Senin, 12 Oktober 2009

MATEMATIKA UN DAN UN MATEMATIKA

Matematika UN dan UN Matematika Oleh Dwi Rohmadi Mustofa (pemerhati pendidikan, tinggal di Bandarlampung) Artikel ini pernah dimuat di Tabloid FOKUS tahun 2007 Semua orang tua wali siswa yang menghadapi ujian akhir sekolah, dalam bulan-bulan ini dapat dipastikan lebih sibuk. Ujian Nasional alias UN, tak pelak lagi, menguras energi siswa kelas VI maupun kelas IX dan kelas XII. Demikian juga para orang tua siswa dan sekolah. Wacana passing grade atau nilai minimal untuk dapat dinyatakan lulus, menggema sejak tahun 2006 lalu, melalui ketetapan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Tahun 2007 ini, passing grade untuk tiga matapelajaran yang diujikan, nilai rata-rata minimal 5,00. Sebelumnya, nilai rata-rata untuk tiga matapelajaran yang diujikan adalah 4,10. Bedanya, tahun ini untuk satu matapelajaran yang nilainya 4,25 masih ditolerir asal diimbangi dengan nilai dua matapelajaran lainnya yang lebih besar sehingga memenuhi persyaratan nilai rata-rata 5,00. Padahal, tahun lalu, jika satu matapelajaran saja mendapat nilai di bawah 4,10 maka siswa tersebut dinyatakan tidak lulus. Khusus untuk Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), nilai minimum matapelajaran kompetensi yang diujikan minimal 7,00. Dampak Passing Grade Kebijakan ini tampaknya mengakomodasi keragaman aspek kemampuan siswa. Memang benar, tidak semua siswa memiliki kemampuan dan minat yang sama untuk tiga matapelajaran yang di-UN-kan. Dan di sinilah hakikat pendidikan, yaitu penghargaan atas perbedaan yang merupakan sifat melekat (pembawaan) setiap orang. Masih ingat beberapa kasus lalu? Siswa tidak lulus kemudian berebut mencari ijazah lewat program Paket B dan C. Jalan keluar ini pun menyisakan masalah. Program ujian penyetaraan menimbulkan gejolak karena biayanya tinggi dan dibebankan kepada peserta. Selanjutnya, pemegang besluied paket C tidak dapat mengikuti program ujian masuk perguruan tinggi negeri. Selain itu, selesainya penyelenggaraan paket C, melewati batas waktu penerimaan mahasiswa PTN! Passing grade juga menjadi momok bagi sekolah. Tahun kemarin, muncul ”tim sukses” di beberapa sekolah. Hebatnya lagi, ini terjadi merata di berbagai daerah di Indonesia. Sayangnya, tak terdengar lagi bagaimana kelanjutan episode ”tim sukses” tersebut. Satu lagi yang menjadi tugas berat sekolah. UN tahun 2007 dilaksanakan bulan April. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, UN digelar dalam bulan Mei. Sekarang, guru dituntut kerja ekstra; menyiapkan siswa mengikuti UN sehingga dapat lulus. Paling tidak, persentase kelulusan siswa di satu sekolah lebih baik dari tahun kemarin. Padahal, waktunya makin diperpendek, sedangkan beban kurikulum sama. Dalam kondisi seperti itu, ketika semua pihak sibuk mempersiapkan UN, maka di situ muncul kompetisi. Siswa pun berbondong-bondong mengikuti bimbingan belajar (bimbel). Pelajaran tambahan juga diselenggarakan di beberapa sekolah. Singkatnya, beban di pundak guru bertambah. Kecemasan akan hasil UN anak-anak juga menghinggapi para orang tua siswa. Soalnya, kalau sampai tidak lulus, biaya yang harus mereka keluarkan untuk mengulang kelas pasti tidak sedikit. Belum lagi ”rugi waktu” satu tahun, dan ketidakpastian apakah tahun depan pasti lulus. Para orang tua yang cemas akan hasil UN anak-anak mereka, pun mengikutseratakan anak-anaknya dalam bimbingan belajar di luar sekolah. Konsekuensinya, mengeluarkan biaya tambahan untuk membayar biaya bimbingan belajar. Lembaga bimbel yang menjamur pun kebanjiran peminat. Inilah mata rantai dan dampak dari kebijakan UN yang ditetapkan BSNP. Secara normatif, memang harus diakui bahwa semua itu dimaksudkan untuk meningkatkan mutu pendidikan. Tetapi, biaya yang ditanggung demikian besar, di mana sebagian besar dari biaya itu ditanggung oleh orang tua wali siswa. Matematika Ada apa dengan matematika? Kita mahfum, matematika adalah salah satu matapelajaran yang ditakuti oleh sebagian siswa. Padahal, semestinya, tidak demikian. Faktanya adalah, semua lembaga bimbel menawarkan bimbingan belajar matematika. Di sisi lain, nilai rata-rata terendah adalah matapelajaran matematika. Dengan demikian, matematika menjadi perhatian utama para pihak terkait UN; mulai dari guru, siswa, dan orang tua. Fenomena ini ditangkap oleh lembaga bimbel sebagai peluang untuk menyelenggarakan bimbel. Sejatinya, matematika ada di sekitar kita. Bahkan melekat dalam diri kita. Jari tangan misalnya, berjumlah 10. Jumlah ini menginspirasi lahirnya bilangan persepuluhan. Padahal, kita bisa saja menciptakan bilangan berbasis berapa saja, tidak mesti persepuluhan. Ketika transaksi jual beli, semuanya adalah matematika. Memasang keramik untuk lantai, membutuhkan matematika, agar lahir estetika dan efisiensi. Berapa luas lantai yang akan dipasang keramik, berapa ukuran luas keramik, dan berapa banyak keping keramik yang dibutuhkan. Inilah matematika. Ketika kita bepergian ke suatu tempat, berapa kira-kira jarak dan waktu tempuh yang dibutuhkan. Inilah matematika. Memasak nasi untuk satu keluarga dengan lima anggota keluarga, untuk konsumsi satu hari dengan makan tiga kali, misalnya, dibutuhkan kilogram beras. Ini juga matematika. Lalu, kenapa matematika harus ditakuti? Matematika memang membutuhkan kesabaran. Memberikan pelajaran matematika juga harus dengan kesabaran. Pada dasarnya, matematika sama juga dengan matapelajaran lainnya. Ia adalah aspek dasar yang dibutuhkan sebagai bekal kehidupan di masa depan. Keterampilan bermatematika harus ditanamkan sejak dini dengan cara yang benar. Guru matematika yang tidak sabaran, membuat anak-anak trauma, dan ”takut” terhadap matematika. Penyajian matematika yang kaku dan tidak menggugah minat siswa, hanya akan melahirkan sikap antipati siswa terhadap matematika. Beban Guru Matematika Dari gambaran tersebut, dapat dimengerti beban berat yang diemban para guru matematika, terutama guru yang mengajar di kelas VI, IX, dan XII. Mereka dituntut untuk dapat membimbing siswa sehingga mampu mengerjakan soal-soal matematika yang di-UN-kan, sementara prakondisi yang ada menunjukkan sebaliknya. Belum lagi masalah bahwa siswa yang akan mengikuti UN ini, di kelas-kelas sebelumnya diajar matematika oleh guru lain. Menghadapi UN tahun 2007 ini, semoga perjuangan para guru tidak sia-sia. Dan semoga para guru juga terbebaskan dari target-target persentase kelulusan yang memaksa mereka menempuh langkah-langkah tidak elegan, seperti tahun sebelumya; ”tim sukses”. Selamat bekerja. (*)

Tidak ada komentar: