Dedikasi dalam pendidikan, pembelajaran, persekolahan, teknologi, dan ilmu pengetahuan untuk kemajuan peradaban ummat manusia. Segala sesuatu yang besar, dimulai dari hal-hal yang kecil.
Senin, 12 Oktober 2009
MUTU PENDIDIKAN DIMULAI DARI MANA?
Mutu Pendidikan, Dimulai dari Mana?
Oleh Dwi Rohmadi Mustofa
(Artikel ini pernah dimuat di Tabloid FOKUS, 2007)
Wacana mengenai mutu pendidikan tak habis dibicarakan orang. Mulai dari orang tua siswa, guru, kalangan perguruan tinggi, pemerintah, sampai politisi. Apalagi pada saat semua siswa sekolah menghadapi ujian akhir. Seakan-akan, ujian sekolah identik dengan mutu pendidikan itu sendiri.
Mutu, dalam pengertian barang atau jasa, adalah suatu sifat atas barang atau jasa yang dapat memenuhi harapan penggunanya. Mutu dikatakan baik atau tinggi, jika dapat memenuhi harapan penggunanya. Mutu dikatakan rendah atau jelek, jika tidak dapat memenuhi keinginan penggunanya.
Untuk menghasilkan barang atau benda yang bermutu, bukan semata-mata melihat hasil akhirnya tetapi menyangkut masukan (input), proses (interaksi), serta hasil (output). Mutu barang atau jasa berhubungan dengan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi. Untuk meningkatkan mutu, harus dimulai sejak dari perencanaan yang baik, pelaksanaan yang efektif, pengawasan mengarahkan, serta evaluasi yang dijadikan dasar perencanaan lanjutan.
Lalu, apa itu mutu pendidikan? Jelaslah bahwa mutu pendidikan adalah sifat atas suatu hasil dari jasa pendidikan. Menghasilkan pendidikan yang bermutu, berarti perencanaan yang baik, pelaksanaan yang baik, dan seterusnya.
Perencanaan dimulai dari kebijakan dasar dan penjabaran kebijakan. Di Indonesia sudah banyak peraturan perundangan yang mengatur hal ini. Sebut saja, UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, dan sebagainya. Belum lagi peraturan menteri Pendidikan Nasional yang jumlahnya sangat banyak. Secara substansial, pendidikan dituangkan dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Pengorganisasian dan pelaksanaan, dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan, harus diatur dalam suatu sistem, dan dilaksanakan oleh sumber daya yang kompeten. Evaluasi pendidikan, secara makro maupun mikro, juga harus dijadikan bahan dalam mengambil keputusan untuk perbaikan selanjutnya.
Salah satu konsideran dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan loka, nasional dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara, terencana, terarah, dan berkesinambungan.
Pendidikan diselenggarakan dengan memperhatikan prinsip demokratis, berkeadilan, dan tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 diatur hak dan kewajiban semua pihak dalam rangka tercapainya tujuan pendidikan. Bab IV mengatur tentang hak dan kewajiban warga negara, orang tua, masyarakat, dan pemerintah.
Munculnya kritik atas mutu pendidikan, mengindikasikan adanya kesenjangan dan ketimpangan dalam sistem pendidikan. Kita secara jujur harus mengakui kenyataan adanya perbedaan ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan antar-wilayah; perkotaan dan perdesaan. Kita sadar atau tidak, telah melalaikan kewajiban dalam mendukung terselenggaranya pendidikan. Sebagai orang tua dari anak usia wajib belajar, misalnya, berkewajiban memberikan pendidikan dasar kepada anaknya.
Pemerintah dan pemerintah daerah berkewajiban memberikan layanan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terelenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai limabelas tahun.
Selama 61 tahun Indonesia merdeka, kita selalu ”kedodoran” dalam menghadapi tuntutan perubahan lingkungan. Bahkan, masalah pemerintah wajib menyediakan anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari anggaran pemerintah, tak ubahnya seperti bola mainan. Besaran anggaran pendidikan 20 persen menjadi bahan perdebatan. Satu pihak beranggarapan, besaran itu termasuk anggaran gaji guru, pihak lain menyatakan besaran anggaran tersebut harus di luar gaji guru. Sedangkan sektor lain, juga membutuhkan anggaran yang besar, seperti kesehatan, prasarana umum, dan sebagainya.
Hal ini berarti bahwa pada tataran perencanaan, kita sudah recok dengan debat yang tak kunjung padam. Pada tataran praktek, masukan (input) pendidikan selalu tidak memadai dengan harapan akan mutu pendidikan. Input pendidikan baik berupa sarana dan prasarana, sumber daya manusia: siswa, orang tua, guru, birokrat dan sebagainya. Selanjutnya dari segi proses, kita senantiasa sibuk dengan hal-hal yang bersifat birokratis: persyaratan kualifikasi guru, administrasi pendidikan, kinerja aparatur pemerintah di bidang pendidikan. Jika dari dua segi tersebut, yaitu input dan proses yang selalu bernilai ”kurang”, maka hasil yang dikeluarkan pun akan ”kurang”.
Pada tingkat politik dan kebijakan, maka perlu diambil ketetapan yang tidak multi tafsir. Selama topik-topik kebijakan menjadi bahan perdebatan yang tidak ada habisnya, maka jangan berharap mutu pendidikan yang baik. Yang lebih memprihatinkan lagi jika topik-topik pendidikan menjadi menu kampanye politik atau dipolitisir untuk kepentingan tertentu. Selama ini perdebatan tentang kebijakan politik menghabiskan energi yang luar biasa besarnya.
Pendidikan pada tataran sekolah, tempat ini harus benar-benar menjamin bertumbuhnya pribadi-pribadi siswa yang bertakwa, kreatif, mandiri, cerdas, dan berkepribadian. Oleh karena itu, guru sebagai fasilitator pendidikan harus mampu berperan sebagai orang yang memberi ”pupuk” bagi persemaian benih-benih pribadi siswa yang bertakwa, kreatif, mandiri, cerdas, dan berkepribadian. Tidak boleh satu aspek saja yang ditonjolkan, misalnya aspek kecerdasan intelektual semata-mata. Prasyarat untuk terlaksananya hal ini adalah dukungan dari pemerintah dalam bentuk pembinaan, tunjangan, arahan, yang benar-benar tulus didasari semangat untuk memajukan pendidikan.
Seringkali, guru disibukkan dengan urusan administrasinya sendiri, sehingga mereka kekurangan waktu untuk ”mendidik”. Padahal, dalam konteks sekolah-sekolah negeri, terdapat tenaga tata usaha yang seharusnya mengejakan tugas-tugas administrasi. Kunci dari hal ini adalah kepemimpinan yang kuat baik dari Dinas maupun dari Kepala Sekolah. Jika ditarik garis pada sekolah swasta, maka kunci bagi jalan keluar hal ini adalah Yayasan dan Kepala Sekolah. Kepemimpinan yang kuat artinya kepemimpinan yang sesuai dengan situasi dan kondisi yang dipimpin, melibatkan anggota yang dipimpin dalam mengambil keputusan, dan yang terpenting adalah yang mau menerima kritik, saran, pendapat, dan masukan.
Pada tingkat masyarakat, sebagai komponen bangsa, masyarakat berhak berperan-serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Hak ini dilindungi oleh undang-undang. Dalam hak pelaksanaan program pendidikan, sudah banyak sekolah-sekolah swasta yang diselenggarakan oleh masyarakat.
Pelaksanaan hak pengawasan, dalam kenyataannya sering berbenturan dengan tembok-tembok birokrasi atau dengan kepentingan tertentu. Peran dan partisipasi masyarakat, dalam hal pengawasan, sangat strategis dilakukan oleh media massa maupun lembaga swadaya masyarakat. Media massa dapat memberikan pengawasan pelaksanaan program pendidikan baik melalui pemberitaan maupun penyajian tulisan-tulisan kritis. Bahkan sesungguhnya media massa berperan dalam pendidikan melalui fungsi penyebarluasan informasi yang proporsional atau yang bersifat mendidik dan yang bersifat hiburan.
Kalau demikian halnya, maka sesungguhnya mutu pendidikan sangat tergantung dari kita; diri kita sendiri, pemerintah, dan masyarakat. (*)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar