Senin, 12 Oktober 2009

ARTI PENTING PROSES PEMBELAJARAN, BUKAN HASIL SEMATA-MATA

Arti Penting Proses Pembelajaran, Bukan Hasil Semata-mata Oleh Dwi Rohmadi Mustofa, S.Pd. (Artikel ini ditulis tahun 2007) Kritik keras yang dilontarkan berbagai kalangan terhadap sistem pembelajaran di sekolah adalah kecenderungan guru pada summative assessment (hasil proses). Kondisi demikian berdampak pada siswa yang kemudian juga berorientasi hasil semata-mata, dan berkecenderungan mengabaikan proses. Akibatnya adalah siswa dan bahkan semua elemen yang terkait dengan persekolahan, berburu dengan waktu, untuk mencapai “nilai” yang terbaik. Lihatlah “kepanikan massa” pada saat menjelang pelaksanaan Ujian Nasional. Siswa ramai-ramai ”ngebut” belajar. Guru-guru dan pendidik di sekolah-sekolah juga merasakan adanya tekanan untuk mencapai tingkat kelulusan yang maksimal para siswanya. Para orang tua sibuk mencari biaya untuk memasukkan anak-anaknya pada lembaga bimbingan belajar (Bimbel). Lembaga bimbel pun menyambut dengan gempita. Berbagai tawaran diberikan. Dengan demikian, kelulusan yang dikejar. Pendidikan dan pembelajaran kehilangan makna hakikinya sebagai proses perubahan wawasan, sikap, dan perilaku. Prasarat bagi kondisi pembelajaran yang berhasil adalah adanya proses yang bermakna, bertahap, berkelanjutan. Pembelajaran memerlukan internalisasi. Proses internalisasi ini memerlukan waktu. Jadi tidak instan. Dalam kasus mikro, seorang siswa akan benar dan cepat menjawab pertanyaan lima dikalikan sembilan, yaitu empat puluh lima. Tetapi, apakah siswa mengetahui, memahami, dan mencermati bahwa empat puluh lima merupakan hasil dari lima ditambah lima dan seterusnya sampai sembilan kali? Atau sebaliknya, angka empat puluh lima dapat diperoleh dari sembilan ditambah sembilan; dan seterusnya sampai lima kali. Berdasarkan pengamatan, pada tingkat sekolah dasar, di mana guru bertindak sebagai guru kelas, kompetensi guru masih perlu peningkatan secara terus menerus. Dalam memberikan materi geometri, misalnya, bagaimana penguasaan guru terhadap konsep lingkaran, segi tiga, segi empat, dan bagaimana pula komunikasi dalam menjelaskan kepada siswa. Contoh klasik; seorang bayi yang sedang belajar mengenal benda, diberikan pengertian bahwa benda yang digunakan untuk duduk disebut ”kursi”. Tanpa kita beri tahu bermacam-macam kursi, ia mengenal sofa sebagai kursi. Tempat duduk untuk makan disebutnya sebagai ”kursi makan”. Tempat duduk tamu ditunjuknya sebagai ”kursi tamu”. Hal ini dimungkinkan karena ada proses internalisasi dalam diri anak. Internalisasi itu berlangsung terus menerus, tanpa orang tua sadari bahwa anaknya belajar mengenal berbagai macam benda yang saling berhubungan. Demikian yang berlaku dalam proses pembelajaran. Proses yang baik akan mengeluarkan hasil yang baik. Hasil yang baik belum tentu diperoleh melalui proses yang baik. Kembali kepada contoh perhitungan yang menghasilkan angka empat puluh lima di atas, bila kepada anak ditanyakan bagaimana menghitungnya, dan anak tersebut tidak dapat menjelaskan, maka patut ditinjau ulang proses belajar perkalian yang sudah dipelajari. Dalam beberapa kali perubahan kurikulum di Indonesia, sesungguhnya dapat ditarik benang merah adanya semangat untuk menciptakan proses pembelajaran di sekolah yang berpusat pada siswa dan lingkungan. Perubahan mendasar dalam kurikulum berbasis kompetensi, yang kemudian dikenal kurikulum tingkat satuan pendidikan, semuanya diarahkan pada otonomi siswa dan sekolah. Sayangnya, implementasi dari semuanya membutuhkan sarana dan prasarana yang banyak, yang dalam penyediaannya mengalami banyak hambatan. Hebatnya lagi, Ujian Nasional atau UN yang dalam beberapa tahun terakhir mendapat hujan kritikan, tetap saja berlangsung. Salah satu kunci keberhasilan proses belajar di sekolah adalah ”tindakan guru bersama siswa” dan bukan ”tindakan guru untuk siswa”. Guru hendaknya tidak lagi terpusat pada sumative assessment, tetapi pada bagaimana proses pembelajaran berlangsung. Memang diakui bahwa evaluasi hasil belajar adalah penting, tetapi yang tak kalah pentingnya adalah bahwa hasil dari evaluasi itu bukan untuk ”menghukum”. Guru sebagai pelaksana dalam evaluasi hasil belajar bukanlah hakim. Tulisan ini adalah sebagai bentuk empati penulis kepada profesi guru, dan harapan agar semua pihak yang terkait dengan dunia pendidikan dapat merenungkan kembali kebijakan yang diambil sekaligus melakukan perbaikan terus-menerus. (*)

Tidak ada komentar: