PEKAN silam polemik ijazah palsu
mewarnai pemberitaan media. Kasus ini mencuat setelah Menteri Riset dan
Pendidikan Tinggi M. Nasir melakukan monitoring dan evaluasi pengelolaan
perguruan tinggi. Dalam hal ini termasuk melakukan inspeksi. Kasus ini dilaporkan
ke Polri, dan sedang dalam penanganan aparat hukum.
Ijazah palsu, bukan semata-mata
ijazahnya palsu, tetapi juga termasuk yang asli tetapi diperoleh dengan cara
tidak sesuai prosedur dan aturan. Ijazah seperti ini disebut aspal (asli tapi
palsu) dan asal (asal-asalan).
Palsu dan kepalsuan, seringkali menjadi
kecenderungan orang sebagai salah satu cara untuk menutupi kekurangan, tetapi tidak
memiliki kemampuan dan kapasitas mencapai tingkat tertentu.
Untuk barang atau alat palsu yang
sifatnya urgen dan berada dalam ranah pribadi mungkin tidak menjadi soal. Contohnya,
gigi palsu, kaki palsu, atau rambut palsu.
Tetapi jika sudah menyangkut kepentingan
publik dan merugikan negara, ini jelas berbahaya. Barang-barang palsu misalnya,
selain merugikan negara karena tidak membayar pajak, juga merugikan konsumen
karena kualitas barang tidak sesuai yang diharapkan atau standar yang
dijanjikan.
Apalagi kalau yang palsu itu ijazah. Ini
bukan hanya soal kerugiaan material, finansial, tetapi ini menyangkut moral dan
etika serta hukum. Kerusakan moral dan etika akibat kepalsuan-kepalsuan seperti
itu lebih berbahaya. Apalagi kalau itu menjadi sikap, kebiasaan, dan perilaku
banyak orang. Jangan sampai palsu dan kepalasuan itu menjadi kegemaran,
pilihan, apalagi menjadi tradisi dan budaya.
Ada banyak motif “pembeli” ijazah palsu,
selain untuk prestise, ada juga yang bermotif ekonomi. Motif prestise biasanya
dilakukan oleh mereka yang merasa rendah diri tampil tanpa embel-embel gelar. Ia
ingin terpandang dengan status pendidikan, padahal itu palsu. Atau juga “gila
gelar” dan ingin status sosial yang tinggi dengan cara pintas. Padahal status
sosial yang tinggi harusnya ditunjukkan melalui sikap sosial seperti pergaulan,
ramah tamah, kebersamaan, dan kekeluargaan.
Motif ekonomi dilakukan oleh mereka yang
ingin meraup keuntungan dari ijazah yang digunakannya. Biasanya untuk memenuhi
kepentingan administrasi kepegawaian. Ini terkait dengan pangkat dan jabatan
dalam struktur organisasi formal. Jika digunakan oleh pegawai negeri sipil, akan
merugikan negara, karena pangkat dan atau jabatan tidak sesuai dengan persyaratan.
Terlih lagi kalau kinerja yang ditunjukkan juga tidak sesuai dengan target.
Ijazah harusnya menjadi tanda pencapaian
tingkat tertentu seseorang dalam belajar. Itupun dalam proses belajarnya
dilakukan dengan giat, tekun, dan terarah. Belajar dilakukan dengan daya upaya
dan jerih payah untuk mengetahui dan menguasai kemampuan tertentu.
Proses belajar sesungguhnya berlangsung sepanjang
hayat. Perlu pemahaman bahwa pendidikan sejatinya membentuk pribadi manusia
menjadi lebih baik dan lebih sejahtera.
Kalau ijazah diperoleh dengan cara
“membeli” atau cara-cara instan lainnya, itu artinya ia secara moral tidak
lebih baik, pun dari segi kesejahteraan bathin makin tidak sejahtera. Mengapa?
Ya karena ia membohongi dirinya sendiri dan sepanjang hayat ia akan dihantui
oleh kebohongannya itu.
Persoalan ijazah palsu, kalau mau jujur,
sebenarnya merupakan fenomena permukaan. Karena ada orang yang merasa butuh
ijazah palsu, maka muncullah penyedia ijzah palsu. Terjadilah mekanisme pasar
dan transaksi perdagangan. Yang lebih mengkhawatirkan adalah sikap dan tradisi
pembiaran atau permisif terhadap kepalsuan. Proses belajar di lembaga
pendidikan formal diatur sedemikian rupa seolah-olah semuanya memenuhi syarat,
padahal hanya formalitas. Ada dalih perluasan akses pendidikan dan peningkatan
angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi. Ini tidak boleh terjadi. Di
sini diperlukan pengawasan dan pembinaan dari pemerintah dan elemen masyarakat
lainnya. Pengguna ijazah palsu pastilah ia yang memiliki sikap serba boleh.
Inilah bahayanya, ia akan menabrak aturan dan merasa boleh atau sah-sah saja.
Ijazah palsu merupakan laten, artinya
gejala atau ancaman yang sewaktu-waktu dapat muncul kembali. (*)
Artikel ini dimuat di Harian Trans Lampung Edisi Senin, 15 Juni 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar