Senin, 12 Oktober 2009

PENDIDIKAN DAN BUDAYA INSTAN

Pendidikan dan Budaya Instan Dwi Rohmadi Mustofa, S.Pd. (Artikel ini pernah dimuat di Tabloid FOKUS, tahun 2007) Negeri ini menyimpan berbagai kontradiksi. Benar-benar kontras, dan bukan cuma perbedaan pendapat atau pandangan. Sampai suatu saat penyanyi kondang Bimbo, mempopulerkan lagu, dengan syair yang indah: Bukan lautan hanya kolam susu. Kail dan jala cukup menghidupimu. Tiada badai, tiada topan kau temui. Ikan dan udang menghampiri dirimu. Orang bilang tanah kita tanah surga….. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman.” Sumber Daya yang Melimpah Dekade silam, kita masih swasembada beras. Dekade kini, kita impor beras. Bahkan, gula pun kita kini impor. Melimpahnya sumber daya alam, membuat kita terlena. Kreativitas sulit ditumbuhkan. Ekspor berbagai komoditas masih berupa bahan baku, dan diimpor kembali sudah dalam bentuk barang jadi. Jumlah penduduk Indonesia yang banyak, menjadi pasar potensial berbagai produk dari luar. Kita mengkampanyekan penggunaan produksi dalam negeri, tapi gaya hidup kita mengedepankan gengsi. Merek-merek asing digandrungi. Harga yang mahal menjadi simbol kemewahan dan kehebatan. Peralatan dibeli bukan karena fungsinya, tapi karena merek dan gengsi. Tengoklah handphone berkamera yang ditenteng anak-anak muda. Budaya instan, ingin cepat selesai, tidak sabaran, dan menikmati hidup dengan mudah, menggejala. Dalam dunia pendidikan, banyak kontras yang patut diketengahkan, untuk dicermati. Tahun 1970-an, anak-anak muda negeri jiran, Malaysia menimba ilmu di Indonesia. Mulai tahun 1990-an, siswa dan mahasiswa kita banyak yang berguru ke sana. Sekolah Tinggi Pemerintahan Dalam Negeri (STPDN) yang mendidik calon pamong praja, menorehkan catatan kelam. Pendisiplinan terhadap mahasiswa menjadi kamuflase budaya kekerasan. Ujian Nasional menjadi fenomenal dalam beberapa tahun terakhir. Evaluasi menjadi ajang vonis dan kuasa pemerintah untuk menyatakan lulus atau tidaknya siswa. Standarisasi mutu pendidikan, yang menjadi alas pelaksanaan UN, mengesampingkan kenyataan di lapangan dan mengingkari eksistensi dan peran guru. Persentase kelulusan siswa dalam UN menjadi ajang gengsi daerah sehingga untuk mencapainya dilakukan dengan berbagai cara. Menurut catatan penulis, sejak tahun 2004, ketika itu bernama Ujian Akhir Nasional (UAN), UN menimbulkan gejolak di mana-mana. Tapi perjuangan mereka yang menolak UN karena secara substansial mengingkari peran guru, belum membuahkan hasil maksimal. Kelompok ini mengakui evalusi dalam pendidikan sebagai hal yang penting, tetapi ujian nasional hanya menjadi lahan politik anggaran. Budaya Instan Terdapat beberapa pengertian budaya, yang kemudian disamakan dengan kebudayaan. Menurut Kamus Filsafat (Lorens Bagus, 2002:424), kebudayaan merupakan seluruh nilai material dan spiritual yang diciptakan atau sedang diciptakan oleh masyarakat selama sejarah. Kebudayaan semula berarti pengolahan dan pengembangan kemampuan-kemampuan manusiawi yang melampaui keadaan alamiah semata (kebudayaan sebagai pendidikan rohani). Bangsa kita dikenal sebagai bangsa yang berbudaya. Kita dikenal sebagai bangsa yang ramah tamah, sopan santun, gotong royong, dan rukun. Faktanya, silang sengkarut dalam berlalu-lintas membuahkan cercaan dan perang mulut. Semuanya ingin menang sendiri. Di simpang jalan yang ada lampu pengatur lalu lintas, lampu merah diterobos dan tak merasa berdosa. Pikirnya, tak ada yang jaga ini (?). Padahal tindakan itu membahayakan orang lain dan dirinya sendiri. Bahkan terkadang, saat lampu merah justru pengendara di belakang yang membunyikan klakson dengan bangganya. Masih di jalanan, sering dijumpai, pengendara mobil mewah membuang sampah bekas pembungkus makanan di jalanan, tanpa malu. Di jalan raya, remaja kebut-kebutan. Tak mengenakan helm, knalpot dipotong pula. Yang lebih miris lagi, anak baru gede membawa mobil dinas (berplat merah) dengan cekikikan dan zig-zag. Perilaku orang di jalanan, mudah dipahami, mencerminkan tingkat disiplin dan menjadi representasi bagi perilaku orang tersebut di berbagai tempat lain. Pada berbagai kesempatan, pada jam pulang sekolah, mudah dijumpai anak-anak berseragam biru putih merokok. Lagaknya bak bintang iklan dalam televisi. Hampir setiap hari, di mall-mall, anak-anak sekolah nongkrong menghabiskan waktu. Alangkah sayangnya, menghabiskan waktu hanya untuk bersantai-santai di mall. Sulitnya mencari kerja, atau terbatasnya lapangan kerja, membuat ratusan ribu tenaga kerja berbondong-bondong menjadi tenaga kerja Indonesia (TKI) di negeri orang. Sementara, beberapa tenaga kerja ekspatriat yang bekerja di sini menempati posisi penting dengan gaji selangit. Kalau mau berargumen, pasti ada saja. Globalisasi menjadi alasan paling ampuh. Pancasila, sebagai dasar negara dan sumber hukum dan etika di negeri ini, tak lagi dihafal anak-anak sekolah. Apalagi meresapi makna dan mengamalkannya. Lagu kebangsaan Indonesia Raya, makin jarang didengar. Lalu, bagaimana kita menanamkan nilai-nilai luhur budaya bangsa kepada generasi bangsa? Bagaimana kita mewariskan semangat perjuangan, semangat pantang menyerah? Gambaran tersebut hanya sebagian dari sekian banyak kontras. Adakah yang salah dalam pendidikan? Anak-anak muda yang kebut-kebutan di jalanan, mungkin karena kurangnya fasilitas untuk mengekspresikan gejolak pertumbuhan jiwanya. Anak-anak lebih gemar nongkrong di pusat-pusat perbelanjaan, karena perpustakaan kurang menarik, dalam beberapa hal; kelangkaan koleksi pustaka atau koleksi yang sudah usang, lokasi sulit dijangkau, petugas pelayanan kurang memuaskan. Pengelolaan perpustakaan sekarang sudah saatnya memanfaatkan atau mengikuti perkembangan teknologi informasi. Perpustakaan harus menawarkan kenyamanan, kemudahan, dan kecepatan kepada penggunanya. Repotnya lagi harga buku masih mahal atau sulit dijangkau sebagian besar masyarakat. Padahal, buku menjadi media dan sumber belajar yang penting. Buku adalah kebutuhan dalam proses pendidikan. Buku juga dapat menjadi sarana melestarikan khasanah bangsa. Anak-anak lebih senang menghabiskan waktu berkumpul dengan teman-teman sebayanya dengan kegiatan yang cenderung kurang bermanfaat bagi perkembangan jiwanya, untuk tidak mengatakan negatif. Tengoklah tempat-tempat penyewaan game. Anak-anak antre, terkadang mangkir dari sekolah, hanya untuk bermain game di play station. Remaja kita di rumah, mungkin lebih banyak membuang waktu untuk menonton televisi dibandingkan belajar. Penggunaan internet di kalangan remaja kita, juga lebih banyak untuk hiburan daripada digunakan sebagai media belajar atau mencari informasi baru terkait dengan pendidikan mereka. Internet menawarkan kemudahan dan kesenangan, yang mudah disalahgunakan. Game secara online maupun dengan teman di dekatnya dijadikan ajang judi kecil-kecilan. Media massa, terutama televisi, kini juga menawarkan hiburan yang melimpah serta melimbah. Sinetron dan karakter tokoh dalam sinetron terkadang jauh dari gambaran umum dalam masyarakat kita. Penggambaran remaja hidup enak jauh dari kesusahan materi, dalam sinetron, menumbuhsuburkan budaya hedonisme hedonisme (menyamakan kebaikan dengan kesenangan). Tokoh jahat menjadi idola, dan gerak laku sang tokoh dalam sinetron menjadi ”teladan”. Dari sini dapat dikatakan bahwa anak-anak kita sekarang kehilangan mekanisme pertahanan diri dalam menyaring informasi yang kurang bermanfaat. Sementara informasi membanjiri setiap saat. Iklan produk ditawarkan secara atraktif dan berusaha menggoda, yang semakin menegaskan budaya instan dan. Derasnya informasi, terutama iklan dengan segala media penyampaiannya, mengepung nilai-nilai perjuangan dalam memperoleh sesuatu. Kebendaan dan materi yang menawarkan kenikmatan berubah menjadi tujuan hidup, dan bukan benda atau materi hanyalah sarana untuk mencapai tujuan hidup. Sudah banyak juga surat pembaca di media cetak yang mengkritisi ketidakseimbangan antara tayangan televisi dengan realitas masyarakat kita, termasuk masalah jam tayang dan deskripsi yang vulgar atau suatu peristiwa kekerasan yang disajikan media televisi. Meski demikian, kritik itu tak mampu melawan mekanisme pasar dalam bisnis media, khususnya televisi. Di mana, acara yang menempati rating tertinggi, menjadi lahan meraup iklan bagi pengelola stasiun televisi yang bersangkutan. Peraturan perundang-undangan tentang penyiaran pun demikian adanya, yang memungkinkan penayangan iklan seperti yang sekarang. I Gusti Ayu Ketut Rachmi Handayani (2006) menjelaskan bahwa karakteristik media massa dalam konsep klasik adalah: 1) ditujukan ke khalayak luas, heterogen, tersebar, anonim serta tidak mengenal batas geografis; 2) bersifat umum bukan perorangan; 3) penyampaian pesan berjalan secara cepat dan mampu menjangkau khalayak yang luas dalam waktu yang relatif singkat (massage multiplaier); 4) penyampaian pesan cenderung berjalan satu arah; 5) kegiatan komunikasi dilakukan secara terencana, terjadwal dan terorganisir; 6) kegiatan komunikasi dilakukan secara berkala tidak bersifat temporer; 7) isi pesan mencakup berbagai aspek kehidupan: sosial, ekonomi, politik, budaya, hukum, agama dan sebagainya. Dari konsep tersebut, sesungguhnya media massa dalam melaksanakan fungsi dan perannya, secara substansial bersentuhan dengan wilayah publik atau hak-hak masyarakat. Selain itu, terpaan media menggempur publik melintas waktu dan ruang. Adanya perbedaan program maupun isi tayangan, merupakan wilayah etika profesional pengelola media, atau stasiun televisi itu sendiri. Oleh karena itu, aspek tanggung jawab publik dari pengelola media, terutama stasiun televisi, sesungguhnya menjadi bagian yang paling penting dalam keseluruhan tanggung jawab sebagai warga negara. Singkatnya adalah, media televisi tidak dapat dipersalahkan atas penyajian tayangannya sepanjang dalam koridor hukum dan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyiaran. Mekanisme Pertahanan Diri Merebaknya gejala budaya instan, tak pelak mengundang keprihatinan. Kita tak ingin mencari kambing hitam atas kondisi ini. Jalan yang terbaik adalah melakukan pembenahan ke dalam sistem pendidikan, termasuk eksistensi lembaga pendidikan. Penguatan mental anak-anak sebagai generasi bangsa harus dilakukan secara, persuasif, intensif, dan ekstensif. Setiap orang memiliki mekanisme pertahanan diri dalam menangkal pengaruh negatif dari luar dirinya. Dengan demikian, terkait dengan perkembangan dan kemajuan teknologi, informasi, dan segala pengaruh yang dapat berakibat pada perilaku negatif yang paling penting adalah memperkuat benteng pertahanan diri anak didik. Dalam lingkup keluarga, pembinaan, pengayoman, serta pengarahan dari orang tua juga sangat penting. Selain kebutuhan anak, peran serta orang tua dalam mendidik anak-anak merupakan tanggung jawab pribadi kepada agama, keluarga, bangsa, dan negara. Apalagi dalam masa anak-anak balita yang disebut sebagai era emas pertumbuhan (the golden age). Mengasuh anak-anak bukan saja mencukupi kebutuhan material mereka, tetapi yang lebih penting adalah pemberian kasih sayang dan pembinaan mental, moral, serta spiritualnya. Segenap komponen kependidikan, mesti mencermati berbagai pengaruh lingkungan dan masa pertumbuhan anak sebagai suatu perkembangan yang pasti terjadi. Apabila pendidikan dimaknai sebagai ”menciptakan manusia seutuhnya”, maka seluruh pendukung sistem pendidikan nasional harus bekerja secara integral. UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I Pasal I butir 1 menegaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Selanjutnya UU RI Nomor 20 tahun 2003 Pasal 3 menyatakan bahwa pendidikan berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Redefinisi orientasi pendidikan perlu dilakukan, sesuai dengan kebutuhan yang berkembang dalam masyarakat. Muatan pendidikan yang menekankan pada kemampuan kognitif semata-mata, membuat anak didik cerdas tetapi tidak mandiri. Akibatnya, ketika berhadapan dengan dunia nyata (dunia kerja) menjadi tidak bersaing. Pertanyaan kunci untuk menyegarkan ingatan kita akan makna, fungsi, dan tujuan pendidikan, adalah sudahkah kita melaksanakan amanah pendidikan tersebut? (*)

Tidak ada komentar: