustakaan bagi penyebaran pengetahuan, ilmu, dan secara
umum bagi pewarisan nilai-nilai budaya dan perkembangan peradaban.
Kita sering
membaca berita di media, terkait perpustakaan, hampir semua berisi keluhan dan
komplain. Pengguna mengeluhkan kondisi dan layanan perpustakaan yang tidak
sesuai dengan kebutuhan dan keinginannya. Pengelola perpustakaan melemparkan
berbagai kendala yang dihadapi, seperti masalah tidak adanya anggaran yang
mencukupi, kebijakan instansi induk yang tidak berpihak pada perpustakaan.
Sementara pimpinan instansi induk menyalahkan rendahnya minat baca masyarakat,
sehingga beranggapan untuk apa membangun perpustakaan dengan biaya besar.
Pengelola
perpustakaan dan pimpinan instansi induk perlu mencari cara kreatif untuk
menjadikan perpustakaan sebagai pusat perhatian dan ramai dimanfaatkan oleh
masyarakat. Perpustakaan dapat menggelar berbagai even terkait
penumbuhkembangan budaya baca, menyosialisasikan peran dan fungsi perpustakaan,
terus melengkapi koleksi, dan yang juga penting adalah memberikan layanan
sesuai dengan perkembangan teknologi informasi.
Secara
khusus bagi perpustakaan sekolah, peran guru dan pimpinan sekolah, juga sangat
penting. Guru dan pengelola sekolah harus bergandeng tangan dan satu visi untuk
mewujudkan perpustakaan yang ideal. Perpustakaan perlu menambah keragaman
koleksi bahan pustaka yang sesuai dengan taraf perkembangan peserta didik dan
menyediakan ruang baca yang nyaman. Dari semua peran pustakawan atau petugas
perpustakaan yang paling penting adalah memberikan layanan dengan pendekatan
yang humanis.
Perpustakaan
harus menghapus kesan miring dan anggapan bahwa perpustakaan adalah gudang
buku. Petugas perpustakaan adalah pegawai “bermasalah” sehingga dimutasi ke
perpustakaan. Perpustakaan harusnya tidak dipandang sebelah mata.
Perpustakaan
yang maju akan memberikan kredit poin bagi instansi induk secara umum.
Perpustakaan sekolah yang dikelola secara modern dan dimanfaatkan secara
maksimal oleh warga sekolah, mengkontribusi pada citra sekolah yang baik. Di
perguruan tinggi, perpustakaan yang banyak dimanfaatkan oleh civitas akademika
mengkontribusi pada berbagai aktivitas belajar mahasiswa dan penelitian.
Perpustakaan yang representatif dan mampu memenuhi kehausan informasi dan
pengetahuan mahasiswa menjadi tempat paling favorit bagi mahasiswa.
Intinya
adalah perpustakaan mengkontribusi terhadap proses kreatif, sumber inspirasi,
dan membantu memandu perkembangan hasil belajar siswa.
Sekolah yang
menerapkan filosofi buku dan perpustakaan sebagai jendela dunia akan
menyediakan alokasi sumberdaya untuk perpustakaan yang memadai. Kepala sekolah karena jabatannya
akan berada di garis terdepan dalam memperjuangkan terwujudnya perpustakaan
yang menarik, lengkap, dan mampu memenuhi kebutuhan belajar siswanya. Buku dan perpustakaan adalah pembicara yang tidak ngobrol dan tak akan
pernah ngibul.
Guru dapat memberikan pembelajaran secara kreatif
dengan mengaitkan perpustakaan seperti penugasan kepada siswa untuk resume buku
yang ada di perpustakaan. Guru juga dapat memanfaatkan perpustakaan untuk
pembelajaran, baik melalui pengamatan bersama siswa, berdiskusi dalam
perpustakaan baik dengan sesama pengunjung maupun dengan pustakawan, dan sebagainya.
Perpustakaan
idealnya menjadi sarana yang memudahkan siswa untuk belajar. Sifat demokratis
dan egaliter perpustakaan harus dijaga dan dikembangkan. Layanan perpustakaan
menganut prinsip terbuka, dalam arti siapa saja boleh memanfaatkan perpustakaan
untuk menambah pengetahuannya. Tentu dengan memenuhi tata tertib dan aturan
yang berlaku. Meskipun yang utama adalah warga sekolah atau anggota
perpustakaan itu sendiri, prinsip bahwa perpustakaan dapat dimanfaatkan oleh
warga masyarakat umum tidak dapat ditanggalkan.
Perpustakaan
menjadi sumber belajar dan mencari pengetahuan secara efisien dan efektif.
Tidak harus berbiaya mahal untuk membaca buku, dan tidak harus pergi ke tempat
yang jauh untuk mempelajari sesuatu yang berada disuatu tempat.
Untuk
melihat dan mencari perbandingan sejarah Brazil, misalnya, siswa dapat membaca
koleksi buku yang ada di perpustakaan. Demikian pula untuk mempelajari budaya
masyarakat Timur Tengah, siswa dapat mengkaji buku yang dimiliki di perpustakaan
sekolahnya. Jadi tidak perlu jauh-jauh.
Selain itu untuk mengetahui kehidupan hewan, kehidupan bawah laut,
astronomi, geologi, dan sebagainya, semua dapat dipelajari melalui buku yang
ada di perpustakaan. Perpustakaan menyediakan catatan sejarah masa lalu dan
pengetahuan.
Perkembangan peradaban ditopang oleh perpustakaan. Buku dan koleksi
perpustakaan harus tumbuh seiring dengan kemajuan yang dicapai oleh umat
manusia. Generasi yang sekarang gemar membaca buku, mencintai perpustakaan, dan
memiliki motivasi belajar yang terjaga dengan baik, akan menjadi generasi
penerus yang juga akan melahirkan karya tulis berharga, memacu inovasi, dan
menyebarluaskan gagasan-gagasan cerdas yang bermanfaat. (*)
Rabu, 17 Oktober 2012
TANTANGAN PENGELOLAAN PERPUSTAKAAN
-----Artikel ini dimuat Radar Lampung, Jumat,12 Oktober 201-----
Dunia perpustakaan saat ini menghadapi berbagai tantangan. Dua tantangan dapat dikemukakan, yaitu ketersediaan perpustakaan dan segala sarananya serta keterampilan dan keahlian para pengelola perpustakaan.
SALAH satu tugas utama perpustakaan adalah menumbuhkembangkan minat baca masyarakat. Setelah terbangun budaya baca, penyebaran dan penyerapan pengetahuan akan lebih mudah dilakukan.
Ada dugaan rendahnya minat baca masyarakat karena ketersediaan perpustakaan dan koleksi yang dimiliki terbatas. Saat ini secara nasional terdapat lebih dari 76 ribu sekolah dari jenjang SD hingga SMA/SMK belum memiliki perpustakaan. Rinciannya sekolah yang belum memiliki perpustakaan itu adalah 55 ribu lebih SD, 12 ribu lebih SMP, dan hampir 9 ribu SMA/SMK.
Sekolah yang telah memiliki perpustakaan pun diyakini masih banyak yang belum sepenuhnya menyelenggarakan perpustakaan secara ideal. Padahal, perpustakaan adalah sarana baku yang harus ada di sekolah guna meningkatkan mutu pendidikan. Perpustakaan juga menjadi tonggak dan wahana membangun peradaban kemanusiaan yang lebih baik.
Di Lampung sekitar 60 persen sekolah belum memiliki perpustakaan (Radar Lampung, 14/9). Terungkap pula masalah minimnya koleksi dan makin berkurangnya anggaran sektor pendidikan. Hal ini menjadi sorotan anggota DPRD Lampung dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Lampung.
Problem lebih rumit ketika kebutuhan gedung sekolah saja masih kurang, dan beberapa gedung sekolah yang rusak belum diperbaiki. Artinya, masih ada masalah pemenuhan kecukupan ruang kelas untuk aktivitas pembelajaran.
Kondisi perpustakaan sekolah serupa juga dialami perpustakaan daerah. Beberapa media memberitakan kondisi perpustakaan daerah yang sepi pengunjung. Pengelola perpustakaan mengungkapkan kurangnya keragaman dan jumlah koleksi yang dimiliki perpustakaan.
Keterbatasan perpustakaan dan kurangnya koleksi perpustakaan jelas berpengaruh terhadap minat kunjungan ke perpustakaan. Berbagai kajian menunjukkan bahwa para pemustaka (pengguna perpustakaan) kurang tertarik berkunjung ke perpustakaan selain karena bahan pustaka yang diperlukan tidak tersedia di perpustakaan, juga beralasan karena suasana perpustakaan dan layanan yang diberikan dinilai tidak sesuai dengan kebutuhannya.
Faktor keterampilan dan keahlian pengelola perpustakaan juga berpengaruh terhadap minat pengguna perpustakaan. Perpustakaan yang ideal adalah yang dikelola secara profesional, berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan pengguna, dan selalu berupaya melakukan perbaikan dan peningkatan terus menerus.
Koleksi perpustakaan perlu dipelihara, ditambah, dan dimanfaatkan atau dilayankan kepada pengguna. Suasana perpustakaan juga harus diciptakan senyaman mungkin dan mendorong masyarakat untuk datang dan melakukan aktivitas membaca di perpustakaan.
Penyelenggaraan perpustakaan saat ini mensyaratkan penggunaan teknologi informasi. Perpustakaan harus mampu memenuhi kebutuhan pengguna yang semakin beragam dan fleksibel. Pengguna perpustakaan sekarang menghendaki kecepatan dan ketepatan atas informasi yang dibutuhkan. Artinya, pengelolaan perpustakaan harus mengikuti perkembangan teknologi informasi. Koleksi, data, dan informasi yang dimiliki perpustakaan dilayankan kepada pengguna dengan memanfaatkan berbagai media baik online, offline, maupun layanan baca di tempat dan peminjaman.
Jadi jelas, tantangan perpustakaan tidak sekadar gedung dan koleksi perpustakaan berupa buku, majalah, dan sejenisnya. Tetapi lebih dari itu adalah penyediaan ragam koleksi dan mekanisme layanan yang prima, dengan memanfaatkan teknologi.
Sebenarnya sudah ada regulasi yang dapat menjadi landasan pengembangan perpustakaan, terutama UU No. 43/2007 tentang Perpustakaan. Selain itu, untuk perpustakaan sekolah diatur dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa sekolah harus mengalokasikan minimal lima persen dari rencana anggaran sekolah untuk perpustakaan. Hal yang sama juga berlaku untuk perguruan tinggi.
Ketika perangkat aturan sudah ada, persoalan pada komitmen dalam implementasi. Sampai kini masih ada sebagian orang yang berpandangan bahwa perpustakaan sekadar pelengkap. Pengangkatan pegawai atau petugas perpustakaan sering didasarkan pada pertimbangan miring, seperti pegawai yang ’’bermasalah’’ dimutasi ke perpustakaan atau siapa saja bisa jadi petugas perpustakaan. Ada juga penempatan perpustakaan di lokasi yang tidak strategis, di sudut ruang yang tidak terpakai. Kalau sudah demikian, selanjutnya koleksi usang, orang malas berkunjung ke perpustakaan, dan tidak ada penambahan koleksi yang berarti.
Ketersediaan tenaga kerja dengan basis pendidikan ilmu perpustakaan dan informasi juga masih terbatas. Bisa jadi ini problem yang membentuk mata rantai melingkar. Lulusan SMA/SMK kurang berminat masuk program studi ilmu perpustakaan dan informasi karena paradigma usang bahwa perpustakaan bukan tempat yang menjanjikan untuk berkarir. Perguruan tinggi juga tidak menyelenggarakan program studi ilmu perpustakaan secara mandiri dimungkinkan karena rendahnya minat dan jumlah calon mahasiswa. Kalaupun ada masih dicangkokkan di program
studi lain.
Mereka yang telah menyelesaikan pendidikan di ilmu perpustakaan dan informasi tidak juga terserap di berbagai perpustakaan. Penyelenggara perpustakaan, tidak juga merekrut tenaga dengan basis pendidikan ilmu perpustakaan dan informasi karena tidak ada program rekrutmen, keterbatasan anggaran, atau karena berpandangan bahwa tugas-tugas di perpustakaan bisa dilakukan oleh siapa saja, tidak harus berpendidikan ilmu perpustakaan dan informasi.
Sampai saat ini memang belum ada definisi yang disepakati terhadap apa yang disebut perpustakaan. Tetapi ada beberapa patokan yang dapat dijadikan pegangan. Suatu perpustakaan adalah memiliki ruang tersendiri, memiliki koleksi minimal 1000 judul, ada petugas khusus yang melayankan, dan memiliki mekanisme pengelolaan dan pelayanan.
Untuk perpustakaan sekolah atau perguruan tinggi ada pegangan rasio koleksi dengan peserta didik yaitu sekitar 1:15. Jadi, suatu sekolah yang memiliki 700 siswa, maka koleksi perpustakaan idealnya minimal 10.000 judul. Itu pun koleksi harus terus ditambah dan diperbarui sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Sementara perpustakaan ideal dikelola oleh minimal tiga orang; yaitu bidang layanan, bidang pengelolaan, dan seorang kepala atau koordinator perpustakaan.
Jika pun terpaksa, perpustakaan minimal dikelola oleh dua orang, kepala atau koordinator bisa dirangkap oleh salah satu di antaranya. Jika dilihat dari jumlah sekolah, terutama yang belum memiliki perpustakaan yang berjumlah lebih dari 76 ribu sekolah, maka sebenarnya peluang karir di perpustakaan cukup terbuka. Belum lagi perpustakaan umum milik daerah, perguruan tinggi, maupun perpustakaan institusi tertentu.
Adanya UU tentang Perpustakaan dan aturan-aturan pelaksanaan merupakan pengakuan bahwa pustakawan merupakan profesi yang diakui dan perpustakaan merupakan lembaga resmi. Tinggal bagaimana kita mengubah cara pandang dan komitmen terhadap pendidikan melalui perpustakaan.
Guru, kepala sekolah, dan pimpinan instansi dapat bersinergi mendorong budaya baca, menyelenggarakan pembelajaran yang menyenangkan dan kreatif melalui perpustakaan. Pengelola perpustakaan juga dituntut memberikan layanan secara tepat sesuai kebutuhan pengguna, cepat tanggap, kepastian layanan sesuai yang dijanjikan, dan mengedepankan sifat humanis. Dengan demikian perpustakaan akan mampu mencapai misinya menjadi sumber belajar dan wahana penerusan nilai-nilai budaya bangsa. (*)
Dunia perpustakaan saat ini menghadapi berbagai tantangan. Dua tantangan dapat dikemukakan, yaitu ketersediaan perpustakaan dan segala sarananya serta keterampilan dan keahlian para pengelola perpustakaan.
SALAH satu tugas utama perpustakaan adalah menumbuhkembangkan minat baca masyarakat. Setelah terbangun budaya baca, penyebaran dan penyerapan pengetahuan akan lebih mudah dilakukan.
Ada dugaan rendahnya minat baca masyarakat karena ketersediaan perpustakaan dan koleksi yang dimiliki terbatas. Saat ini secara nasional terdapat lebih dari 76 ribu sekolah dari jenjang SD hingga SMA/SMK belum memiliki perpustakaan. Rinciannya sekolah yang belum memiliki perpustakaan itu adalah 55 ribu lebih SD, 12 ribu lebih SMP, dan hampir 9 ribu SMA/SMK.
Sekolah yang telah memiliki perpustakaan pun diyakini masih banyak yang belum sepenuhnya menyelenggarakan perpustakaan secara ideal. Padahal, perpustakaan adalah sarana baku yang harus ada di sekolah guna meningkatkan mutu pendidikan. Perpustakaan juga menjadi tonggak dan wahana membangun peradaban kemanusiaan yang lebih baik.
Di Lampung sekitar 60 persen sekolah belum memiliki perpustakaan (Radar Lampung, 14/9). Terungkap pula masalah minimnya koleksi dan makin berkurangnya anggaran sektor pendidikan. Hal ini menjadi sorotan anggota DPRD Lampung dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Lampung.
Problem lebih rumit ketika kebutuhan gedung sekolah saja masih kurang, dan beberapa gedung sekolah yang rusak belum diperbaiki. Artinya, masih ada masalah pemenuhan kecukupan ruang kelas untuk aktivitas pembelajaran.
Kondisi perpustakaan sekolah serupa juga dialami perpustakaan daerah. Beberapa media memberitakan kondisi perpustakaan daerah yang sepi pengunjung. Pengelola perpustakaan mengungkapkan kurangnya keragaman dan jumlah koleksi yang dimiliki perpustakaan.
Keterbatasan perpustakaan dan kurangnya koleksi perpustakaan jelas berpengaruh terhadap minat kunjungan ke perpustakaan. Berbagai kajian menunjukkan bahwa para pemustaka (pengguna perpustakaan) kurang tertarik berkunjung ke perpustakaan selain karena bahan pustaka yang diperlukan tidak tersedia di perpustakaan, juga beralasan karena suasana perpustakaan dan layanan yang diberikan dinilai tidak sesuai dengan kebutuhannya.
Faktor keterampilan dan keahlian pengelola perpustakaan juga berpengaruh terhadap minat pengguna perpustakaan. Perpustakaan yang ideal adalah yang dikelola secara profesional, berorientasi kepada pemenuhan kebutuhan pengguna, dan selalu berupaya melakukan perbaikan dan peningkatan terus menerus.
Koleksi perpustakaan perlu dipelihara, ditambah, dan dimanfaatkan atau dilayankan kepada pengguna. Suasana perpustakaan juga harus diciptakan senyaman mungkin dan mendorong masyarakat untuk datang dan melakukan aktivitas membaca di perpustakaan.
Penyelenggaraan perpustakaan saat ini mensyaratkan penggunaan teknologi informasi. Perpustakaan harus mampu memenuhi kebutuhan pengguna yang semakin beragam dan fleksibel. Pengguna perpustakaan sekarang menghendaki kecepatan dan ketepatan atas informasi yang dibutuhkan. Artinya, pengelolaan perpustakaan harus mengikuti perkembangan teknologi informasi. Koleksi, data, dan informasi yang dimiliki perpustakaan dilayankan kepada pengguna dengan memanfaatkan berbagai media baik online, offline, maupun layanan baca di tempat dan peminjaman.
Jadi jelas, tantangan perpustakaan tidak sekadar gedung dan koleksi perpustakaan berupa buku, majalah, dan sejenisnya. Tetapi lebih dari itu adalah penyediaan ragam koleksi dan mekanisme layanan yang prima, dengan memanfaatkan teknologi.
Sebenarnya sudah ada regulasi yang dapat menjadi landasan pengembangan perpustakaan, terutama UU No. 43/2007 tentang Perpustakaan. Selain itu, untuk perpustakaan sekolah diatur dalam UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa sekolah harus mengalokasikan minimal lima persen dari rencana anggaran sekolah untuk perpustakaan. Hal yang sama juga berlaku untuk perguruan tinggi.
Ketika perangkat aturan sudah ada, persoalan pada komitmen dalam implementasi. Sampai kini masih ada sebagian orang yang berpandangan bahwa perpustakaan sekadar pelengkap. Pengangkatan pegawai atau petugas perpustakaan sering didasarkan pada pertimbangan miring, seperti pegawai yang ’’bermasalah’’ dimutasi ke perpustakaan atau siapa saja bisa jadi petugas perpustakaan. Ada juga penempatan perpustakaan di lokasi yang tidak strategis, di sudut ruang yang tidak terpakai. Kalau sudah demikian, selanjutnya koleksi usang, orang malas berkunjung ke perpustakaan, dan tidak ada penambahan koleksi yang berarti.
Ketersediaan tenaga kerja dengan basis pendidikan ilmu perpustakaan dan informasi juga masih terbatas. Bisa jadi ini problem yang membentuk mata rantai melingkar. Lulusan SMA/SMK kurang berminat masuk program studi ilmu perpustakaan dan informasi karena paradigma usang bahwa perpustakaan bukan tempat yang menjanjikan untuk berkarir. Perguruan tinggi juga tidak menyelenggarakan program studi ilmu perpustakaan secara mandiri dimungkinkan karena rendahnya minat dan jumlah calon mahasiswa. Kalaupun ada masih dicangkokkan di program
studi lain.
Mereka yang telah menyelesaikan pendidikan di ilmu perpustakaan dan informasi tidak juga terserap di berbagai perpustakaan. Penyelenggara perpustakaan, tidak juga merekrut tenaga dengan basis pendidikan ilmu perpustakaan dan informasi karena tidak ada program rekrutmen, keterbatasan anggaran, atau karena berpandangan bahwa tugas-tugas di perpustakaan bisa dilakukan oleh siapa saja, tidak harus berpendidikan ilmu perpustakaan dan informasi.
Sampai saat ini memang belum ada definisi yang disepakati terhadap apa yang disebut perpustakaan. Tetapi ada beberapa patokan yang dapat dijadikan pegangan. Suatu perpustakaan adalah memiliki ruang tersendiri, memiliki koleksi minimal 1000 judul, ada petugas khusus yang melayankan, dan memiliki mekanisme pengelolaan dan pelayanan.
Untuk perpustakaan sekolah atau perguruan tinggi ada pegangan rasio koleksi dengan peserta didik yaitu sekitar 1:15. Jadi, suatu sekolah yang memiliki 700 siswa, maka koleksi perpustakaan idealnya minimal 10.000 judul. Itu pun koleksi harus terus ditambah dan diperbarui sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan.
Sementara perpustakaan ideal dikelola oleh minimal tiga orang; yaitu bidang layanan, bidang pengelolaan, dan seorang kepala atau koordinator perpustakaan.
Jika pun terpaksa, perpustakaan minimal dikelola oleh dua orang, kepala atau koordinator bisa dirangkap oleh salah satu di antaranya. Jika dilihat dari jumlah sekolah, terutama yang belum memiliki perpustakaan yang berjumlah lebih dari 76 ribu sekolah, maka sebenarnya peluang karir di perpustakaan cukup terbuka. Belum lagi perpustakaan umum milik daerah, perguruan tinggi, maupun perpustakaan institusi tertentu.
Adanya UU tentang Perpustakaan dan aturan-aturan pelaksanaan merupakan pengakuan bahwa pustakawan merupakan profesi yang diakui dan perpustakaan merupakan lembaga resmi. Tinggal bagaimana kita mengubah cara pandang dan komitmen terhadap pendidikan melalui perpustakaan.
Guru, kepala sekolah, dan pimpinan instansi dapat bersinergi mendorong budaya baca, menyelenggarakan pembelajaran yang menyenangkan dan kreatif melalui perpustakaan. Pengelola perpustakaan juga dituntut memberikan layanan secara tepat sesuai kebutuhan pengguna, cepat tanggap, kepastian layanan sesuai yang dijanjikan, dan mengedepankan sifat humanis. Dengan demikian perpustakaan akan mampu mencapai misinya menjadi sumber belajar dan wahana penerusan nilai-nilai budaya bangsa. (*)
Kamis, 20 September 2012
GURU DAN POLITIK PENDIDIKAN
---ARTIKEL INI DIMUAT LAMPUNG POST, JUMAT, 14 SEPTEMBER 2012---
HAKIKAT
politik pendidikan adalah bagaimana komitmen institusi politik memainkan
peran keberpihakan pada usaha memajukan pendidikan. Nilai filosofi
politik pendidikan adalah perubahan sosial ke arah yang lebih baik.
Politik
menjadi instrumen untuk memajukan pendidikan. Namun, dalam praktek
sering dijumpai justru pendidikan menjadi instrumen politik, meraih dan
memelihara kekuasaan atau berbagai keuntungan politik.
Dalam
perspektif politik pendidikan, para aktor yang terlibat dituntut
memberikan sumbangan yang optimal bagi pendidikan. Esensi praktek
politik pendidikan adalah bagaimana pengalokasian sumber daya yang
dimiliki, termasuk anggaran, pada sektor pendidikan. Di level teknis
operasional, aplikasi politik pendidikan adalah bagaimana anggaran dan
penggerakan sumber daya yang sudah disepakati dialokasikan di sektor
pendidikan dapat dilaksanakan secara optimal. Institusi politik berperan
melakukan pengawasan agar pelaksanaan program, kebijakan, dan kegiatan
di bidang pendidikan benar-benar sesuai dengan apa yang telah
direncanakan.
Untuk
mengukur komitmen politik pendidikan, hal yang paling tampak mudah
adalah seberapa besar proporsi anggaran diberikan pada sektor
pendidikan. Selain itu juga komitmen politik pendidikan dapat dianalisis
melalui apa saja yang telah dilakukan para aktor yang terlibat.
Guru Korban Politik?
Desentralisasi
merupakan bagian dari upaya manajemen, tetapi berdampak atau bertalian
dengan politik. Di era otonomi daerah, kewenangan pengelolaan guru
berada di daerah. Sudah bukan rahasia lagi, guru (dan jabatan kepala
sekolah) menjadi tersandera oleh berbagai kekuatan yang sedang membahana
di daerah. Kondisi seperti ini akan sangat kental ketika menjelang
pemilihan kepala daerah.
Guru
dijadikan instrumen politik untuk kepentingan kelompok tertentu. Guru
diombang-ambing oleh keinginan segelintir elite. Guru berada di tengah
kegalauan birokrasi yang tak prima. Barangkali dunia politik memiliki
perhitungan bahwa guru adalah simpul massa dan dianggap sebagai kelompok
strategis untuk memuluskan kepentingan politik tertentu. Di sisi lain,
tentu ada pula kalkulasi jumlah guru, kapitalisasi massa yang dapat
didulang, dan anggaran yang berpusar di sektor pendidikan.
Kebijakan
untuk guru terasa indah dan terdengar nyaring. Pemerintah memberikan
berbagai tunjangan, dan terutama tunjangan guru yang tersertifikasi.
Berbagai program juga dirancang untuk memajukan pendidikan, baik melalui
dana bantuan operasional sekolah, pembangunan gedung baru, beasiswa,
dan sebagainya.
Ketika
terjadi karut-marut pengelolaan berbagai anggaran dan pembangunan,
posisi guru terkena imbas negatif. Saat pembayaran tunjangan
terkatung-klatung, ada dilema dihadapi guru. Menuntut pembayaran,
dianggap tidak pantas karena nantinya dianggap sebagai guru yang tidak
ikhlas dan hanya mengejar uang. Tidak menunut, lebih runyam karena
semakin menenggelamkan harkat dan martabat guru sebagai sosok yang
pantas diteladani.
Guru
demo atau rasa, untuk menuntut hak-hak guru yang ditelantarkan, jelas
mengesankan "ketidakpantasan". Guru kok demo. Demo atau unjuk-rasa masih
diidentikkan dengan anarki dan ketidaktertiban. Bahkan ketika guru
mempertanyakan nasibnya, maka "ancaman" mutasi sudah membayangi.
Tak
dapat dipungkiri ada guru yang keblinger gemerlap materi, termasuk
tunjangan sertifikasi. Guru seperti ini menjadikan uang dan tunjangan
sertifikasi sebagai orientasi utama. Guru seperti ini enggan mengelola
diri untuk mencapai kemajuan dan sudah puas dengan apa yang dijalani
selama ini. Tetapi tidak akan pernah puas terhadap materi.
Perjuangan
Perjuangan
aspirasi guru melalui organisasi yang ada juga tampak menemui jalan
buntu, di tengah kuatnya kepentingan politik elite. Kekuatan dan potensi
guru rentan dipecah belah dan dibuat galau. Siapa peduli guru?
Pertanyaan “nakal” ini menunggu jawaban konkret dan tindakan nyata dari
lembaga wakil rakyat, kelompok masyarakat, dunia pendidikan, dan siapa
saja yang terpanggil.
Guru jangan demo karena tak pantas. Konsep guru harus nrimo,
masih didengung-dengungkan. Kalau guru bersuara menuntut haknya, mutasi
sepihak akan diterimanya. Meskipun saluran komunikasi politik macet,
guru terpaksa menelan ludah pahit.
Pendidikan
adalah proses yang lebih merupakan proses perubahan kualitas. Oleh
karena itu, indikator keberhasilan pendidikan juga sangat kualitatif.
Ukuran-ukuran kuantitatif harus dijadikan pelengkap pencapaian
kualitatif. Atau setidaknya model pengukuran gabungan sehingga lebih
mampu mencakup pencapaian-pencapaian yang ada. Agar tidak ada klaim
sepihak atau klaim yang semata-mata kuantitif tetapi tidak mencerminkan
isi dan proses pendidikan yang sesungguhnya.
Pendidikan
harus dikembalikan pada roh menyiapkan generasi yang lebih baik dan
tangguh menghadapi berbagai tantangan dan peluang. Pendidikan adalah
membangun kompetensi dan berbagai keterampilan yang berguna bagi masa
depan peserta didik.
Pendidikan
adalah pelayanan terhadap kemanusiaan, yang dalam konsep bernegara
disebut sebagai pelayanan publik. Tapi nyatanya pendidikan kini lebih
mudah dilihat sebagai komoditas politik, lahan perburuan rente ekenomi,
dan pasar sasaran berbagai produk barang dan jasa yang tidak terkait
dengan pendidikan secara langsung.
Core
pendidikan harus dijalankan oleh aparat, pegawai, staf, pejabat, dan
pelaku-pelaku yang memiliki kompetensi, bekerja profesional, motivasi
dan menjiwai dunia pendidikan sebagai lahan pengabdian dan menekuni
perannya sebagai panggilan jiwa. Pendidikan memerlukan kepemimpinan yang
memahami lingkungan strategis pendidikan itu sendiri sekaligus tetap
memberikan ruang bagi dinamika profesi guru yang bergerak sangat cepat.
Guru Ideal
Mestinya
profesi guru adalah panggilan jiwa, dan imbalan maupun prestise yang
disandangkan harus dilihat sebagai dampak ikutan yang diberikan oleh
pemerintah dan masyarakat. Guru harus terus meningkatkan wawasan dan
keterampilannya. Istilahnya, guru harus sudah selesai dengan dirinya
sendiri. Kalau sudah demikian, guru akan dapat tenang bekerja mendidikan
dan mengasuh siswanya. Guru mengembangkan segenap potensi yang dimiliki
siswanya agar mencapai kondisi yang paling optimal.
Guru
ideal adalah guru yang tidak sibuk dengan keinginan-keinginan berlebihan
terhadap duniawi. Apalagi guru berstatus pegawai negeri sipil dan sudah
bersertifikat sebagai guru profesional. Guru yang sepenuh hati
melaksanakan fungsi pendidikan dan menjalankan amanah kemanusiaan. Guru
yang mendidik siswa dengan kasih sayang dan membelajarkan secara
menyenangkan.
Guru
yang diperlukan di lembaga pendidikan siswa adalah guru yang senantiasa
memiliki gairah untuk terus belajar dan mengembangkan diri melalui
berbagai media, forum, organisasi, dan pelatihan-pelatihan. Guru yang
memiliki pengetahuan dan keterampilan pedagogis dan menerapkan dalam
proses pembelajaran.
Guru
dituntut untuk terus menempa diri dengan berbagai pengalaman
kependidikan yang berharga. Guru yang dilahirkan oleh lembaga pendidikan
yang juga dikelola secara profesional dan menghargai makna dan hakikat
pendidikan.
Kondisi
guru ideal dapat terwujud jika guru tidak terombang-ambing dalam
gelombang politik local dan elite politik. Profesi guru dilakoni oleh
mereka yang menghargai proses pendidikan dan bukan yang
mengagung-agungkan angka yang bersifat semu. Guru ideal akan senantiasa
dirindukan siswanya.
Guru
yang sudah melaksanakan kewajiban dan mencoba memperbaiki diri secara
terus-menerus hanya bisa berharap semoga terjadi perbaikan birokrasi
pendidikan. n
Rabu, 15 Agustus 2012
MEDIA DAN HAK PUBLIK
Tak
dapat dipungkiri bahwa eksistensi media massa telah menjadi salah satu penopang
utama keberlanjutan era reformasi. Suasana kebebasan mengemukakan pendapat
seperti sekarang, adalah bentuk peran media dalam dinamika kehidupan berbangsa
dan bernegara.
Media telah berperan secara terus menerus dalam
upaya terwujudnya keterbukaan informasi publik. Keterbukaan informasi adalah
suatu kondisi yang memungkinkan orang memperoleh informasi yang berguna bagi
dirinya sendiri maupun bagi orang lain secara mudah dan cepat.
Memperoleh informasi hakikatnya adalah hak dasar warga negara. Pemenuhan hak
memperoleh informasi akan terhambat, karena adanya benturan kepentingan terhadap pihak-pihak yang
menguasai informasi.
Keterbukaan informasi publik berarti kewajiban
badan publik untuk menyampaikan informasi publik. Jadi hak dasar warga negara
mendapat informasi, dibarengi dengan kewajiban pemegang informasi untuk
menyampaikan atau mengumumkannya.
Media memiliki tanggung jawab yang besar terhadap bangsa
dan negara. Dalam perspektif institusi sosial, media bertanggung jawab terhadap
masyarakat. Ia harus memainkan peran sebagai media penyalur aspirasi bagi
masyarakat, sekaligus menjalankan fungsi kontrol baik terhadap dinamika sosial
itu sendiri maupun terhadap perilaku kekuasaan. Idealnya media memainkan peran sebagai penjaga
arah agar institusi-institusi publik dan negara tetap berjalan pada rel yang
semestinya. Di sinilah media akan menjaga gawang pepatah “kekuasaan cenderung
korupsi” agar tidak terjadi.
Keseimbangan
kekuatan saling kontrol antar-institusi akan meminimalkan terjadinya kecenderungan
korupsi, penyimpangan, maupun monopoli kebenaran dan informasi.
Melalui pemberitaan, analisis, esai, laporan,
kolom, dan artikel, media terus menyebarluaskan informasi kepada masyarakat sebagai hak publik. Media menjalankan fungsi mendidik,
dalam arti luas, menyebarluaskan informasi, dan menjadi sarana hiburan. Media
membangun budaya dan peradaban yang lebih maju.
Dahaga Informasi
Rasa ingin tahu pasti dimiliki individu. Kebutuhan akan informasi lebih
penting daripada kebutuhan fisik. Fitrahnya, setiap orang akan berusaha
memenuhi dahaga informasi. Jika keinginan untuk mengetahui sesuatu itu
terpenuhi, maka ia akan merasa tenang dan puas. Dalam bahasa lain, masyarakat yang terinformasi adalah
masyarakat yang sejahtera secara bathiniah. Masyarakat yang memperoleh
informasi, akan lebih mudah memiliki kesadaran pentingnya bermasyarakat dan
berpartisipasi dalam membangun masyarakatnya ke arah yang lebih baik.
Kebutuhan
akan informasi bagi masyarakat sebagian besar terpenuhi atau disalurkan melalui
pemanfaatan media massa. Oleh karena itu media massa hendaknya menangkap
kebutuhan akan informasi itu sebagai umpan balik untuk terus menerus
memperbaiki diri. Media massa yang akan bertahan dan dicintai masyarakat adalah
media yang tidak hanya pandai mengkritik, tetapi juga diisi oleh awak redaksi
yang selalu terbuka terhadap kritik.
Kritik,
saran, masukan, pendapat, dari manapun datangnya, jika itu esensinya adalah
untuk perbaikan, akan diterima dengan baik.
Pengelola
media dan pekerja media mendedikasikan dirinya di bidang informasi sebagai
lahan pengabdian. Karakteristik informasi adalah kebenaran, keterbukaan,
kesetaraan, kecepatan, dan ketepatan. Pengelola media pasti memahami dan
menghayati terhadap karakteristik informasi itu sehingga mampu mengoptimalkan
pengabdiannya bagi masyarakat.
Kebebasan dan Tantangan
Di masa Orde Baru, mengkritik pimpinan negara,
membutuhkan keberanian yang luar biasa. Bahkan, mengkritik kebijakan
pemerintah, adalah “kemewahan” yang harus dibayar mahal.
Meskipun media telah memberikan peran bagi
keterbukaan informasi, harus diakui media juga memberikan ekses baik berupa
ketegangan maupun disharmoni. Ekses media yang mungkin negatif, biasanya
bersifat sementara, sebagai akibat kurangnya pengetahuan dan kesadaran terhadap
fungsi media itu sendiri.
Contohnya, di awal reformasi, kantor media massa
didemo merupakan hal yang biasa. Seorang tokoh yang mencalonkan diri untuk maju
menjadi calon pemimpin suatu organisasi, ketika mendapat sorotan kritis media,
mengerahkan massa ke kantor media untuk menekan. Banyak modus lain reaksi
ketidaksenangan suatu kelompok terhadap peran media, seperti memboikot, mengancam
personil media, maupun membuat media sendiri.
Kebebasan
dan hak setiap individu akan dibatasi oleh kebebasan dan hak individu lainnya. Media
harus mendorong terpenuhinya hak publik dengan tetap menjaga kebenaran di atas
kebebasan.
Media sebagai entitas bisnis menghadapi tantangan iklim
kompetisi dan keterbatasan sumberdaya. Media harus menjaga keseimbangan antara idealisme
dan fungsi bisnis.
Pemandu
Media harus menjadi guideline bagi pembacanya dalam memandu untuk mengambil keputusan. Bagi
pengusaha, media berperan membantu dalam mengambil keputusan bisnis yang tepat.
Bagi politisi media menjadi pemandu arah karir politiknya dan dukungan massa
kepadanya. Bagi masyarakat kota, media menjadi rambu-rambu dan petunjuk akan bahaya
kriminal, trend gaya hidup, informasi tentang arus lalu-lintas, layanan publik,
potensi penyakit, dan
gangguan keamanan. Bagi petani menjadi media informasi dan pengetahuan untuk
meningkatkan budidaya dan produksi serta saluran pemasaran.
Media
hendaknya mengungkap kebenaran dan memberitakan sesuatu di balik peristiwa.
Media perlu memperbarui semangat dan khitahnya sebagai penyebar pencerahan.
Memberitakan korupsi, misalnya, agar yang lain tidak melakukan korupsi.
Menampilkan tokoh dan kisah sukses agar menjadi teladan bagi masyarakat umum. Memuat
laporan tentang kerusakan sarana umum agar segera mendapat respon dari yang
berwenang. Singkatnya, informasi yang disampaikan media dibutuhkan dan bermanfaat bagi setiap
orang.
Dengan
demikian kehadiran media mampu menjaga layanan publik tetap baik dan menjamin terlaksananya
kewajiban institusi publik. Bagi masyarakat, media membantu memenuhi hak-haknya
akan informasi. (Bandar Lampung, 09 Agustus 2012)
Selasa, 07 Agustus 2012
UNJUK KEPEDULIAN UNTUK GURU
Pekan lalu dan beberapa pekan atau bulan ke depan, guru yang
tersertifikasi sibuk dan akan tetap sibuk oleh apa yang disebut Uji
Kempetensi Guru (UKG). Saya ingin memberikan catatan, sebaiknya kita
sekarang unjuk kepedulian kepada guru. Guru adalah figur yang menjadikan
kita seperti sekarang. Sebagai manusia biasa, guru tak luput dari
beberapa kelemahan. Tapi pun begitu, peran, kontribusi, jasa, dedikasi,
para guru, patut kita apresiasi. (Bandar Lampung, Jumat, 03 Agustus
2012)
Para guru yang telah bersertifikat sebagai guru profesional, dihadapkan pada Uji Kompetensi Guru (UKG). Seperti biasa, program pemerintah pusat ini menuai pro dan kontra. Ide dasar UKG seperti digembar-gemborkan pemerintah, adalah dalam rangka pemetaan kualitas guru di berbagai jenjang sekolah dan di berbagai daerah.
PIHAK-PIHAK yang kontra terhadap UKG bersikukuh menolak UKG sebagai instrumen penilaian kinerja guru dengan dalih pemetaan. Mereka menganggap pemerintah seakan-akan kurang pekerjaan, dengan menggelar UKG. Ada dua hal substansial yang mendasari penolakan UKG secara online; pertama adalah bahwa menilai kompetensi guru tidak bisa hanya berdasarkan ujian dengan tipe soal pilihan jamak. Apalagi aspek-aspek profesional guru sangat banyak, dan sebagian besar menyangkut kompetensi yang untuk menilainya mengharuskan dilakukan pengamatan praktis dan menyeluruh.
Kedua, bahwa pemerintah saat ini memiliki tanggung jawab menuntaskan ratusan ribu guru yang belum tersertifikasi. Dalam dua tahun terakhir, kuota bagi peserta sertifikasi ditingkatkan, dalam rangka mengejar pencapaian sertifikasi guru. Pertanyaannya, mengapa tidak peningkatan status guru tersertifikasi itu dulu yang diprioritaskan?
Sejak akan dilaksanakannya UKG, penulis berhipotesis bahwa ini adalah suatu program yang mengemban dua agenda. Pertama, melalui UKG pemerintah akan mudah menjawab kritik masyarakat bahwa sertifikasi guru bermanfaat atau setidaknya meningkatkan kinerja guru, meskipun dalam kadar yang tidak terlalu menggembirakan. Kedua, apabila ada beberapa kekurangan atau kelemahan dalam aspek-aspek profesional di kalangan guru, maka pemerintah akan meluncurkan program pembinaan yang lebih masif.
---Perlu Penjelasan
Pertanyaan-pertanyaan yang perlu jawaban dan penjelasan adalah, mengapa untuk melakukan pemetaan kualitas guru harus melalui UKG yang diikuti semua guru bersertifikasi? Tidak adakah metode sampling yang valid dan reliabel untuk memetakan kualitas guru? Bukankah untuk menggelar UKG memerlukan biaya yang besar? Apakah selama ini tidak ada institusi atau tim yang fungsinya melakukan pendataan dan pemetaan terhadap kualitas guru dan sebaran guru?
Agak miris malah ketika UKG diluncurkan, muncul statemen bahwa “jika guru selama ini menguji murid, maka guru saat ini harus siap diuji”. Statemen ini terlalu meremehkan seolah-olah guru tidak mau (tidak siap) diuji.
Persoalan lain adalah waktu untuk sosialisasi UKG juga sangat singkat. Informasi yang sampai di tingkat guru membias. Yang didengar guru adalah bahwa UKG akan berdampak kepada status sertifikasi mereka. Jika tidak lulus dalam UKG, maka status sertifikasi terancam.
Kenyataannya, seperti mudah diduga, pelaksanaan UKG tidak optimal, untuk tidak menyebut gagal. Di berbagai tempat ujian, akses internet sangat lambat bahkan ngadat. Kesiapan para guru peserta UKG juga sangat memprihatinkan. Masih banyak yang gagap teknologi. Bagi sebagian guru yang tidak terbiasa dengan komputer, mengoperasikan komputer bagaikan menghadapi hantu.
Dilema teknologi, seperti biasa, dapat digambarkan seperti menunggang harimau. Jika tak pandai mengendalikan, maka penungganglah yang akan diterkam oleh harimau. Idiom ini berlaku terhadap penggunaan komputer dalam UKG yang dilakukan secara online.
Sekedar diketahui, ada banyak guru dari suatu kecamatan, terpaksa membeli laptop baru dan dibawa ke tempat ujian, meskipun belum bisa memanfaatkan fungsi-fungsi laptop. Dan benar, di tempat ujian, laptop itu tidak digunakan sama sekali untuk ujian, karena sudah disediakan komputer oleh panitia.
Menyimak pelaksanaan UKG yang lalu, belum tampak bahwa UKG berpihak pada guru. UKG lebih menampilkan sebagai peran antagonis dalam suatu drama kolosal. Peduli nasib guru tidak harus menjadikan guru terombang-ambing dalam ketidakpastian.
Suatu kompetensi sudah selayaknya diasah dan ditingkatkan sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman. Jika ada guru yang bersertifikasi, tetapi kinerjanya menurun, mungkin secara kasuistik itu ada. Tetapi menggeneralisasi bahwa sertifikasi belum atau tidak memperbaiki kualitas guru, adalah pandangan yang naif. Mengapa? Karena saat lolos sertifikasi, guru telah diwajibkan memenuhi berbagai persyaratan dan proses panjang oleh institusi yang kredibel.
--- Motivasi Pribadi
Meningkatkan kapasitas, kualitas, dan kompetensi diri pribadi terutama didorong oleh kemauan dari dalam diri sendiri. Siapapun kita, apalagi seorang guru, rasanya perlu selalu menambah energi dan terus berusaha mencari pola baru yang lebih efektif untuk meningkatkan kompetensi.
Eksistensi guru dalam diri siswa tidak semata-mata kehadirannya di depan kelas maupun di sekolah. Seorang guru harus menampilkan diri sebagai sosok teladan dalam segala hal yang positif.
Guru harus memiliki motivasi belajar yang tinggi, sehingga bisa memotivasi siswanya untuk belajar lebih giat. Guru harus menebar semangat kemandirian dan menanamkan tanggung jawab dalam diri siswa.
Menjadi guru di era sekarang, berbeda dengan beberapa dasawarsa lalu. Bahkan situasinya jauh berbeda dibanding dengan enam tahun silam. Guru sekarang menghadapi berbagai tantangan yang semakin kompleks.
UKG diplesetkan menjadi Uji Kesabaran Guru. Ini sebuah ungkapan bahwa guru, di samping melaksanakan tugas dan fungsi mendidik, menjadi obyek eksploitasi dari birokrasi yang cenderung tidak peduli. Meskipun tidak sepenuhnya benar, aspirasi ini patut mendapat apresiasi. Mengapa? Sudah sepantasnya guru menyuarakan aspirasi, kondisi, kebutuhan, dan berbagai problematika terkait tugas dan fungsinya, di hadapan praktik birokrasi yang berjiwa "kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah". Mengherankan memang, di era keterbukaan, masih saja birokrasi belum berubah. (*)
Para guru yang telah bersertifikat sebagai guru profesional, dihadapkan pada Uji Kompetensi Guru (UKG). Seperti biasa, program pemerintah pusat ini menuai pro dan kontra. Ide dasar UKG seperti digembar-gemborkan pemerintah, adalah dalam rangka pemetaan kualitas guru di berbagai jenjang sekolah dan di berbagai daerah.
PIHAK-PIHAK yang kontra terhadap UKG bersikukuh menolak UKG sebagai instrumen penilaian kinerja guru dengan dalih pemetaan. Mereka menganggap pemerintah seakan-akan kurang pekerjaan, dengan menggelar UKG. Ada dua hal substansial yang mendasari penolakan UKG secara online; pertama adalah bahwa menilai kompetensi guru tidak bisa hanya berdasarkan ujian dengan tipe soal pilihan jamak. Apalagi aspek-aspek profesional guru sangat banyak, dan sebagian besar menyangkut kompetensi yang untuk menilainya mengharuskan dilakukan pengamatan praktis dan menyeluruh.
Kedua, bahwa pemerintah saat ini memiliki tanggung jawab menuntaskan ratusan ribu guru yang belum tersertifikasi. Dalam dua tahun terakhir, kuota bagi peserta sertifikasi ditingkatkan, dalam rangka mengejar pencapaian sertifikasi guru. Pertanyaannya, mengapa tidak peningkatan status guru tersertifikasi itu dulu yang diprioritaskan?
Sejak akan dilaksanakannya UKG, penulis berhipotesis bahwa ini adalah suatu program yang mengemban dua agenda. Pertama, melalui UKG pemerintah akan mudah menjawab kritik masyarakat bahwa sertifikasi guru bermanfaat atau setidaknya meningkatkan kinerja guru, meskipun dalam kadar yang tidak terlalu menggembirakan. Kedua, apabila ada beberapa kekurangan atau kelemahan dalam aspek-aspek profesional di kalangan guru, maka pemerintah akan meluncurkan program pembinaan yang lebih masif.
---Perlu Penjelasan
Pertanyaan-pertanyaan yang perlu jawaban dan penjelasan adalah, mengapa untuk melakukan pemetaan kualitas guru harus melalui UKG yang diikuti semua guru bersertifikasi? Tidak adakah metode sampling yang valid dan reliabel untuk memetakan kualitas guru? Bukankah untuk menggelar UKG memerlukan biaya yang besar? Apakah selama ini tidak ada institusi atau tim yang fungsinya melakukan pendataan dan pemetaan terhadap kualitas guru dan sebaran guru?
Agak miris malah ketika UKG diluncurkan, muncul statemen bahwa “jika guru selama ini menguji murid, maka guru saat ini harus siap diuji”. Statemen ini terlalu meremehkan seolah-olah guru tidak mau (tidak siap) diuji.
Persoalan lain adalah waktu untuk sosialisasi UKG juga sangat singkat. Informasi yang sampai di tingkat guru membias. Yang didengar guru adalah bahwa UKG akan berdampak kepada status sertifikasi mereka. Jika tidak lulus dalam UKG, maka status sertifikasi terancam.
Kenyataannya, seperti mudah diduga, pelaksanaan UKG tidak optimal, untuk tidak menyebut gagal. Di berbagai tempat ujian, akses internet sangat lambat bahkan ngadat. Kesiapan para guru peserta UKG juga sangat memprihatinkan. Masih banyak yang gagap teknologi. Bagi sebagian guru yang tidak terbiasa dengan komputer, mengoperasikan komputer bagaikan menghadapi hantu.
Dilema teknologi, seperti biasa, dapat digambarkan seperti menunggang harimau. Jika tak pandai mengendalikan, maka penungganglah yang akan diterkam oleh harimau. Idiom ini berlaku terhadap penggunaan komputer dalam UKG yang dilakukan secara online.
Sekedar diketahui, ada banyak guru dari suatu kecamatan, terpaksa membeli laptop baru dan dibawa ke tempat ujian, meskipun belum bisa memanfaatkan fungsi-fungsi laptop. Dan benar, di tempat ujian, laptop itu tidak digunakan sama sekali untuk ujian, karena sudah disediakan komputer oleh panitia.
Menyimak pelaksanaan UKG yang lalu, belum tampak bahwa UKG berpihak pada guru. UKG lebih menampilkan sebagai peran antagonis dalam suatu drama kolosal. Peduli nasib guru tidak harus menjadikan guru terombang-ambing dalam ketidakpastian.
Suatu kompetensi sudah selayaknya diasah dan ditingkatkan sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman. Jika ada guru yang bersertifikasi, tetapi kinerjanya menurun, mungkin secara kasuistik itu ada. Tetapi menggeneralisasi bahwa sertifikasi belum atau tidak memperbaiki kualitas guru, adalah pandangan yang naif. Mengapa? Karena saat lolos sertifikasi, guru telah diwajibkan memenuhi berbagai persyaratan dan proses panjang oleh institusi yang kredibel.
--- Motivasi Pribadi
Meningkatkan kapasitas, kualitas, dan kompetensi diri pribadi terutama didorong oleh kemauan dari dalam diri sendiri. Siapapun kita, apalagi seorang guru, rasanya perlu selalu menambah energi dan terus berusaha mencari pola baru yang lebih efektif untuk meningkatkan kompetensi.
Eksistensi guru dalam diri siswa tidak semata-mata kehadirannya di depan kelas maupun di sekolah. Seorang guru harus menampilkan diri sebagai sosok teladan dalam segala hal yang positif.
Guru harus memiliki motivasi belajar yang tinggi, sehingga bisa memotivasi siswanya untuk belajar lebih giat. Guru harus menebar semangat kemandirian dan menanamkan tanggung jawab dalam diri siswa.
Menjadi guru di era sekarang, berbeda dengan beberapa dasawarsa lalu. Bahkan situasinya jauh berbeda dibanding dengan enam tahun silam. Guru sekarang menghadapi berbagai tantangan yang semakin kompleks.
UKG diplesetkan menjadi Uji Kesabaran Guru. Ini sebuah ungkapan bahwa guru, di samping melaksanakan tugas dan fungsi mendidik, menjadi obyek eksploitasi dari birokrasi yang cenderung tidak peduli. Meskipun tidak sepenuhnya benar, aspirasi ini patut mendapat apresiasi. Mengapa? Sudah sepantasnya guru menyuarakan aspirasi, kondisi, kebutuhan, dan berbagai problematika terkait tugas dan fungsinya, di hadapan praktik birokrasi yang berjiwa "kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah". Mengherankan memang, di era keterbukaan, masih saja birokrasi belum berubah. (*)
Selasa, 24 Juli 2012
REFORMASI SISTEM PENDIDIKAN
ARTIKEL INI DIMUAT LAMPUNG POST, SABTU, 28 JULI 2012
MASALAH
yang berkembang dalam dunia pendidikan Indonesia dewasa ini sungguh
kompleks. Satu sama lain saling bertaut dan silang sengkarut persoalan
itu seakan sulit dicarikan solusinya.
Di bidang teknis pendidikan dan pembelajaran, ada persoalan kualitas guru, pendidikan karakter, kualitas output
pendidikan, ujian nasional, penerimaan siswa baru, dan sebagainya.
Sedangkan di bidang teknis sarana dan prasarana, terkait dengan
penyediaan dan penyebaran fasilitas pendidikan, mekanisme pembiayaan
pendidikan, dan penyaluran bantuan operasional sekolah (BOS), pembayaran
gaji dan tunjangan guru, dan seterusnya.
Pada
hampir semua bidang tersebut, tampak belum semuanya berjalan mulus.
Selalu ada kesenjangan antara harapan dan kenyataan. Kebijakan yang
digulirkan pemerintah, secara konseptual mungkin sudah baik, tapi
implementasinya selalu bermasalah.
Daya Saing
Media
massa sering mengekspos berbagai kasus dalam praktek pendidikan. Terkait
dengan kualitas, patut menjadi catatan pendidikan belum mampu
mendongkrak daya saing pribadi peserta didik maupun daya saing bangsa.
Masih banyak guru yang belum menguasai sepenuhnya metode didaktik maupun
substansi keilmuan. Evaluasi umum menunjukkan belum ada peningkatan
kinerja guru yang berarti meskipun telah mengantongi sertifikat guru
profesional. Dua kondisi ini dapat menjadi cerminan adanya masalah dalam
proses pendidikan yang mesti dicarikan solusinya.
Di sisi
lain, kasus dugaan korupsi dan penyimpangan penggunaan dana BOS,
keterlambatan dan kekurangan pembayaran tunjangan bagi guru, pungutan
liar, pemotongan, dan sebagainya, pun masih menjadi problema serius.
Bahkan
beberapa di antara pelaku sudah ditetapkan sebagai tersangka dan masuk
bui. Akhirnya, kata-kata oknum menjadi pilihan untuk menyebut para
pelaku penyimpangan. Memang tidak semua aparatur pendidikan berkinerja
buruk. Tapi, selalu saja kasus-kasus serupa penyimpangan, pungli, maupun
korupsi, mencuat ke ruang publik. Kasus apa pun, dalam dunia
pendididikan, jelas sangat mencoreng citra pendidikan.
Masyarakat
telanjur menaruh harapan besar terhadap hasil pendidikan. Selama ini
masyarakat memiliki persepsi bahwa dunia pendidikan adalah dunia yang
baik, sehat, bersih, dan bebas korupsi. Guru adalah sosok panutan, yang
idealnya tanpa cela dan tanpa cacat dalam sikap dan tindakan. Meskipun
sebenarnya guru juga manusia biasa.
Masyarakat
masih percaya sekolah sebagai tempat terbaik untuk menyemai kepribadian
anak-anak menjadi pribadi yang matang dewasa. Mereka masih memercayakan
dan "menitipkan" anak-anak mereka di sekolah. Kepercayaan masyarakat
ini tidak jarang tercoreng oleh tindakan dan perilaku aparatur
pendidikan.
Pendidikan
harus dikelola berdasarkan ilmu pengetahuan, keterampilan, dan jiwa
serta semangat perubahan. Pengelola pendidikan harusnya mendasarkan
kerjanya pada pengabdian kepada umat manusia dan kemanusiaan.
Komitmen Pelaksana
Muara
dari segala persoalan dan problema itu mudah dipahami merupakan masalah
manajemen. Manajemen pendidikan menegaskan adanya perencanaan,
pelaksanaan program dan kegiatan oleh orang-orang yang kompeten dan
profesional. Juga adanya evaluasi terus-menerus dan upaya peningkatan
kualitas secara berkelanjutan.
Tidak
akan ada korupsi jika pelaksana programnya adalah orang-orang yang punya
komitmen tinggi terhadap dunia pendidikan. Tidak akan ada pungli dan
pemotongan apabila pelaksana program pendidikan adalah orang-orang yang
bekerja secara profesional dan memiliki jiwa pengabdian.
Institusi
pendidikan idealnya dikelola oleh orang-orang yang memahami
kependidikan dan metode pengelolaan lembaga pendidikan, sekaligus
dijiwai semangat dedikasi bagi umat manusia. Pendidikan tidak boleh
diarahkan pada praktek mekanisme pasar; siapa yang kuat dialah yang
menang. Tanggung jawab ini pertama-tama ada di pundak pemerintah, dan
partisipasi masyarakat melalui lembaga pendidikan swasta dan elemen
lainnya.
Mengurusi
dunia pendidikan memang tidak mudah. Pendidikan adalah hajat hidup
setiap orang. Pendidikan melibatkan setiap individu, elemen masyarakat,
dan pemerintah. Manajemen pendidikan mestinya memudahkan setiap orang
melaksanakan tugasnya. Pembelajaran dalam kelas yang monoton, tidak
melahirkan kreativitas atau bahkan justru membunuh kreativitas siswa,
berarti adanya ketidaksesuaian dalam praktik manajemen pembelajaran.
Pengelolaan kelas meniscayakan perlunya keragaman dan penghargaan atas
individu untuk memacu potensi segenap peserta didik.
Mengelola
dan mereformasi institusi pendidikan berarti mensyaratkan kemampuan,
keterampilan, dan semangat loyalitas dan dedikasi bagi kemanusiaan. Ini
jelas tidak mudah, tapi juga bukan tidak mungkin. Lembaga pendidikan
yang akan melahirkan para guru dan tenaga kependidikan juga mengemban
amanah ini.
Mekanisme
seleksi mahasiswa baru di lembaga tenaga kependidikan harus benar-benar
mencerminkan adanya potensi yang dapat dikembangkan bagi kemajuan dunia
pendidikan di masa depan. Generasi muda kini adalah aset masa depan
yang menjamin keberlangsungan umat manusia, peradaban bangsa, dan
kesejahteraan yang lebih baik. (n)
Kamis, 21 Juni 2012
ORIENTASI PENDIDIKAN KARAKTER
(Artikel dimuat Lampung Post, Selasa, 19 Juni 2012)
KECENDERUNGAN
maraknya perilaku menyimpang pada sebagian generasi muda menimbulkan
keprihatinan insan pendidikan dan masyarakat umum. Dari sinilah muncul
gagasan pendidikan karakter.
Pendidikan
moral, etika, maupun pendidikan agama yang ada sekarang, ternyata belum
mampu melahirkan generasi muda yang beriman dan berkepribadian bangsa.
Budaya hidup konsumtif dan gemar menyerobot, kecenderungan kolusi,
senang menempuh jalan pintas, dan sebagainya masih mewarnai sebagian
besar siswa. Perayaan kelulusan dengan aksi coret-coret baju dan pawai
di jalan adalah contoh gaya hidup anak muda sekarang. Contoh lain yang
sudah menjadi rahasia umum adalah mengikuti ujian nasional tanpa
persiapan karena mengharap bocoran.
Sejatinya,
masalah karakter bukan masalah baru. Perbedaan generasi memunculkan
tantangan yang berbeda pula. Di era kemajuan teknologi informasi
tantangan pendidikan kian dinamis dan kompleks. Pendidikan di sekolah
berpacu dengan aneka tawaran dari media hiburan. Hiburan yang berlebihan
jelas membuat generasi muda kurang tanggap terhadap lingkungan.
Pendidikan
karakter merupakan respons atas maraknya penyimpangan dan pelanggaran
hukum dewasa ini. Secara kuantitas jumlah perbuatan melawan hukum makin
tinggi. Secara kualitas, modus perilaku penyimpangan kejahatan juga
semakin canggih. Ada pemikiran, perilaku menyimpang generasi muda, salah
satunya karena kehilangan sosok teladan.
Tokoh
terpandang dalam masyarakat yang semestinya menjadi teladan malah
melakukan memberi contoh perbuatan yang tidak baik. Pengusutan kasus
korupsi, misalnya, terkesan lamban dan akrobatik. Jika pun terungkap dan
tersangka ditetapkan, masih mendapat fasilitas dan status sosial yang
tinggi di sebagian masyarakat.
Fondasi Kejujuran
Lagi-lagi,
untuk mengembalikan atau paling tidak meluruskan kondisi itu ditumpukan
pada pendidikan karakter. Pendidikan karakter sejatinya menanamkan
kejujuran, tanggung-jawab, kemandirian, jiwa dan semangat kerjasama, dan
ketahanan daya juang menghadapi berbagai tantangan.
Tugas
dan fungsi sekolah bukan cuma meluluskan, tetapi mendidik anak bangsa
menuju perubahan sikap dan tingkah laku positif sejalan dengan budaya
bangsa. Kecerdasan dan prestasi akademik akan mengiringi apabila
tercipta iklim belajar yang kondusif.
Kejujuran
berada di depan kepandaian. Kejujuran bisa ditanamkan sejak dini dan
secara konsisten dalam lingkungan yang mendukung. Kepandaian dapat
diasah dan dikembangkan setelah fondasi kejujuran terbentuk. Sekolah
sebagai tempat persemaian generasi muda dicirikan dengan produksi dan
reproduksi pengetahuan dan praktek yang mengarah ke arah manfaat dan
kebaikan. Siswa belajar menghargai proses yang bermakna dalam belajar,
dan bukan hanya simbol semata.
Proses
pembelajaran di lembaga pendidikan harus merupakan proses eksplorasi
potensi siswa dan meneguhkan kreativitas. Kondisi ideal proses
pembelajaran dan pendidikan tersebut mensyaratkan banyak hal.
Setidaknya, diperlukan pendidik yang menjiwai profesinya. Guru dan
tenaga pendidikan yang profesional akan mampu mengelola pembelajaran
secara efektif dan efisien serta menumbuhkan motivasi belajar siswanya.
Baik
guru maupun siswa, sesungguhnya semua pembelajar. Siswa perlu belajar
tentang bagaimana belajar yang efektif dan efisien. Demikian pula guru
terus belajar cara membelajarkan. Jika guru tidak belajar, sesungguhnya
yang dia kerjakan hanyalah pengulangan tindakan usang, bahkan
ketinggalan zaman. Hakikat pendidikan adalah menyiapkan generasi muda
menghadapi situasi, kondisi, dan kehidupan masa depan.
Di
tengah tuntutan pendidikan karakter, tugas guru juga bertambah. Setiap
tindakan pembelajaran dan pendidikan harus bermuatan pendidikan karakter
dan mencerminkan adanya perubahan sikap ke arah positif.
Proses
pembelajaran dan pendidikan yang membekali siswa berbagai keterampilan,
baik keterampilan keras maupun keterampilan lunak untuk menghadapi
situasi masa depan yang semakin dinamis. Kemampuan siswa membangun visi
masa depan mereka akan menjadi pembuka jalan bagi kehidupan mereka di
masa datang yang lebih baik.
Kepemimpinan
lembaga pendidikan atau sekolah bukan pola hubungan kekuasaan.
Kepemimpinan sekolah mengembangkan mengedepankan kerja sama fungsional
dan kesejawatan. Setiap tindakan dilandasi logika ilmiah dan
pertimbangan kebijaksanaan. Kepemimpinan sekolah yang integratif adalah
yang terbebas dari tekanan dari pihak mana pun.
Kewirausahaan
Persoalan
lain yang juga menonjol adalah kesenjangan dunia pendidikan dan dunia
kerja. Kesenjangan antara kompetensi lulusan dan kebutuhan pasar kerja
merupakan salah satu tantangan lembaga pendidikan yang krusial. Topik
ini kemudian menjadi tagline bagi lembaga pendidikan untuk mendapat dukungan dari masyarakat.
Pendidikan
karakter, terkait erat dengan kebutuhan akan jumlah wirausahawan di
Indonesia. Model pendidikan karakter akan melahirkan jiwa-jiwa yang
kreatif dan dengan tetap menghargai nilai-nilai budaya bangsa.
Pendidikan
kewirausahaan bukan berarti menjadikan sekolah seperti pasar. Tidak
pula segala sesuatu diukur dengan uang. Kewirausahaan dalam pendidikan
bukan menjadikan siswa sebagai pekerja, melainkan melatih kemampuan
membangun jaringan dan mengelola berbagai kegiatan. Pendidikan
kewirausahaan merupakan penanaman sikap mental dan membangun
keterampilan serta memanfaatkan keterampilan lunak untuk mewujudkan
kreativitas dan inovasi. Kata kunci untuk ini adalah memberi nilai
tambah atas aktivitas, karya, dan jasa.
Wirausaha
pada hakikatnya bertumpu pada kreativitas dan inovasi. Kreativitas
manusia sesungguhnya tanpa batas sehingga pendidikan merupakan pemicu
dan pemacu kreativitas siswa. Dengan kreativitas itulah melahirkan aneka
inovasi.
Mewujudkan
pendidikan karakter dan jati diri bangsa merupakan upaya melahirkan
generasi muda dan wirausaha yang unggul dan berkualitas. Pendidikan
karakter dan kewirausahaan adalah jawaban atas berbagai tantangan masa
depan yang sudah diperkirakan sekarang. (n)
Kamis, 14 Juni 2012
PENDIDIKAN KARAKTER DAN KEWIRAUSAHAAN
Mudah dipahami bahwa adanya perilaku
menyimpang pada sebagian generasi muda, melahirkan keprihatinan insan
pendidikan dan masyarakat umum. Maka muncullah gagasan pendidikan karakter
bangsa.
Pendidikan moral, etika, maupun
pendidikan agama yang ada sekarang, ternyata belum mampu melahirkan generasi
muda yang beriman, takwa, cerdas, dan berkepribadian bangsa. Budaya hidup
hedonis, konsumtif, tidak sabaran, gemar serobot, kecenderungan kolusi, senang
menempuh jalan pintas dan sebagainya masih mewarnai sebagian besar siswa. Perayaan
kelulusan dengan aksi coret-coret baju, pawai ugal-ugalan di jalan raya, dan
sejenisnya, adalah salah satu contoh gaya hidup anak muda sekarang. Contoh lain
yang sudah menjadi rahasia umum adalah mengikuti Ujian Nasional tanpa persiapan
memadai, karena mengharap bocoran.
Sejatinya, masalah
karakter merupakan masalah lama, bukan masalah baru. Perbedaan
generasi, memunculkan tantangan yang berbeda pula. Di era kemajuan teknologi
informasi sekarang, tantangan pendidikan kian dinamis dan kompleks.
Pendidikan dan pembelajaran yang
diselenggarakan di sekolah dan di lingkungan keluarga, berpacu dengan aneka
tawaran dari media hiburan. Hiburan yang berlebihan jelas membuat generasi muda
kurang tanggap terhadap lingkungan, kurang memiliki daya juang, dan keberanian
menghadapi risiko.
Hiburan, baik melalui televisi,
internet, game, maupun media lainnya, menanamkan semangat seakan-akan hidup ini
penuh tekanan, sehingga sedikit-sedikit perlu hiburan. Bahwa siswa harus
belajar giat dan bekerja keras serta memiliki semangat untuk berprestasi.
Melalui kegiatan ekstra-kurikuler di sekolah siswa dapat menggali dan
mengembangkan potensi dirinya sesuai minat dan kegemarannya.
Topik pendidikan karakter yang kembali diusung
dewasa ini, merupakan respons atas berbagai sikap dan tindakan penyimpangan,
pelanggaran hukum, bahkan perbuatan melawan hukum masih marak.
Secara kuantitas jumlah perbuatan
melawan hukum makin tinggi. Secara kualitas, modus perilaku menyimpang dan
kejahatan juga semakin canggih.(****lanjut)
Selasa, 01 Mei 2012
MASALAH KUALITAS DAN KUANTITAS DALAM PENDIDIKAN
Dalam
keseharian kita, sebagian besar energi kehidupan tercurah untuk hal-hal terkait
pendidikan. Sadar atau tidak, bahwa pendidikan adalah proses sepanjang hayat. Pendidikan
seperti mata-rantai yang saling terkait, membentuk lingkaran, dan dipengaruhi
faktor lingkungan eksternal. Untuk menciptakan lulusan lembaga pendidikan yang
berkualitas, berarti proses pendididikan dan pembelajaran juga harus
berkualitas. Ini berarti guru dan tenaga kependidikan juga harus berkualitas,
dan sarana pembelajaran yang juga harus baik. Guru, tenaga kependidikan, dan
sarana pembelajaran yang baik, dihasilkan dari perencanaan, aturan, dan
kebijakan yang baik pula.
Masalah
kualitas dan kuantitas tidak boleh saling mengorbankan, tetapi harus berjalan
seiring. Mengejar kuantitas dengan mengesampingkan kualitas, akan membuat
hancur dunia pendidikan. Sementara, jika mengedepankan kualitas dan mengabaikan
kuantitas, akan membuat dunia pendidikan terseok-seok.
Demikian
pula masalah kesenjangan antar-wilayah, yang meliputi penyediaan tenaga
pendidik dan kependidikan, gedung sekolah, sarana pendukung, dan sebagainya. Keberadaan
guru, sebagai fasilitator dalam pembelajaran adalah sangat vital. Guru harus diposisikan
sebagai pihak yang mengemban amanah pendidikan. Masalah penempatan dan
peningkatan kualitas guru adalah wewenang pemerintah.
Setiap
warga negara berhak memperoleh kesempatan pendidikan. Negara bertugas
menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas bagi warganya. Warga masyarakat
pun diberi ruang untuk berpartisipasi menyelenggarakan pendidikan, sebagai
representasi dari tanggungjawab bersama terhadap pendidikan.
Masalah
pendidikan, merupakan tanggung jawab bersama, bukan hanya tanggung jawab
pemerintah. Tapi jelas, pemerintah juga tidak bisa melepas tanggung jawab.
Diperlukan keseimbangan dalam memerankan diri mengupayakan perbaikan bidang
pendidikan. Pemerintah bertanggungjawab terhadap aturan-aturan dan
kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan, sehingga setiap kebijakan harus
didasarkan para perencanaan yang matang dan mempertimbangkan berbagai situasi
yang ada.
Salah
satu pertanyaan mendasar terhadap output lembaga pendidikan adalah bagaimana
kualitas lulusannya. Pertanyaan itu sebenarnya merupakan muara dari semua
proses di lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan berfungsi menyelenggarakan
pendidikan bagi pesertanya sesuai dengan standar yang ditetapkan. Standar itu
meliputi standar input, proses, dan output.
Biasanya
masyarakat memiliki penilaian dengan cara tersendiri terhadap lulusan lembaga
pendidikan. Lulusan yang berkualitas adalah yang memenuhi harapan sesuai yang
dipersepsikannya. Sebagian lain melihat
lulusan lembaga pendidikan dari aspek kemampuan dalam melakukan tugas-tugas
tertentu dalam masyarakat.
Pernyataan
tentang kualitas lulusan sangat mungkin bersifat relatif dan subyektif. Tetapi
tak dapat disangkal bahwa penilaian masyarakat itu penting dan dapat dijadikan
salah umpan balik sebagai bahan perbaikan.
Kualitas pendidikan
tidak bisa dilihat hanya dari lulusan suatu lembaga pendidikan tertentu.
Artinya, kualitas lulusan sangat ditentukan oleh bagaimana kualitas masukan
dari lembaga pendidikan itu sendiri, termasuk sumber siswa, ketersediaan sarana
dan prasarana, para pendidik, dan faktor lingkungan sekitar. Dalam hal proses,
yaitu bagaimana komitmen menciptakan iklim akademik yang kondusif dalam proses
pendidikan.(*****lanjut)
Langganan:
Postingan (Atom)