Senin, 12 Oktober 2009

GURU JUGA MANUSIA

Guru Juga Manusia (Kado untuk Hari Guru 25 November 2007) Oleh Dwi Rohmadi Mustofa, S.Pd. Pemerhati pendidikan, tinggal di Bandarlampung (Artikel ini dimuat RADAR LAMPUNG, 28 November 2007) Ketika membicarakan pendidikan, tak dapat dilepaskan dari menyoroti tentang guru. Dalam pendidikan, guru memiliki peran strategis, yang tidak dapat tergantikan oleh media pendidikan yang lain. Guru adalah bagian integral dari pendidikan. Pada bagian lain, pendidikan adalah cita-cita bangsa. Penyelenggaraan pendidikan adalah kewajiban negara dan hak setiap warga negara. Karena warga negara memiliki hak, maka warga negara juga memiliki kewajiban. Salah satu contoh yang nyata adalah bahwa setiap warga negara yang berusia 7 – 15 tahun wajib mengikuti pendidikan dan setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan pendidikan. Bila kita menghendaki pendidikan yang berkualitas, maka mau tidak mau juga harus disediakan guru yang berkualitas pula. Perhatian pemerintah terhadap guru sesungguhnya cukup baik. Tetapi dalam sistem kenegaraan kita, nuansa politik selalu saja melekat dalam setiap bentuk usaha pemerintah. Dikeluarkannya UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, pada waktu itu, menjadi “kado” manis bagi guru dan dosen. Di dalamnya diamanahkan berbagai perbaikan terhadap profesi guru. Yang paling menonjol adalah sertifikasi bagi guru, dibarengi dengan tunjangan profesional sebesar gaji pokok (bagi guru yang lulus sertifikasi). Isu sentral lain adalah tunjangan bagi guru di daerah terpencil dan lain sebagainya. Pelaksanaan sertifikasi guru ini pun, tampak tersendat-sendat. Hambatannya macam-macam, mulai dari persyaratan yang harus dipenuhi oleh guru, penyelenggaraan sertifikasi, hingga beban anggaran yang harus dialokasikan bagi guru yang sudah lulus serifikasi. Ketika berbicara anggaran, lagi-lagi, banyak faktor turut bermain. (Ingat, amanah agar pemerintah mengganggarkan minimal 20 % untuk pendidikan!) Profesi guru mengandung makna pengabdian, penghayatan terhadap kemanusiaan. Menjadi guru di era sekarang tampaknya belum banyak berubah dibanding dengan dekade silam. Kalaupun ada perubahan, itu terjadi pada sebagian guru. Sebagian kecil guru sudah memanfaatkan teknologi informasi untuk saling mengirim email. Tapi sebagian besar masih berkutat dengan tugas-tugas yang dilaksanakan dengan monoton dan miskin dinamika. Menurut penulis, menjadi guru rentan terhadap upaya marjinalisasi perkembangan potensi individu dan bahkan karier. Ini terutama menimpa para guru yang bertugas di perdesaan. Hal ini disebabkan mereka harus berkutat dengan tugas yang lebih banyak di tengah minimnya sarana dan prasarana pendidikan. Apalagi kalau ditambah dengan sikap pribadi yang mempercayai bahwa ”guru tidak pantas kaya” atau sikap semacam itu. Pendek kata proses adaptasi terhadap perubahan berlangsung lambat. Bagi guru yang ada di perkotaan, ”sikap kritis” terkadang diberangus oleh berbagai kepentingan lain. Kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) di daerah-daerah yang mestinya menjadi sarana bagi guru untuk berdiskusi, bertukar informasi, dan pengalaman serta memacu prestasi, sulit direalisasikan sebagaimana mestinya, mengingat keterbatasan jarak atau jangkauan wilayah. Pada akhirnya, forum itu tidak berjalan dengan baik. Contoh mengenai MGMP itu dapat diparalelkan dengan Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS), pendingkatan jenjang pendidikan guru; dari yang berpendidikan SPG ke Diploma II atau Diploma III dan sampai Strata I. Mirisnya lagi, jumlah guru di daerah-daerah di perdesaan jumlahnya lebih banyak. Dari segi kesejahteraan, perbaikan gaji guru, selalu saja dikejar dengan kenaikan berbagai kebutuhan pokok. Pada akhir tahun pemerintah mengumumkan akan menaikkan gaji guru (atau gaji PNS), yang akan mulai berlaku tahun depan, pada saat diumumkan itulah harga-harga berbagai kebutuhan pokok meningkat. Yang paling baru adalah pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di hadapan sekitar 25 ribu guru di Pekanbaru (Minggu, 25/11). Kata Presiden: ”Saya akan meningkatkan pendidikan dan kesejahteraan guru. Ini adalah komitmen dan tanggung jawab negara menaikkan kesejahteraan. Jumlahnya tentu signifikan, tapi tidak meninggalkan tugas peningkatan kesejahteraan profesi lain.” Semoga itu semua dapat terwujud. Dan memang profesi guru juga layaknya profesi yang lain, yang membutuhkan pendidikan, pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi. Rasanya tidak ada guru yang mengharapkan digelari sebagai pahlawan. Penyebutan guru laksana pahlawan tanpa tanda jasa penulis yakin bukan digembor-gemborkan oleh guru, tapi oleh orang lain. Nah berbicara pendidikan, maka perbaikan pendidikan akan berlangsung selamanya. Kalau sekarang dunia pendidikan masih centang perenang, maka dengan peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru, tampaknya dapat membuka jalan bagi perbaikan dunia pendidikan yang signifikan. Sebab guru adalah simpul ujung praktek pendidikan. Wajah ’bopeng” pendidikan memang tak bisa ditutupi. Kalau wajah bopeng pendidikan merupakan aib, maka itulah aib kita semua, warga bangsa. Praktek pendidikan tidak cuma dilaksanakan oleh guru. Dalam persekolahan, ada kepala sekolah, ada kepala Cabang Dinas Pendidikan, ada Dinas Pendidikan dan seterusnya ada Departemen Pendidikan Nasional. Kemudian, yang menjadi atasan Kepala Dinas Pendidikan toh ada Bupati/Walikota/Gubernur. Ketika praktek pendidikan belum sesuai dengan yang diinginkan, semunya memiliki kewajiban untuk memperbaiki. Jadi bukan cuma guru. Guru adalah manusia biasa yang memiliki keterpanggilan untuk mendidik anak bangsa. Guru memiliki keluarga yang juga mempunyai berbagai kebutuhan yang harus dipenuhi. (*)

Tidak ada komentar: