Senin, 12 Oktober 2009

BUKU DAN MINAT BACA

Buku dan Minat Baca Oleh Dwi Rohmadi Mustofa, S.Pd. (Artikel ini ditulis tahun 2007) Buku adalah jendela dunia. Melalui buku, diwariskan nilai-nilai kebudayaan dan peradaban. Buku adalah sumber informasi, pengetahuan, ilmu, dan teknologi. Disadari bahwa buku merupakan sumber utama dalam proses pembelajaran. Namun, dunia perbukuan menghadapi permasalahannya sendiri. Persoalan yang melilit dunia perbukuan, sampai saat ini masih seputar minat baca masyarakat dan harga buku yang relatif mahal. Dua pokok persoalan ini saling berkait. Bila harga buku murah atau terjangkau, maka dapat dipastikan mendorong minat baca. Sebaliknya, jika minat baca masyarakat meningkat, maka kebutuhan akan buku juga meningkat. Pada persoalan harga buku, terkait mahalnya harga kertas, mata rantai distribusi, kelangkaan penulis dan penerbit. Bahkan, pada menjelang tahun ajaran baru, selalu saja terjadi kelangkaan kertas untuk mencetak buku. Masalah-masalah seperti ini karena juga merupakan dampak dari kurang atau tidak adanya insentif bagi penulis buku kalau bukunya tidak terjual, misalnya, dan juga jarang ada penerbit yang mau ‘gambling’ dengan mencetak buku yang belum tentu laku terjual. Masalah-masalah ini kemudian berakibat pada ketidaksesuaian dengan daya beli masyarakat, yang selanjutnya berujung pada kasus pembajakan buku. Pembajakan Bagi masyarakat yang membutuhkan buku, mungkin dengan terpaksa membeli produk buku bajakan, yang harganya bisa seperempatnya dibanding buku ‘original’. Persoalan lainnya, anggaran bagi pengadaan buku untuk perpustakaan-perpustakaan terkadang juga tidak merata untuk kebanyakan penerbit serta jenis atau kelompok buku yang dibeli. Selain itu, dari segi besaran anggaran juga tidak sebanding dengan kebutuhan akan jumlah koleksi bahan pustaka. Di sisi lain, penegakan aturan mengenai pembajakan buku juga mengalami dilema. Di satu sisi buku adalah sarana pendidikan, di sisi lain, ada pelanggaran hak cipta. Masyarakat pengguna buku hasil bajakan, malah ada yang merasa tidak sengaja, karena kualitas cetakan dan kerta buku bajakan dengan yang asli nyaris sama. Perkembangan teknologi cetak, membuat kualitas cetakan buku bajakan semakin lebih baik. Aparat kepolisian pun, diakui oleh penerbit, ada yang kesulitan membedakan mana buku asli dan mana buku bajakan. Penegakan aturan dalam rangka memerangi pembajakan buku juga jelas tidak efektif, kalau tidak simultan dengan langkah-langkah lain. Apa mungkin dilakukan razia di pasar, di sekolah, atau di kampus-kampus? Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) memperkirakan, 80 persen buku yang diterbitkan di Indonesia dibajak. Perkiraan itu masuk akal, dengan melihat perbandingan buku yang beredar di pasaran dengan jumlah yang dicetak dan diedarkan oleh penerbit. Hitungan Sederhana Buku Secara sederhana perhitungan untuk buku-buku yang umum, dapat digambarkan dengan persentase sebagai berikut: ongkos cetak (10 - 20 %), royalti penulis (10 – 15 %), marjin keuntungan penerbit (10 - 20 %), distributor atau agen (20 – 40 %), dan pengecer (20 – 30 %). Menyimak gambaran tersebut, maka terlihat minimnya royalty bagi penulis. Artinya, penulis atau pengarang juga dituntut untuk menyadari betapa kompleks masalah dalam penerbitan buku. Belum lagi kalau buku yang sudah dicetak kurang laku di pasaran. Siapa yang mau menanggung kerugian? Penuliskah? Penerbitkah? Atau distributor, agen atau pengecer? Tentu saja tidak ada yang mau menanggung risiko kerugian. Maka wajar jika kemudian penerbit sangat selektif terhadap buku yang akan diterbitkan. Dampak dari kondisi demikian, adalah kurangnya rangsangan bagi penulis. Memang dalam kenyataannya ada beberapa buku yang menjadi best seller dan kemudian mengalami cetak ulang beberapa kali. Tapi jumlahnya tidak seberapa. Insentif Salah satu solusi untuk masalah buku adalah adanya insentif dari pemerintah, baik dalam bentuk pengurangan atau penghapusan pajak atas kertas dan bahan cetak, subsidi buku-buku tertentu, pembelian hak cipta kepada penulis (sebagaimana diwacanakan Departemen Pendidikan Nasional untuk buku-buku pelajaran), anggaran untuk pengadaan buku-buku bagi perpustakaan-perpustakaan, menggelar event-event yang mendorong tumbuhnya minat baca masyarakat, memfasilitasi promosi buku, dan sebagainya. Insentif dari pemerintah akan membuat keseimbangan harga buku, yang pada gilirannya mengurangi terjadinya buku bajakan. Keseimbangan harga buku akan dapat mendorong sosialisasi perang terhadap pembajakan, menumbuhkan kesadaran untuk menggunakan produk asli dan menghargai hak cipta. Buku sebagai salah satu media pembelajaran yang penting, dapat diperoleh oleh semua kalangan masyarakat. Pendidikan untuk semua, bukan hanya slogan kosong. Pemerataan kesempatan pendidikan (di antaranya melalui buku) dapat terwujud. Dengan demikian, kita juga membiasakan kepada anak-anak untuk mencintai buku sejak usia dini. Artinya, kita juga sudah berperan untuk menumbuhkan budaya membaca. Akhirnya, toko buku menjadi tempat tujuan yang nyaman, menyenangkan, dibutuhkan, buku-buku dijual dengan harga terjangkau. Sementara perpustakaan-perpustakaan akan ’lebih hidup’, menjadi tempat mencari informasi, belajar, dan mendukung penciptaan iklim akademik di kampus-kampus. Perpustakaan akan benar-benar menjelma sebagai jantung dan nafas kehidupan sekolah, kampus, atau lingkungan masyarakat. Buku akan menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan setiap orang. Penulis akan terdorong untuk menghasilkan karya-karya buku yang lebih beragam dan bermutu. Kita mewariskan kebudayaan dan peradaban dengan cara yang berbudaya dan beradab. Kita memerangi pembajakan buku sebagai tindakan melanggar hukum, dengan cara tidak melanggar hukum. (*)

Tidak ada komentar: