Kamis, 02 Juli 2015

Bina Lingkungan



SALAH-satu fungi pemerintahan adalah melaksanakan pembangunan baik fisik mapun nonfisik. Sebagai eksekutif, atau pelaksana pembangunan, pemerintah dibekali dengan seperangkat kewenangan, aparatur, dan anggaran.
Wacana publik yang mengemuka belakangan ini khususnya di Kota Bandarlampung adalah karut-marut pelaksanaan program bina lingkungan (Biling). Program ini digagas Walikota dengan maksud agar anak-anak dari keluarga kurang mampu mendapat kesempatan pendidikan yang baik. Slogan “semua harus sekolah” menjadi alas logika program ini.
Secara substantif, program ini baik. Bahkan, kalau mau merujuk ke belakang, program Biling merupakan pengejawantahan amanat Undang-undang Dasar.
Semua orang sepakat bahwa anak-anak, generasi muda bangsa ini harus mendapat pendidikan yang baik. Mereka bagian dari masa depan bangsa.
Anaka-anak yang kini menempuh pendidikan dasar, maupun menengah, merupakan gambaran wajah bangsa ini, katakanlah 15 atau 30 tahun ke depan. Mereka harus dibekali perangkat pengetahuan, keterampilan, kemampuan, dan keahlian, sehingga dapat mengisi pembangunan. Mereka akan menjadi pemicu  dan pemacu kemajuan bangsa.
Mereka harus mendapat kesempatan memperoleh pendidikan yang baik, tanpa terkendala faktor keterbatasan ekonomi keluarga. Pemerintah sesuai dengan fungsinya, wajib memberi akses yang seluas-luasnya.
Bagaimanampun indah dan gemilangnya visi dan misi yang diemban pemimpin, tidak selalu selaras dengan kenyataan di lapangan. Banyak faktor yang memengaruhi pelaksanaan suatu program. Memang, dalam tataran pelaksanaan, Biling menuai banyak persoalan.
Secara umum, ada dua persoalan dalam pelaksanaan Biling. Pertama soal besaran kuota, dan kedua lemahnya dalam verifikasi data calon peserta didik.
Dua persoalan ini berimbas pada persoalan-persoalan lain, seperti “kecemburuan” sekolah swasta, psikologis peserta didik di sekolah, mereka yang diterima bukan yang berhak, dan sebagainya.
Masalah “kecemburuan” sekolah swasta tidak bisa dianggap sepele. Pemerintah daerah tidak bisa hanya menjawab dengan mengatakan, sekolah-sekolah yang terancam gulung tikar karena minimnya pendaftar karena manajemen sekolah mereka kurang baik. Apalagi dengan membuat perbandingan yang tidak sebanding, dengan menunjukkan contoh, bahwa masih banyak sekolah-sekolah yang baik dan fasilitas lengkap diminati calon peserta didik.
Bagaimanapun, peranan sekolah swasta tidak bisa dikesampingkan. Sekolah-sekolah yang diselenggarakan masyarakat berperan membantu pemerintah memperluas akses pendidikan. Janganlah karena program Biling, sekolah-sekolah swasta itu dibiarkan tanpa arah. Kebijakan seperti itu secara nilai tidak bijaksana. Apalagi kalau mau dicermati bahwa penyelenggaraan program Biling didanai dari dana masyarakat juga.
Persoalan yang paling krusial dari Biling adalah adanya mereka yang seharusnya tidak masuk program Biling, tetapi faktanya mereka diterima di sekolah melalui jalur Biling. Ini kasat mata. Fakta terpapar di depan mata mereka yang lebih berhak diterima.  
Kalau kita mau berpikir sederhana, kuota jumlah siswa jalur Biling harus didasarkan pada indikator-indikator yang jelas. Sedangkan memerangi mereka yang “merebut” hak orang-orang yang kurang mampu, harus ada ketegasan dari pemimpin tertinggi di daerah. Ketegasan itu harus turun ke para pejabat di Dinas Pendidikan, sampai ke jajaran di bawahnya. Selama ini persoalan seperti ini berulang setiap tahun. Tidak ada efek jera.
Ini persoalan etika dan adab. Mereka yang “merebut” hak orang-orang yang kurang mampu, sudah menggadaikan harkat dan martabatnya, demi dapat masuk kesekolah negeri. Mereka mungkin sedang tidak punya rasa malu. (*)

Tidak ada komentar: