Minggu, 11 Oktober 2009

MENULIS ITU GAMPANG

Menulis itu Gampang Oleh Dwi Rohmadi Mustofa Karyawan swasta di Bandar Lampung Menulis itu Gampang! Agaknya judul di atas terlalu menyederhanakan masalah. Mungkin bagi sebagian orang menulis itu sama sulitnya dengan mencari jarum di tumpukan jerami, atau mengukir di atas air. Ada yang beralasan, tidak semua orang dikaruniai kemampuan dua hal sekaligus; pandai bicara, dan lancar menulis. Sebagian besar orang akan menganut aliran kepercayaan, bahwa seseorang yang dikarunai “kemampuan” berbicara, akan memiliki kelemahan dalam menulis. Atau sebaliknya. Saya pernah mengajukan pertanyaan kepada seorang kawan, yang tulisannya tersebar di berbagai media. Pertayaannya sederhana: Menurut Anda, menulis itu bakat atau keterampilan?. Yang saya maksud bakat adalah bahwa tidak semua orang akan memiliki kemampuan menulis, sedangkan yang dimaksud keterampilan, artinya adalah bahwa menulis itu bisa dipelajari oleh semua orang dan dengan demikian kemampuan menulis bisa diajarkan kepada setiap orang. Ternyata dengan lancar sang kawan tadi, justru menjawab dengan cara yang berbeda. Menulis itu, kata dia, tergantung orientasinya. Maksudnya, seseorang mau dan bisa menulis apabila ia memiliki kepentingan. “Mau apa dia menulis. Mau kaya, ingin terkenal, atau mau melakukan aksi protes”. Dia sendiri kemudian menceritakan pengalamannya hingga keadaannya sekarang, di mana tulisannya banyak tersebar di berbagai media dalam berbagai tema. Awalnya ketika di bangku SMA dia mengirimkan dua naskah artikel opini, dan tidak dimuat. Kemudian ketika di tahun pertama di bangku kuliah, dia mengirimkan artikel opini ke sebuah media, dan dimuat. Bukan main bangganya, waktu itu. Sejak saat itulah kemudian dia rajin menuangkan gagasannya dalam bentuk artikel opini di koran. Dalam tulisan ini penulis mengambil konteks menulis opini untuk media massa/koran. Sebab, langkah untuk menjadi penulis buku, misalnya, akan mudah dilalui jika mampu menulis opini di media massa. Menulis itu Gampang! Kendala dalam menulis adalah adanya aturan-aturan. Masih menurut kawan tadi, jika seseorang diminta menulis apa saja yang ingin dia kemukakan, tanpa ada aturan harus begini-begitu, maka diperkirakan akan mampu menyajikan sebuah tulisan yang baik. Tapi, jika dalam tahap awal menulis, sudah dibatasi dengan aturan-aturan tertentu bahwa menulis itu harus didahului dengan latar belakang masalah, rumusan masalah, metode pembahasan, landasan teori, pembahasan masalah, dan solusi, harus menggunakan bahasa ilmiah, harus menggunakan tata bahasa yang benar, dan sebagainya, maka dipastikan orang tidak akan mampu menuangkan idenya dalam bentuk tulisan. Saya kemudian mengetik di search engine internet google: Menulis itu Gampang. Hasilnya, terdapat sekitar 220 ribu artikel yang sesuai dengan kata-kata yang saya ketikkan tadi. Ketika kata-kata “itu” saya hilangkan dalam pencarian di google, menjadi “Menulis Gampang”, hasilnya malah lebih banyak lagi, yaitu sekitar 1.930 ribu artikel yang berkesesuaian. Bisa saja artikel di internet itu merupakan perpaduan dua kata yaitu “Menulis” dan “Gampang”. Dari jawaban kawan tadi, dan entri pada search engine di google, saya berkesimpulan bahwa menulis sebenarnya gampang. Sekarang mari kita lihat munculnya situs Facebook atau Friendster dan sejenisnya atau situs para blogger. Di sana, hampir semua orang mampu menuangkan idenya dengan bebas dan ekspresif. Muncul beragam tema, pembahasan, dan artikel yang amat kaya informasi. Jadi, dari kesimpulan saya itu kemudian muncul pertanyaan baru, mengapa masih beredar anggapan menulis itu sulit? Bagi saya, ini merupakan akibat faktor ketersediaan sarana dan pendidikan yang kurang memberi tempat dalam mengasah kemampuan siswa dalam bidang menulis. Coba kita tanyakan kepada guru, berapa jam pelajaran bahasa, dengan topik mengajukan gagasan dalam bentuk tulisan, dibandingkan dengan jumlah jam pelajaran siswa di sekolah dalam setahun. Kemudian, berapa banyak siswa sekolah kita yang memiliki buku catatan harian, atau melakukan kegiatan menuliskan kegiatannya sehari-hari? Biarlah pertanyaan ini tetap menjadi pertanyaan, karena sesungguhnya jawabannya ada di benak para pembaca. Kemampuan menulis, dimulai dari kebiasaan. Yaitu kebiasaan berpikir atau memikirkan sesuatu dan kemudian menuangkannya dalam bentuk tulisan. Kebiasaan ini terkait dengan keterampilan seseorang menyusun dengan baik rencana hidupnya, baik untuk hari ini, atau pun untuk jangka waktu yang lama. Sekarang mari kita tanya pada diri sendiri, berapa kali kita, ketika pagi hari, menuliskan rencana kegiatan sepanjang hari yang akan dilalui. Misalnya, 1. menyelesaikan tugas kantor/sekolah, 2. menelepon kawan lama yang sudah janjian. 3. membeli bola lampu. 4. menyiangi bunga, 5. makan malam dengan teman, 6. mengecek email. 7. ke bank menabung, dan sebagainya. Sebenarnya dengan menuliskan apa yang akan dilakukan, sudah bisa dianggap bahwa 50 % masalah sudah selesai. Pakem ini tampaknya mujarab. Itulah sebabnya banyak direktur yang sibuk, mesti mengangkat sekretaris. Bayangkan kalau tidak ada sekretaris, betapa kacaunya pekerjaan sang direktur. Dan sekretaris, di sini, bolehlah disepadankan dengan pekerjaan “menulis”. Membaca dan Menulis Menulis itu gampang! Yang sulit adalah membiasakan diri untuk menulis. Sesudah kesulitan pertama ini dapat diatasi, maka untuk dapat menjadi penulis, juga harus diimbangi dengan kebiasaan membaca. Penulis yang baik, biasanya akan selalu haus bacaan. Dia akan selalu berusaha mencari sumber informasi, dan perbandingan-perbandingan gagasan memalui bahan bacaan Orang yang sudah menjadikan menulis sebagai kebiasaan, akan merasakan tiada hari tanpa menulis. Dia akan merasa sakit jiwa jika tidak menulis. Nah bagaimana membalik kondisi dari “menulis itu susahnya setengah mati” ke kondisi “kalau tidak menulis rasanya seperti orang dipasung”. Menulis itu Gampang! Untuk membiasakan agar mampu menulis, maka patut dicoba menuliskan apa saja yang dirasakan, protes terhadap suatu keadaan, mengajukan ide-ide kreatif, mengomentari pendapat orang lain, dan sebagainya. Misalnya: “Hari ini saya kesal bukan main, karena ketika akan masak gas habis. Sedangkan tukang gas keliling tidak juga muncul. Ketika saya memutuskan membeli gas di depot, yang agak jauh, eh malah sepeda motor yang saya kendarai ditabrak becak. Abang becaknya malah marah-marah, menyalahkan saya. Hampir saya menanggapi omelannya. Sungguh sial hari ini. Tapi kemudian saya menyesal, mengapa saya mengumpat diri saya sendiri. Penyesalan saya itu ternyata membawa berkah. Pulang dari depot, sampai di rumah ada kawan lama, yang sudah lima tahun nggak ketemu, datang bermaksud membayar hutang. Padahal saya sendiri sudah lupa, utang apa, berapa, dan kapan……” Contoh di atas memang simpel saja. Tapi kalau tidak biasa menuliskan isi perasaan, saya jamin tidak bisa menuangkan perasaan yang campur aduk tersebut dalam bentuk tulisan. Apalagi dengan pilihan kata yang “menggigit” dan melibatkan emosi. Atau contoh lain, protes atas kebijakan pemerintah daerah. “Pemda ini kayak nggak tahu perasaan warga saja. Sudah jelas-jelas bukit yang ada di belakang rumah itu menjadi daerah penyangga, penampung air hujan, dan tempat hidup monyet-monyet, malah diijinkan untuk dibangun perumahan elite….”. Dan seterusnya. Masih ada contoh lagi. “Kelakuan elite politik negeri ini menurut saya keterlaluan. Pandai sekali bermain sandiwara. Katanya galang koalisi untuk kepentingan rakyat. Tapi ujung-ujungnya, semuanya mau menang dalam pemilihan presiden. Lho yang katanya untuk rakyat itu mana? Jangan-jangan nanti kalau sudah menang dalam Pilpres lupa rakyat. Rakyat cuma dijadikan alat untuk meraih kekuasaan.”….. Menulis itu Gampang! Yang sulit mendisiplinkan diri menuangkan ide dalam bentuk catatan kecil. Padahal, dengan menulis, bukan saja “50 persen masalah sudah selesai”, tapi juga mengurangi stress, dan menyalurkan energi negatif. Mengenai mengurangi stress dan menyalurkan energi negatif ini, biasanya sudah dirasakan oleh para blogger atau netter (orang yang biasa menulisi di internet). Menulis itu Gampang! Saking inginnya banyak orang memiliki kemampuan menulis, Al Chaedar Alwasilah, menulis buku yang diberi judul “Pokoknya Menulis”. Al Chaedar adalah dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung. Sebelumnya dia sukses menulis buku berjudul “Pokoknya Kualitatif”. Kalau kemampuan menulis sudah terbentuk, untuk menjadikan tulisan lebih bagus lagi, tinggal memberikan tambahan referensi. Istilah kerennya riset kecil-kecilan. Dalam hal ini mungkin sebuah tulisan dikaitkan dengan teori, pendapat pakar yang sudah terkenal, atau merujuk pada karya referensi seperti kamus, ensiklopedia, data statistik, dan sebagainya. Bisa lebih bagus lagi dimintakan kepada orang lain untuk membaca ulang tulisan yang ada dan memberikan komentar. Ditolak Penerbit Koran Kalau naskah opini ditolak penerbit koran, atau dengan kata lain tidak pernah dimuat, jangan putus asa. Terus perbaiki cara menulis, pilihan tema, topik sedang hangat dibicarakan, menyangkut kepentingan orang banyak. Jadi intinya, menulis lagi, dan kirim lagi ke media. Kawan saya bercerita, profesornya menulis untuk koran ditolak. Tapi sang kawan, menulis tema yang sama, dimuat oleh koran. “Apa yang salah?” kata profesor kepada kawan tapi, yang notabene masih mahasiswa. Selidik punya selidik, ternyata bahasa sang profesor tidak “membumi”. Jadi jelas, meskipun penerbit koran memiliki kriteria untuk pemuatan sebuah artikel opini, dan terkadang dalam penerapannya sangat subyektif, tapi ada prinsip yang berlaku umum, yaitu bahasanya mudah dipahami. Menulis dan Mendengar Penulis, biasanya adalah pembaca yang baik. Artinya, kritis, analitis. Lazimnya tidak dogmatis, melainkan praktis, dan penuh empati. Artinya, karya tulisannya memberikan solusi atas kondisi yang tidak serasi dengan harapan. Penulis yang baik akan mampu mengungkapkan isi pikirannya dengan tutur kata yang elegan, enak dibaca, dan menyentuh. Dan yang paling penting adalah memberikan pencerahan atas persoalan yang dihadapi oleh masyarakat, untuk tidak mengatakan memberikan solusi. Setiap pokok pikiran disajikan secara sistematis, taktis, dan strategis. Bagaimana Memulai Menulis? Menulis itu Gampang! Menulis bisa dimulai dari menjawab pertanyaan sendiri. Ini tentu bagi penulis pemula. Ajukan pertanyaan-pertanyaan, kemudian tuangkan jawaban-jawabannya dalam tulisan. Jawaban itu adalah jawaban Anda sendiri, hasil olah pikir Anda. Setiap jawaban akan melahirkan pertanyaan baru. Dengan demikian maka akan mengalir tulisan yang anda susun. Bagi wartawan, ini sekadar perbandingan untuk penulis pemula, menulis ibarat minum obat, sehari tiga kali. Kalau tidak minum obat, maka penyakitnya akan kambuh, alias tidak sembuh. Penyakitnya apa? Ya seperti saya ungkapkan sebelumnya, bagi penulis (dalam hal ini wartawan) kalau tidak menulis ia akan seperti sakit jiwa. Pening. Gejolak jiwanya tidak tersalurkan. Wartawan yang terbiasa melaporkan suatu berita, menulis merupakan sikap, kebiasaan, perilaku, dan budayanya. Menulis berita sudah seperti spontanitas. Lihatlah reporter di televise yang sedang melaporkan suatu peristiwa secara langsung. Ia dengan lancar mengungkap setiap detail peristiwa. Atau bila melakukan wawancara, ia akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara rinci, terkadang mengejutkan. Dalam arti, pertanyaan yang diajukan, bahkan tidak terpikirkan oleh pemirsanya. Bagi pekerja pers, jurnalis, wartawan, atau apapun sebutannya, menulis ada pakem dasarnya. 5W + 1 H. What, Why, When, Where, Who, + How. 5 W-nya bisa ditukar-tukar mana yang didahulukan. Biasanya, W yang didahulukan, dianggap paling penting. Mengacu pada pakem bagi wartawan tersebut, maka bagi penulis pemula, dapat terus mengembangkan/mengasah kemampuannya dalam menulis dengan senantiasa bertanya: mengapa? Menulis itu Gampang! Untuk melahirkan tulisan yang enak dibaca, bagi pemula, disarankan untuk menuliskan “mimpinya”. Bermimpilah menjadi apa, atau menginginkan suatu kondisi yang bagaimana atas peristiwa dan keadaan lingkungan, baik sosial maupun politik. Sekadar contoh, bermimpilah tinggal di suatu kota yang bebas polusi, aman, penduduknya ramah tamah, lingkungan bersih, warganya tertib dalam mengantri, transportasi lancar, tersedia taman kota, sarana pendidikan yang baik, dan sebagainya. Mungkin banyak di antara kita, ketika di bangku SD diminta oleh guru untuk menuliskan atau mengarang tentang cita-cita ketika kelak dewasa. Ada yang menyebut ingin jadi dokter, ada yang mengarang jika jadi insinyur, astronot, pilot, guru, dosen, tentara, polisi, ada yang mengemukakan jadi pedagang, dan sebagainya. Jadi dapat disimpulkan, baik cita-cita, kondisi di masa depan, bisa menjadi inspirasi untuk melahirkan karya tulis. Inspirasi itu akan selalu ada bila kita terbiasa menulis. - Wawancara Imajiner Bisa juga dengan melakukan wawancara imajiner dengan narasumber tertentu. Misalnya, bila ingin menulis tentang situasi politik sekarang, atau mengetahui pendapat pendiri Republik ini, bisa meminta pandangan Bung Karno melalui wawancara imajiner. Anggap saja, mimpi bertemu dengan Bung Karno dan berdialog dengan beliau. Dan beliau mengajukan pendapatnya. Atau tentang koperasi, bermimpilah bertemu dengan Bung Hatta. Tanyakan kepada beliau tentang membangun koperasi yang baik, seperti apa koperasi yang dicita-citakannya. Mungkin beliau menyesal melihat banyaknya jumlah koperasi, tapi minim kegiatan. Banyak koperasi hanya papan nama. Atau mungkin beliau menangis, melihat keadaan sekarang, koperasi dibentuk hanya untuk “mewadahi” program bantuan atau fasilitas dari pemerintah. Ironis memang. Dan semua ini, hasil wawancara imajiner tersebut, sah-sah saja. Bolehlah disebut sebagai karya ilmiah popular. Ilmiah karena memenuhi unsure cara berpikir ilmiah. Runtut, adanyanya masalah, pembahasan, dan memberikan solusi. Disebut popular, karena tema yang diangkat sedang hangat-hangatnya dibicarakan masyarakat dewasa ini. Di tengah situasi politik seperti sekarang, rasa-rasanya hampir semua orang gemar mengomentari politik. Paling tidak membicarakan politik. Kalau mau menjadi penulis atau pengamat, sekarang memang waktunya tepat menjadi pemerhati pengamat politik. Coba perhatikan betapa berita-berita politik menjadi perhatian semua orang. Semua koran memuat komentar di koran. Sepuluh tahun lalu masih jarang penulis opini di koran daerah. Kalaupun ada beberapa nama yang rajin mengirim artikel opini, terbatas dari kalangan dosen Fisip atau Hukum. Sangat jarang penulis dari bidang lain mengirimkan opini di koran. Bahkan, untuk menutupi ini, biasanya redaksi menghubungi kalangan tertentu, seperti dosen, pegiat sosial, dan sebagainya untuk meminta tulisan. Pengalaman tersebut, tampaknya tidak terjadi lagi sekarang. Maraknya penerbitan media cetak, telah mendorong lahirnya penulis-penulis muda. Hanya saja, masih kurang diimbangi jumlah penulis produktif. Apalagi kalau melihat indikator lain, yaitu buku yang ditulis oleh orang daerah. Banyaknya muncul koran di daerah, merupakan lahan untuk menyebarluaskan ide melalui rubrik opini. Hampir semua koran memberikan/menyediakan ruang bagi tulisan-tulisan yang bersifat opini dari para pembacanya. Oleh karena itu, bagi para penulis, terutama penulis pemula, hal ini dapat menjadi medium bagi pengembangan potensi diri. Bagi pihak media (koran) lahirnya penulis-penulis lokal juga akan memberikan manfaat (benefit) tersendiri. Hubungan antara penulis (pengamat, akademisi, professional) dengan media merupakan hubungan mutualisme. Istilah yang beredar di kalangan pekerja media, adalah: koran membesarkan orang, dan orang membesarkan media. Jadi kloplah. (dwi_rohmadi@yahoo.com)

Tidak ada komentar: