Kamis, 02 Juli 2015

Belajar dari Kepalsuan



PEKAN silam polemik ijazah palsu mewarnai pemberitaan media. Kasus ini mencuat setelah Menteri Riset dan Pendidikan Tinggi M. Nasir melakukan monitoring dan evaluasi pengelolaan perguruan tinggi. Dalam hal ini termasuk melakukan inspeksi. Kasus ini dilaporkan ke Polri, dan sedang dalam penanganan aparat hukum.
Ijazah palsu, bukan semata-mata ijazahnya palsu, tetapi juga termasuk yang asli tetapi diperoleh dengan cara tidak sesuai prosedur dan aturan. Ijazah seperti ini disebut aspal (asli tapi palsu) dan asal (asal-asalan).
Palsu dan kepalsuan, seringkali menjadi kecenderungan orang sebagai salah satu cara untuk menutupi kekurangan, tetapi tidak memiliki kemampuan dan kapasitas mencapai tingkat tertentu.
Untuk barang atau alat palsu yang sifatnya urgen dan berada dalam ranah pribadi mungkin tidak menjadi soal. Contohnya, gigi palsu, kaki palsu, atau rambut palsu.
Tetapi jika sudah menyangkut kepentingan publik dan merugikan negara, ini jelas berbahaya. Barang-barang palsu misalnya, selain merugikan negara karena tidak membayar pajak, juga merugikan konsumen karena kualitas barang tidak sesuai yang diharapkan atau standar yang dijanjikan.
Apalagi kalau yang palsu itu ijazah. Ini bukan hanya soal kerugiaan material, finansial, tetapi ini menyangkut moral dan etika serta hukum. Kerusakan moral dan etika akibat kepalsuan-kepalsuan seperti itu lebih berbahaya. Apalagi kalau itu menjadi sikap, kebiasaan, dan perilaku banyak orang. Jangan sampai palsu dan kepalasuan itu menjadi kegemaran, pilihan, apalagi menjadi tradisi dan budaya.
Ada banyak motif “pembeli” ijazah palsu, selain untuk prestise, ada juga yang bermotif ekonomi. Motif prestise biasanya dilakukan oleh mereka yang merasa rendah diri tampil tanpa embel-embel gelar. Ia ingin terpandang dengan status pendidikan, padahal itu palsu. Atau juga “gila gelar” dan ingin status sosial yang tinggi dengan cara pintas. Padahal status sosial yang tinggi harusnya ditunjukkan melalui sikap sosial seperti pergaulan, ramah tamah, kebersamaan, dan kekeluargaan.
Motif ekonomi dilakukan oleh mereka yang ingin meraup keuntungan dari ijazah yang digunakannya. Biasanya untuk memenuhi kepentingan administrasi kepegawaian. Ini terkait dengan pangkat dan jabatan dalam struktur organisasi formal. Jika digunakan oleh pegawai negeri sipil, akan merugikan negara, karena pangkat dan atau jabatan tidak sesuai dengan persyaratan. Terlih lagi kalau kinerja yang ditunjukkan juga tidak sesuai dengan target.
Ijazah harusnya menjadi tanda pencapaian tingkat tertentu seseorang dalam belajar. Itupun dalam proses belajarnya dilakukan dengan giat, tekun, dan terarah. Belajar dilakukan dengan daya upaya dan jerih payah untuk mengetahui dan menguasai kemampuan tertentu.
Proses belajar sesungguhnya berlangsung sepanjang hayat. Perlu pemahaman bahwa pendidikan sejatinya membentuk pribadi manusia menjadi lebih baik dan lebih sejahtera.
Kalau ijazah diperoleh dengan cara “membeli” atau cara-cara instan lainnya, itu artinya ia secara moral tidak lebih baik, pun dari segi kesejahteraan bathin makin tidak sejahtera. Mengapa? Ya karena ia membohongi dirinya sendiri dan sepanjang hayat ia akan dihantui oleh kebohongannya itu.
Persoalan ijazah palsu, kalau mau jujur, sebenarnya merupakan fenomena permukaan. Karena ada orang yang merasa butuh ijazah palsu, maka muncullah penyedia ijzah palsu. Terjadilah mekanisme pasar dan transaksi perdagangan. Yang lebih mengkhawatirkan adalah sikap dan tradisi pembiaran atau permisif terhadap kepalsuan. Proses belajar di lembaga pendidikan formal diatur sedemikian rupa seolah-olah semuanya memenuhi syarat, padahal hanya formalitas. Ada dalih perluasan akses pendidikan dan peningkatan angka partisipasi kasar (APK) pendidikan tinggi. Ini tidak boleh terjadi. Di sini diperlukan pengawasan dan pembinaan dari pemerintah dan elemen masyarakat lainnya. Pengguna ijazah palsu pastilah ia yang memiliki sikap serba boleh. Inilah bahayanya, ia akan menabrak aturan dan merasa boleh atau sah-sah saja.
Ijazah palsu merupakan laten, artinya gejala atau ancaman yang sewaktu-waktu dapat muncul kembali. (*)

Artikel ini dimuat di Harian Trans Lampung Edisi Senin, 15 Juni 2015

Tidak ada komentar: