Kamis, 02 Juli 2015

Membela yang Lemah


SETIAP kota menghadapi problem yang terkait dengan pertambahan penduduk. Pertambahan jumlah penduduk tidak saja terjadi karena kelahiran, tetapi juga arus urbanisasi. Urbanisasi menjadi keniscayaan, ketika kehidupan di perdesaan juga banyak tekanan. Daya tarik kota dengan segenap ingar-bingar, seringkali menjadi alasan warga berbondong-bondong pindah ke kota.
Pemerintah kota, harus berjibaku dalam penyediaan lapangan kerja, pelayanan publik, penanganan kemacetan, pengelolaan sampah, pengendalian lingkungan hidup, dan sebagainya.
Dipastikan tidak ada satu pun pemerintah kota yang bisa secara paripurna mengelola kota menciptakan wajah kota yang ramah, asri, damai, nyaman, dan lestari, tanpa partisipasi warganya.
Kesenjangan sering kali terlihat menganga antara visi dan cita-cita menciptakan kota yang aman, damai, sejahtera, serta makmur warganya dibandingkan dengan fakta yang ada. Setidaknya, ada warga yang kurang beruntung, yang masuk kategori belum sejahtera, sering pula disebut keluarga miskin. Apapun istilah dan predikat yang disematkan, bagi kelompok ini, semestinya pemerintah kota memiliki kebijakan “memihak yang lemah”.
Ini bukan semata-mata membela yang lemah, dan mengabaikan yang benar. Tidak. Membela yang lemah sembari memberi arah yang benar. Apalagi kalau kelompok lemah itu memang sudah berada di “jalan yang benar”, sehingga sebenarnya yang diperlukan adalah memberi ruang kreasi dan aktivitas. Ini semua harus difasilitasi oleh pemerintah.
Kelompok lemah, kurang beruntung, yang tidak mendapat pembelaan, akan semakin terpuruk. Hal ini penting, karena kelompok yang kuat, memiliki modal dan sumberdaya untuk bertahan. Sementara, kelompok lemah dapat bertahan hidup saja sudah “beruntung”.
Membela yang lemah menjadi doktrin, yang semestinya menjadi spirit pemimpin.
Kelompok lemah dalam potret kota bisa berwujud pada pedagang kaki-lima, pedagang makanan keliling, anak jalanan, tunawisma, pekerja sektor informal lainnya, dan sebagainya.
Pedagang kaki-lima bukan untuk digusur, tetapi bagaimana diciptakan ruang untuk mereka beraktivitas. Ciptakan pasar, yang memungkinkan pengunjung datang dengan nyaman dan senang, dan bagi pedagang kaki-lima dapat menjajakan jualannya di tempat yang layak dan semestinya.
Anak jalanan perlu dibimbing agar tidak mengganggu pengendara, agar tidak melakukan tindakan melanggar hukum, dan mengisi hari dengan kegiatan positif.
Banyaknya pengangguran dan tunawisma bisa menjadi indikator belum optimalnya kinerja pemerintah kota. Maraknya pedagang kaki-lima yang mengokupasi trotoar, merampas hak pejalan kaki, mengganggu kenyamanan pengguna jalan, dan merusak estetika wajah kota, mencerminkan absennya pemerintah. Warga seakan-akan dibiarkan berjalan tanpa pemerintahan.
Warga yang selama ini beraktivitas di pasar, seperti di Pasar Smep dan Pasar Tugu, di Bandarlampung, saat pasar mereka dilakukan revitalisasi, kemudian ditempatkan di Tempat Penampungan Sementara (TPS). Proses pembangunan pasar yang teramat lambat, menyebabkan para pedagang harus semakin lama berada di TPS. Segenap sumber daya yang dimiliki para pedagang, sudah semakin habis menipis, selain karena sebagian sudah disetor ke pengembang, berjualan di TPS juga bukan pilihan mereka. Omset berjualan di TPS tidak sebaik berjualan di pasar. Semoga terwujud doktrin membela yang lemah, sambil menunjukkan cara yang benar. (*)
Artikel ini dimuat di Harian Trans Lampung Edisi Senin, 8 Juni 2015




Tidak ada komentar: