SALAH-satu fungi pemerintahan adalah
melaksanakan pembangunan baik fisik mapun nonfisik. Sebagai eksekutif, atau
pelaksana pembangunan, pemerintah dibekali dengan seperangkat kewenangan,
aparatur, dan anggaran.
Wacana publik yang mengemuka belakangan
ini khususnya di Kota Bandarlampung adalah karut-marut pelaksanaan program bina
lingkungan (Biling). Program ini digagas Walikota dengan maksud agar anak-anak
dari keluarga kurang mampu mendapat kesempatan pendidikan yang baik. Slogan
“semua harus sekolah” menjadi alas logika program ini.
Secara substantif, program ini baik.
Bahkan, kalau mau merujuk ke belakang, program Biling merupakan pengejawantahan
amanat Undang-undang Dasar.
Semua orang sepakat bahwa anak-anak,
generasi muda bangsa ini harus mendapat pendidikan yang baik. Mereka bagian
dari masa depan bangsa.
Anaka-anak yang kini menempuh pendidikan
dasar, maupun menengah, merupakan gambaran wajah bangsa ini, katakanlah 15 atau
30 tahun ke depan. Mereka harus dibekali perangkat pengetahuan, keterampilan,
kemampuan, dan keahlian, sehingga dapat mengisi pembangunan. Mereka akan menjadi
pemicu dan pemacu kemajuan bangsa.
Mereka harus mendapat kesempatan
memperoleh pendidikan yang baik, tanpa terkendala faktor keterbatasan ekonomi
keluarga. Pemerintah sesuai dengan fungsinya, wajib memberi akses yang
seluas-luasnya.
Bagaimanampun indah dan gemilangnya visi
dan misi yang diemban pemimpin, tidak selalu selaras dengan kenyataan di
lapangan. Banyak faktor yang memengaruhi pelaksanaan suatu program. Memang,
dalam tataran pelaksanaan, Biling menuai banyak persoalan.
Secara umum, ada dua persoalan dalam
pelaksanaan Biling. Pertama soal besaran kuota, dan kedua lemahnya dalam
verifikasi data calon peserta didik.
Dua persoalan ini berimbas pada
persoalan-persoalan lain, seperti “kecemburuan” sekolah swasta, psikologis
peserta didik di sekolah, mereka yang diterima bukan yang berhak, dan
sebagainya.
Masalah “kecemburuan” sekolah swasta
tidak bisa dianggap sepele. Pemerintah daerah tidak bisa hanya menjawab dengan
mengatakan, sekolah-sekolah yang terancam gulung tikar karena minimnya
pendaftar karena manajemen sekolah mereka kurang baik. Apalagi dengan membuat
perbandingan yang tidak sebanding, dengan menunjukkan contoh, bahwa masih
banyak sekolah-sekolah yang baik dan fasilitas lengkap diminati calon peserta
didik.
Bagaimanapun, peranan sekolah swasta
tidak bisa dikesampingkan. Sekolah-sekolah yang diselenggarakan masyarakat
berperan membantu pemerintah memperluas akses pendidikan. Janganlah karena
program Biling, sekolah-sekolah swasta itu dibiarkan tanpa arah. Kebijakan
seperti itu secara nilai tidak bijaksana. Apalagi kalau mau dicermati bahwa
penyelenggaraan program Biling didanai dari dana masyarakat juga.
Persoalan yang paling krusial dari
Biling adalah adanya mereka yang seharusnya tidak masuk program Biling, tetapi
faktanya mereka diterima di sekolah melalui jalur Biling. Ini kasat mata. Fakta
terpapar di depan mata mereka yang lebih berhak diterima.
Kalau kita mau berpikir sederhana, kuota
jumlah siswa jalur Biling harus didasarkan pada indikator-indikator yang jelas.
Sedangkan memerangi mereka yang “merebut” hak orang-orang yang kurang mampu,
harus ada ketegasan dari pemimpin tertinggi di daerah. Ketegasan itu harus
turun ke para pejabat di Dinas Pendidikan, sampai ke jajaran di bawahnya. Selama
ini persoalan seperti ini berulang setiap tahun. Tidak ada efek jera.
Ini persoalan etika dan adab. Mereka
yang “merebut” hak orang-orang yang kurang mampu, sudah menggadaikan harkat dan
martabatnya, demi dapat masuk kesekolah negeri. Mereka mungkin sedang tidak
punya rasa malu. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar