TANGGAL
2 Juni 2015 tepat setahun M. Ridho Ficardo menjabat sebagai Gubernur Lampung
bersama Bakhtiar Basri sebagai Wakil Gubernur. Satu tahun kepemimpinan gubernur
termuda ini layak dijadikan sebagai momentum untuk merefleksikan apa yang sudah
dilakukan dan seberapa jauh dampak dan pengaruhnya terhadap peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
Satu
tahun pertama masa jabatan merupakan periode yang akan menentukan keyakinan
masyarakat akan kinerja gubernur beserta jajarannya.
Saat
dilantik pada 2 Juni 2014, banyak harapan masyarakat Lampung digantungkan di
pundak Ridho dan Bakhtiar. Maklumlah, ini karena “darah muda” dan segar, pasca
rezim pemerintahan sebelumnya di bawah Sjachroedin sebagai gubernur yang
menjabat selama dua periode masa jabatan.
Berbagai
sanjungan mengemuka saat Ridho dilantik sebagai gubernur. Sebutan sebagai
gubernur termuda, bahkan menggemakan suara, sebagai gubernur termuda se-Asia.
Tapi
Ridho tak larut dalam pujian dan sanjungan. Hal itu malah dijadikan sebagai
kekuatan pemicu untuk terus mengabdi dan berkarya untuk Lampung.
Yang
sering disampaikan oleh Ridho dalam banyak kesempatan, kalau memang muda,
lantas apa? Muda usia yang penting adalah perannya terhadap kemajuan masyarakat
dan daerah Lampung. Muda kalau tidak turut berpartisipasi dalam pembangunan,
tidak ada artinya. Hal ini sangat disadari oleh Ridho. “Lha kalau gubernur
termuda, so what,” ucapnya seraya tersenyum.
Saat
ini, setahun gubernur termuda memimpin Lampung, saat tepat mengajukan “gugatan”
dan berbagai pertanyaan, sudahkan dia memenuhi janji-janji kampanyenya? Saat
kampanye, perbaikan infrastruktur dan pertanian menjadi prioritas program yang
diusung Ridho bersama Bakhtiar. Tentu saja, tidak mengabaikan sektor lainnya, industri
dan perdagangan, pendidikan, kesehatan, sosial keagamaan, dan sebagainya.
Kita
tahu, di awal masa jabatan, kondisi infrastruktur khususnya jalan, di Lampung,
rusak parah. Faktanya, akses jalan, baik jalan negara, jalan provinsi, maupun
jalan kabupaten, banyak yang tidak layak. Tak terhitung lagi keluhan masyarakat
disampaikan melalui berbagai media dan saluran.
Menanggapi
kondisi dan keluhan masyarakat itu, respon Ridho sejalan dengan program
prioritas yang diusung saat kampanye, memberi “angin surga” bagi perbaikan prasarana
dan sarana jalan. Megaproyek Kotabaru di Jatimulyo, Lampung Selatan ditunda
pembangunannya. Dasarnya adalah kebijakan pemerintah pusat untuk moratorium
pembangunan gedung perkantoran pemerintahan. Alasan yang dikemukakan selain
keterbatasan anggaran, dan anggaran yang ada akan dioptimalkan untuk perbaikan
infrastruktur jalan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat.
Tapi
faktanya, hingga kini perbaikan jalan belum juga dilakukan secara massif dan
signifikan.
Di
awal masa jabatannya, Ridho pernah meninjau lokasi kerusakan Jalan Ir. Sutami. Ruas
jalan ini adalah salah satu contoh, sekali lagi, salah satu contoh, buruknya
jalan di Lampung.
Ruas
Jalan Ir. Sutami yang menghubungkan Bandarlampung dengan Kabupaten Lampung
Timur melintasi Kabupaten Lampung Selatan. Kondisi jalan itu rusak parah.
Kubangan sedalam sekitar 50 centimeter bahkan lebih, bertebaran di mana-mana,
di badan jalan! Saat warga Lampung Timur sakit dan harus dirujuk ke rumah sakit
di Bandarlampung, kendaraan yang membawa pasien tidak bisa melaju cepat, agar
pasien segera mendapat pertolongan di rumah sakit yang memiliki fasilitas
memadai. Ironis.
Dalam
keadaan normal, ruas Jalan Ir Sutami dari Panjang (Bandarlampung) hingga
Sribhawono (Lampung Timur) sepanjang sekitar 60 kilometer, bisa ditempuh dengan
kendaraan selama sekitar satu jam. Kini, harus ditempuh empat jam! Naif.
Kondisi
kerusakan jalan tersebut hanyalah salah satu contoh, buruknya infrastruktur
jalan di Lampung. Di kabupaten lainnya, kondisi serupa banyak ditemukan. Kerusakan jalan itu berlangsung
bertahun-tahun. Adanya perbaikan tambal sulam sangat tidak signifikan dibanding
kerusakan badan jalan.
Buruknya
infrastruktur jalan menunjukkan “wajah asli” kondisi kekinian, yang bisa
menjadi indikator buruknya sektor lainnya. Iklim investasi, sosial budaya, lingkungan
hidup, dan pelayanan publik lainnya bisa dipastikan tidak jauh berbeda dengan
kondisi jalan yang bopeng.
Potret
buram wajah infrastruktur jalan di Lampung dapat dijadikan tolak ukur sejauh
mana kinerja jajaran Pemerintahan Provinsi Lampung.
Jalanan
yang rusak berimbas pada terhambatnya distribusi barang, beratnya akses hasil
pertanian, lambatnya pelayanan jasa, mandeknya pariwisata, buruknya akses
informasi dan susahnya generasi muda mendapat pendidikan. Semua permasalahan
itu bermuara pada penilaian kinerja gubernur dan jajarannya.
Saat
ini, waktu yang tepat pula untuk memberikan masukan, kritik, dan saran
konstruktif. Pemimpin yang matang, akan senantiasan mendengar kritik sepedas
apapun itu dan dari manapun itu berasal. Saat ini dapat diibaratkan sebagai
entri pint untuk mengetahui efektivitas birokrasi dalam mewujudkan pelayanan
publik, pengembangan sumberdaya manusia, dan kesejahteraan masyarakat.
Pemerintahan
dapat diibaratkan sebagai entitas pelayanan, khususnya pelayanan publik. Sebab,
pelayanan yang sifatnya nonpublik bisa diselenggarakan oleh masyarakat. Apresiasi
patut diberikan jika apa yang diberikan melebihi apa yang diharapkan oleh
pengguna jasa layanannya, dalam hal ini masyarakat. Kalau pelayanan yang
diberikan oleh Pemerintah Provinsi Lampung di bawah “dirigen” Gubernur Ridho
Ficardo kepada masyarakat Lampung masih belum bisa melebihi harapan, rasanya
berat dan tidak banyak yang ringan untuk memberikan acungan jempol. Empat tahun
ke depan, menjadi ajang pembuktian bahwa gubernur muda tidak sekadar muda,
tetapi juga mampu mengelola pemerintahan dengan baik, membina birokrasi,
mengayomi masyarakat, dan mengembangkan kehidupan sosial yang harmonis. Visi
Lampung maju dan sejahtera bukan hal mustahil. (*)
Artikel ini dimuat di Harian Trans Lampung, Edisi Senin, 3 Juni 2015