SETIAP kota menghadapi problem yang terkait dengan pertambahan penduduk. Pertambahan jumlah penduduk tidak saja terjadi karena kelahiran, tetapi juga arus urbanisasi. Urbanisasi menjadi keniscayaan, ketika kehidupan di perdesaan juga banyak tekanan. Daya tarik kota dengan segenap ingar-bingar, seringkali menjadi alasan warga berbondong-bondong pindah ke kota.
Pemerintah kota, harus berjibaku dalam
penyediaan lapangan kerja, pelayanan publik, penanganan kemacetan, pengelolaan
sampah, pengendalian lingkungan hidup, dan sebagainya.
Dipastikan tidak ada satu pun pemerintah
kota yang bisa secara paripurna mengelola kota menciptakan wajah kota yang
ramah, asri, damai, nyaman, dan lestari, tanpa partisipasi warganya.
Kesenjangan sering kali terlihat
menganga antara visi dan cita-cita menciptakan kota yang aman, damai,
sejahtera, serta makmur warganya dibandingkan dengan fakta yang ada.
Setidaknya, ada warga yang kurang beruntung, yang masuk kategori belum
sejahtera, sering pula disebut keluarga miskin. Apapun istilah dan predikat
yang disematkan, bagi kelompok ini, semestinya pemerintah kota memiliki
kebijakan “memihak yang lemah”.
Ini bukan semata-mata membela yang
lemah, dan mengabaikan yang benar. Tidak. Membela yang lemah sembari memberi
arah yang benar. Apalagi kalau kelompok lemah itu memang sudah berada di “jalan
yang benar”, sehingga sebenarnya yang diperlukan adalah memberi ruang kreasi
dan aktivitas. Ini semua harus difasilitasi oleh pemerintah.
Kelompok lemah, kurang beruntung, yang
tidak mendapat pembelaan, akan semakin terpuruk. Hal ini penting, karena
kelompok yang kuat, memiliki modal dan sumberdaya untuk bertahan. Sementara,
kelompok lemah dapat bertahan hidup saja sudah “beruntung”.
Membela yang lemah menjadi doktrin, yang
semestinya menjadi spirit pemimpin.
Kelompok lemah dalam potret kota bisa
berwujud pada pedagang kaki-lima, pedagang makanan keliling, anak jalanan, tunawisma,
pekerja sektor informal lainnya, dan sebagainya.
Pedagang kaki-lima bukan untuk digusur,
tetapi bagaimana diciptakan ruang untuk mereka beraktivitas. Ciptakan pasar, yang
memungkinkan pengunjung datang dengan nyaman dan senang, dan bagi pedagang
kaki-lima dapat menjajakan jualannya di tempat yang layak dan semestinya.
Anak jalanan perlu dibimbing agar tidak
mengganggu pengendara, agar tidak melakukan tindakan melanggar hukum, dan
mengisi hari dengan kegiatan positif.
Banyaknya pengangguran dan tunawisma
bisa menjadi indikator belum optimalnya kinerja pemerintah kota. Maraknya
pedagang kaki-lima yang mengokupasi trotoar, merampas hak pejalan kaki, mengganggu
kenyamanan pengguna jalan, dan merusak estetika wajah kota, mencerminkan
absennya pemerintah. Warga seakan-akan dibiarkan berjalan tanpa pemerintahan.
Warga yang selama ini beraktivitas di
pasar, seperti di Pasar Smep dan Pasar Tugu, di Bandarlampung, saat pasar
mereka dilakukan revitalisasi, kemudian ditempatkan di Tempat Penampungan
Sementara (TPS). Proses pembangunan pasar yang teramat lambat, menyebabkan para
pedagang harus semakin lama berada di TPS. Segenap sumber daya yang dimiliki
para pedagang, sudah semakin habis menipis, selain karena sebagian sudah
disetor ke pengembang, berjualan di TPS juga bukan pilihan mereka. Omset berjualan
di TPS tidak sebaik berjualan di pasar. Semoga terwujud doktrin membela yang
lemah, sambil menunjukkan cara yang benar. (*)
Artikel ini dimuat di Harian Trans Lampung Edisi Senin, 8 Juni 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar