Dedikasi dalam pendidikan, pembelajaran, persekolahan, teknologi, dan ilmu pengetahuan untuk kemajuan peradaban ummat manusia. Segala sesuatu yang besar, dimulai dari hal-hal yang kecil.
Senin, 12 Oktober 2009
PENDIDIKAN BUKAN HANYA DI SEKOLAH
Pendidikan Bukan Hanya di Sekolah
*Kado untuk Hari Guru 25 November
Dwi Rohmadi Mustofa, S.Pd.
Wakil Sekretaris FOKSIKA PMII Lampung
(Artikel ini pernah dimuat di Harian Radar Lampung, 27 November 2006)
Dunia pendidikan tampaknya sepanjang masa mengundang keprihatinan. Kalau boleh menyebut dengan istilah lain, pendidikan selalu menjadi ‘kambing hitam’. Mengapa? Kemiskinan yang menyelimuti sebagian besar masyarakat kita, dituding sebagai akibat dari proses pendidikan yang salah di masa lampau. Krisis ekonomi yang melanda negeri ini, tak luput juga dikaitkan dengan pendidikan masa lalu yang gagal menanamkan nilai-nilai dan membangun sikap mental mandiri dan bertanggung jawab.
Logikanya memang benar. Pelaku KKN sekarang, kan hasil pendidikan jaman dulu. Singkatnya, yang jelek-jelek, seperti kemiskinan, kebodohan, kejahatan, mudah saja dikaitkan dengan kegagalan pendidikan. Sedangkan jika ada prestasi yang diraih anak bangsa, sering cepat dilupakan. Anak-anak sekolah yang mbolos tertangkap tim penertiban, mudah sekali dikaitkan dengan buruknya pendidikan. Kenakalan remaja, demikian juga gampang diproyeksikan kepada pendidikan.
Tapi, tunggu dulu, mari kita analisis. Pendidikan adalah proses panjang mengubah sikap manusia ke arah yang lebih baik. Itulah hakikatnya pendidikan. Kalau soal kecerdasan, itu hakikat dari pembelajaran. Pendidikan adalah tanggung jawab banyak (semua) pihak. Kalau pendidikan disalahkan, atau output pendidikan dianggap gagal, maka yang bertanggung jawab adalah para pihak tadi.
Dalam pemahaman banyak orang, pendidikan diartikan sebagai persekolahan. Padahal, sekolah hanyalah salah satu jenis pendidikan yang formal. Pendidikan formal harus berhadapan dengan birokrasi. Birokrasi itu mengatur dan mengendalikan kurikulum, sarana dan prasarana, dan sumber daya manusia. Sedangkan birokrasi menghadapi masalahnya sendiri: kompleksitas, jenjang-jenjang kepangkatan (struktur), kecenderungan mempersulit, dan biaya tinggi.
Tujuan pendidikan yang sesungguhnya adalah mengubah sikap dan perilaku manusia, sehingga ia bisa menjadi manusia yang seutuhnya. Pendidikan adalah cita-cita luhur seluruh bangsa. Oleh karena itu, dalam Undang-undang Dasar 1945, masalah ini diatur dalam pasal tersendiri. Fakir-miskin dan anak-anak telantar juga diatur dalam pasal tersendiri.
Saya tak hendak mengeliminasi pentingnya birokrasi dalam penyelenggaraan pendidikan formal. Juga tak bermaksud mengatakan tidak adanya birokrasi dalam pendidikan informal ataupun nonformal. Dalam pendidikan nonformal, seperti pesantren, pasti ada birokrasi. Tetapi, pasti tidak serumit persekolahan. Dari sini yang patut kita ambil yaitu sesuatu yang menonjol dalam pesantren. Apa itu? Keteladanan. Keteladanan adalah bagian penting (terpenting) dari suatu proses pendidikan.
Proses Panjang
Pendidikan, yang tercermin dalam sistem persekolahan, menyangkut banyak aspek. Setidaknya, persekolahan mengandung unsur adanya siswa, guru, media belajar, metode belajar, kurikulum, materi belajar, dan evaluasi hasil belajar. Dengan demikian, sekolah terutama bertanggung jawab untuk mengubah anak-anak dari yang tidak tahu menjadi tahu, anak-anak yang tidak cerdas menjadi cerdas. Kalau diamati, dari semua unsure pendidikan di sekolah tadi, maka persekolahan telah mereduksi sendiri makna pendidikan yang sesungguhnya. Tengoklah beban kurikulum sekolah. Tak peduli kurikulum tahun berapa, atau apa pun namanya, semua kurikulum di sekolah kita memuat sedikit sekali pendidikan dalam makna yang hakiki.
Jika mengacu pada ajaran agama: tuntutlah ilmu dari ayunan ibu hingga ke liang lahat, atau tuntutlah ilmu walau ke negeri China, maka pendidikan adalah proses yang berlangsung sepanjang hayat. Di sisi lain, sekolah adalah proses yang dimulai dari anak-anak mulai memasuki sekolah dasar, saat mereka berumur 6 tahun. Di mana anak-anak dididik pada saat mereka bayi hingga usia enam tahun? Di mana anak-anak berada sepulang sekolah? Pertanyaan retoris ini hanya membuktikan, bahwa sekolah adalah bagian dari proses pendidikan yang dilembagakan. Pada kenyataannya, kurikulum persekolahan hanya memuat sedikit pembentukan mental dan perilaku ke arah menjadi “manusia seutuhnya”.
Saya tak bermaksud mengatakan persekolahan selalu buruk, menghambat perkembangan anak-anak, tidak demokratis dan sebagainya. Saya hanya ingin menegaskan bahwa pendidikan bukan hanya sekolah.
Kesejahteraan Guru
Dalam aspek-aspek yang ada di sekolah seperti disebutkan di atas, maka ”kambing hitam” yang mudah dituduh atas carut-marutnya wajah bangsa ini adalah guru. Kita sering lupa bahwa guru juga hanyalah salah satu bagian dari sistem persekolahan.
Mereka tidak akan ada artinya tanpa siswa, sarana belajar yang memadai, kurikulum yang komprehensif dan mutakhir, dan yang paling penting juga adalah perhatian atas kesejahteraannya. Kita mungkin juga sering lupa (atau mengabaikan) bahwa anak-anak di sekolah itu hanyalah ”titipan” kita sebagai orang tua kepada sekolah untuk ”diajar” dan syukur-syukur ”dididik”.
Mari kita perhatikan, bagaimana input (siswa) suatu sekolah, sarana dan prasarana, serta lingkungannya. Jika anak-anak yang bersekolah di suatu sekolah berangkat dari ”apa adanya”, maka kita juga tidak bisa berharap banyak akan output (lulusan) sekolah itu. Bila suatu sekolah dengan sarana yang serba kekurangan dan prasarana yang nyaris ambruk, maka kita juga tidak bisa menimpakan kesalahan hanya pada guru.
Bila guru, sebagai manusia, dengan segala keterbatasan yang manusiawi, harus memberikan perhatian kepada 40 anak dalam suatu kelas, maka kita juga tak pantas berharap bahwa semua anak akan mendapat ”sentuhan” guru. Apalagi sekolah yang kelasnya lebih dari 40 anak atau suatu sekolah yang gurunya harus mengajar pindah-pindah kelas. Bila guru yang memiliki beban tanggungan keluarga, hanya memperoleh penghasilan yang pas-pasan, maka kita juga naif berharap semua lulusan sekolah akan ”menjadi orang”.
Sekolah memang membutuhkan biaya. Oleh karena itu, tak salah jika sekolah menjadi tanggung jawab pemerintah yang mengemban amanah pendidikan bangsa. Kalau dibalik, sekolah adalah wujud dari pelaksanaan amanah undang-undang, yang merupakan tanggung jawab terbesar adalah pemerintah.
Sekali lagi, saya tidak apatis melihat pendidikan di masa depan atau persekolahan. Ini hanyalah sebuah pemikiran, agar kita tidak lupa, bahwa pendidikan adalah proses yang panjang dan berlangsung sepanjang hayat. Simplifikasi dari kompleksitas permasalahan dalam pendidikan dan persekolahan adalah: sejahterakan guru, rehabilitasi sekolah, perbaiki gizi anak-anak, tingkatkan sarana-sarana sekolah, perbarui kurikulum.
Sejahterakan guru bukan berarti gaji guru ditingkatkan berlipat-lipat, tapi melalui penilaian yang adil dan akuntabel. Guru yang sejahtera juga hendaklah dibarengi dengan pengembangan profesionalisme. Rehabilitasi sekolah maksudnya, perawatan dan perbaikan gedung sekolah secara transparan dan merata, tidak saja di perkotaan tapi di semua wilayah. Perbaiki gizi anak-anak artinya melibatkan kerja departemen/dinas/instansi terkait. Tingkatkan sarana-sarana sekolah berarti pemenuhan kebutuhan sarana belajar bagi anak-anak seperti buku-buku pelajaran, alat-alat laboratorium dan sebagainya. Guru yang sejahtera dan profesional, mudah-mudahan dapat mengajar dan mendidikan anak-anak generasi muda bangsa menjadi generasi penerus yang beriman, bertanggung jawab, mandiri, dan menghargai jasa para pahlawan. Selamat Hari Guru (*)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar