Ada banyak jargon terkait pers, yang bermakna sangat dalam.
“Pena lebih tajam dari peluru. Revolusi dimulai dari tulisan. Penyambung lidah
rakyat. Pilar demokrasi. Kebebasan pers adalah kemerdekaan yang sesungguhnya.”
Itu sebagian. Jargon itu bukan hanya slogan, dan yel-yel, tetapi telah
dibuktikan dengan nyata. Politisi di pusat kekuasaan dan pejabat pemerintah
mengetahui kondisi yang terjadi di daerah pelosok melalui pemberitaan media.
Mencermati fenomena pelecehan dan kekerasan terhadap jurnalis,
harus dijadikan momentum untuk membangun pers yang bebas, bertanggung-jawab,
profesional. Pers yang mengejawantahkan sejuta mata mengontrol setiap jengkal
penyimpangan. Pers yang mewujudkan keterbukaan informasi dan tanggung jawab
publik penyelenggara negara.
Sambil menunggu bergulirnya proses hukum, kini saatnya
memetik hikmah. Kekerasan baik fisik maupun verbal, bukan cara jitu keluar dari
masalah. Begitu juga uang, bukan alat untuk membeli kebebasan pers. Apalagi
sudah dibelakukan UU Keterbukaan Informasi Publik.
Setiap aparatur pemerintah dan pejabat atau siapapun
hendaknya memahami fungsi pers sebagai bagian dari cara hidup berbangsa dan
bernegara. Setiap profesi adalah mulia, karena yang membedakan adalah
fungsionalitas dan lahan pengabdiannya.
Kerja jurnalis adalah menyebarluaskan informasi, memberi
pencerahan kepada masyarakat, dan memberi media refressing (hiburan). Pers
adalah pemandu dan menjadi referensi bagi pengambilan keputusan. Pers adalah
mengontrol layanan publik dan ruang publik dan memberikan kemungkinan yang
lebih luas bagi akses publik terhadap layanan pemerintah.
Idealisme jurnalis harus diletakkan di atas
segala kepentingan lain. Saya setuju penuntasan kasus ini secara hukum, agar
tidak terjadi kasus serupa di masa datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar