Senin, 12 Oktober 2009

GURU PROFESIONAL: ANTARA MIMPI DAN KENYATAAN

Guru Profesional: Antara Mimpi dan Kenyataan Oleh Dwi Rohmadi Mustofa, S.Pd. Pemerhati pendidikan, tinggal di Bandar Lampung (Artikel ini pernah dimuat di Tabloid FOKUS, tahun 2007) Salah satu pertanyaan paradigmatik dalam penyelenggaraan pendidikan yang menjadi wacana sepanjang masa adalah; adakah guru profesional? Pertanyaan ini mengandung makna filosofis karena menuntut jawaban yang bercampur antara konsepsi, kebutuhan, dan praktek, serta kenyataan bahwa pendidikan berkaitan dengan kepentingan setiap orang. Dalam konsep pendidikan, guru dipandang sebagai salah satu unsur penting sebagai fasilitator yang aktif. Tentunya masih banyak unsur lain yang berperan dalam proses pendidikan seperti sarana dan prasarana, materi pendidikan, kurikulum, peserta didik, media belajar, dan sebagainya. Dalam pendidikan pada sistem persekolahan, guru berperan sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, teladan, dan sebagainya. Pendek kata, guru adalah orang yang penting, di mana kehadirannya menjadi mutlak diperlukan. Dapat dibayangkan apa jadinya bila suatu kelas, dengan 40 siswa, misalnya, tanpa ada guru. Sedangkan persekolahan, dipandang oleh kebanyakan orang, sebagai suatu jalur pendidikan utama yang menjanjikan banyak hal; ilmu, pengetahuan, keterampilan, ijasah, dan prestise!. Di sisi lain, guru juga menjalani tugas-tugas harian yang sulit, yang tampak kontradiktif. Sebagai profesi mulia dan pengabdian kepada bangsa dan negara, tak pantas guru mengharapkan imbalan materiial atas jerih payah dan tetesan keringatnya. Tetapi, sebagai manusia, yang memiliki keinginan, kebutuhan, dan harapan, sangat naif jika bekerja tak mengharapkan imbalan atas jasanya. Guru memiliki keluarga, di mana umumnya, dalam satu keluarga, yang bekerja sebagai guru menjadi penopang atas kebutuhan keluarga tersebut. Terlalu banyak pula predikat yang diberikan bagi guru, walau kadang menjadi plesetan tak mengenakkan. Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Hal ini mengandung arti ganda; pertama, guru berkerja tanpa pamrih, tulus ikhlas, tanpa mengharapkan tanda jasa atau penghargaan. Namun ini juga dapat berarti bahwa guru tak perlu diperhatikan, karena pilihan profesi menjadi guru adalah pilihan mereka sendiri. ”Sudah tahu guru pahlawan tanpa tanda jasa, kenapa mau jadi guru!”. Guru digugu (bahasa Jawa) dan ditiru. Artinya, guru adalah orang yang segala sikap dan perilakunya menjadi panutan dan harus ditiru oleh siswanya. Predikat ini juga memposisikan guru dalam tempat yang mulia, tetapi terkadang membuat segala sesuatunya salah kaprah. Sebagai manusia, guru juga memiliki berbagai keterbatasan, kelemahan, dan kekurangan. Kalau semua sikap dan tingkah laku guru harus digugur dan ditiru, hal ini dapat membahayakan siswanya. Karena tidak semua sikap dan perilaku guru benar secara mutlak. Bagi siswa juga tidak menguntungkan karena mengurangi otonomi dan kemandiriannya. Tentu saja, jika yang ditiru hal-hal yang positif, tak jadi masalah. Masih banyak lagi istilah yang diberikan bagi profesi guru, seperti ”pelita dalam kegelapan”, ”embun penyejuk dalam kehausan” dan sebagainya. Dalam hymne guru, yang satu frase yang kiranya pas, adalah ”engkau patriot, pahlawan bangsa”. Tapi, hal ini juga bersambung dengan ”tanpa tanda jasa”. Bahkan sebenarnya, ”patriot”, dan ”pahlawan”, berkonotasi dengan ”tak mengharap imbalan”. Jadi, lagi-lagi, di pekerjaan sebagai guru disetting sebagai tak perlu mengharap imbalan. Meskipun demikian, kenyataannya sekarang adalah guru sebagai profesi. Pekerjaan yang digolongkan sebagai profesi mensyaratkan keahlian, pendidikan khusus, pekerjaan berkelanjutan, menjadi sumber matapencaharian, dan adanya imbalan yang pantas dan sebanding atas jasa yang diberikan. Oleh karena itu pertanyaan yang menggelayut sekarang adalah: adakah guru profesional? Jawabnya, tentu ada. Tingkatannya saja yang berbeda, tergantung bagaimana ukuran dan mengukurnya. Apakah guru profesional adalah mesti pegawai negeri sipil, apakah guru bantu termasuk profesional, bagaimana dengan keberadaan guru yang ”membantu” di sekolah-sekolah swasta di perdesaan, yang bekerja sebagai panggilan jiwa mendidik anak-anak di desa setempat, dan seterusnya. Secara istilah, jelaslah bahwa pekerjaan guru adalah profesi. Dari gambaran persekolahan, nyata juga bahwa guru berperan sentral dalam sekolah. Norma-norma yang tertuang dalam Undang-undang Guru dan Dosen yang diundangkan tahun 2005 sampai sekarang menjadi perdebatan, akibat dibutuhkannya aturan pelaksanaan yang demikian banyaknya. Paling tidak dibutuhkan 25 peraturan pemerintah sebagai landasan untuk melaksanakan amanat UU tersebut. Pelaksanaan atas amanat undang-undang tersebut juga membutuhkan anggaran, yang ”debatable” dengan Departemen Keuangan, APBN/APBD, dan seterusnya. Dugaan semula bahwa UU Guru dan Dosen menjadi ”angin surga” bagi profesi guru, ternyata terbukti. Meskipun patut disyukuri, bahwa UU tersebut dapat dijadikan payung hukum dan pegangan di masa depan bagi profesi guru dan dosen. Menjadikan suatu pekerjaan sebagai profesi yang dilaksanakan secara profesional memang bukan pekerjaan mudah. Apalagi ini menyangkut pendidikan anak bangsa, yang menjadi tumpuan harapan kemajuan dan kelangsungan negeri ini. Menjadikan guru profesional, paling tidak dipenuhinya persyaratan profesi tersebut: adanya keahlian, adanya pendidikan khusus, dan pekerjaan berkelanjutan. Hal ini mengisyaratkan bahwa guru juga harus terus ”di-upgrade” seiring perkembangan ilmu pengetahuan, kemajuan teknologi, perubahan kebijakan pemerintah, dan dinamika lingkungan masyarakat. Isu besar pendidikan di Indonesia sekarang ini adalah peningkatan kualitas, pemerataan kesempatan, dan keterkaitan pendidikan dengan ”dunia nyata”. Penulis tak ingin menggunakan istilah dunia kerja, karena istilah ini dapat mereduksi makna hakikat pendidikan. Peningkatan kualitas, tentunya, dalam semua aspek; mulai dari input, proses, output, dan segenap sumber daya yang dibutuhkan. Guru sebagai sumber daya manusia yang berperan strategis dalam lingkungan pendidikan, hendaknya menjadikan pekerjaan ini sebagai profesi yang dikerjakan secara profesional. Kesiapan secara mental psikologis dari guru sangat diperlukan dalam membentuk sikap profesional guru. Artinya, guru sendiri harus mengakui bahwa pekerjaan sebagai guru adalah pekerjaan yang menjanjikan; sebagaimana profesi lain. Sebagai guru, ia harus bangga menyandang segala atribut guru. Ia mesti tampil sebagai pelaksana tugas bangsa dan negara, menjalankan fungsi profesional, dan menjadi warga masyarakat yang terdepan dalam tindak-tanduk di lingkungannya. Tugas guru profesional, harus diakui, sangat berat. Ia harus melaksanakan fungsi pendidikan, pengajaran, administrasi, dan sebagainya. Malangnya, dalam banyak sekolah kita, fungsi-fungsi tersebut bercampur baur seperti benang kusut. Ini yang terjadi baik guru pegawai negeri maupun guru di sekolah swasta. Dalam sekolah, misalnya, guru harus mendidik, mengajar, dan melaksanakan tugas-tugas administrasi ”kepegawaian”, yang seharusnya dijalankan oleh petugas lain dalam sekolah, maupun kedinasan. Guru harus mengurus administrasi pangkat kepegawaiannya sendiri, sementara perlengkapan serba terbatas. Pemerintah sebagai pengemban amanah rakyat, hendaknya dapat lebih memperhatikan masalah ini. Hal ini juga memerlukan dukungan politisi, perguruan tinggi, dan masyarakat. Upaya menjadikan guru profesional, tidak saja membutuhkan anggaran, tapi juga keseriusan, komitmen, dan ketulusan. Anggaran besar saja, tidak akan menjadi jaminan keberhasilan menjadikan guru profesional. Pendidikan memang membutuhkan biaya. Pendidikan itu mahal. Tapi UUD negara kita secara eksplisit dan tegas menyatakan bahwa setiap warga negara berhak atas pendidikan dan pengajaran. Demikian juga halnya dengan komitmen di atas kertas dan ketulusan semata-mata. Alternatif yang mungkin adalah pembenahan secara simultan, bertahap, dan dengan kemauan yang tinggi dari semua kalangan. Dalam perspektif mikro, memprofesionalkan guru juga harus dibarengi dengan memprofesionalkan kepala sekolah dan tenaga administrasi, serta segala yang berkaitan dengan pekerjaan guru. Birokrasi ”Dinas” atau ”Yayasan” juga harus profesional. Manakala guru sudah melaksanakan kewajibannya, berikanlah segala sesuatu yang menjadi haknya. Sehingga nanti tidak ada lagi istilah, guru nyambi ngojek, pedagang keliling, atau guru nyambi jadi makelar. Pemberian penghargaan kepada guru sering dipolitisir, dengan berbagai alasan. Kenaikan gaji guru atau pemberian tunjangan, sering berhubungan dengan moment politik. Padahal, kenaikan gaji guru atau tunjangan (apapun namanya), sering lebih dulu dikejar oleh kenaikan harga kebutuhan pokok. (*)

Tidak ada komentar: