Senin, 12 Oktober 2009

REVITALISASI PENDIDIKAN DI MADRASAH

Revitalisasi Pendidikan di Madrasah Dwi Rohmadi Mustofa, S.Pd. (Artikel ini telah dipublikasikan pada Tabloid FOKUS, Tahun 2006) Awal tahun 1980-an, di kampung saya, di daerah Lampung Timur, ada tiga SD negeri dan satu madrasah ibtidaiyah swasta serta satu SD Muhammadiyah. Pada waktu itu, masing-masing SD di ketiga SD negeri itu siswanya mencapai ratusan. Sedangkan di madrasah ibtidaiyah swasta dan di SD Muhammadiyah itu, seluruh siswanya dari kelas 1 hingga kelas 6 jumlahnya hanya puluhan. Di akhir tahun 1990-an, SD Muhammadiyah tidak beroperasi lagi. Sedangkan madrasah ibtidaiyah kondisinya tak jauh beda dengan tahun 1980-an. Nah kalau SD negeri itu, tetap ada dan siswanya makin banyak. Itu dari segi kuantitas. Dari sisi sarana dan prasarana, terdapat kesenjangan yang luar biasa. Kalau SD negeri berdinding tembok diplester dan lantai semen, yang SD Muhammadiyah dan madrasah ibtidaiyah berdinding papan dan berlantai tanah. Gambaran kondisi sekolah tersebut ternyata masih berlangsung sampai sekarang. Dan saya yakin, kondisi serupa terjadi di berbagai daerah, bukan hanya di kampung saya. Dewasa ini, ketika era otonomi daerah merajai, dampak positif bagi perkembangan madrasah masih kurang menggembirakan. Dalam berbagai pemberitaan media, kondisi terpinggirkan (marjinal) madrasah sebagai akibat diskriminasi terhadap madrasah. Bahkan, di berbagai forum pertemuan baik pejabat Departemen Agama maupun kalangan madrasah itu sendiri, topik ”diskriminasi” tak habis-habisnya jadi pokok pembicaraan. Tapi lagi-lagi hasilnya hanya statemen pasca pertemuan itu. Langgengnya diskriminasi dapat diduga karena tidak adanya kebijakan sistematis baik menyangkut anggaran maupun kebijakan strategis lainnya. Pada sisi lain kalangan pengelola madrasah negeri maupun swasta tetap tak berdaya. Di era otonomi daerah, ketika bidang pendidikan sebagian besar sudah diurus/diserahkan ke daerah (Dinas Pendidikan), pembinaan madrasah dari madrasah ibtidaiyah hingga aliyah bahkan sampai perguruan tinggi/IAIN, masih tetap di bawah Departemen Agama. Dalam hal kurikulum, penyediaan sarana dan prasarana, tenaga kependidikan dan sebagainya di madrasah dan perguruan tinggi agama, Departemen Agama merupakan leading sector. Ini tentu saja berbeda dengan sekolah umum baik negeri maupun swasta, di mana Daerah berperan besar dalam penentuan kebijakan. Dalam konteks ini, Departemen Pendidikan Nasional bertindak selaku regulator, sedangkan implementasinya lebih banyak menuntut partisipasi dan kreativitas Daerah. Memang harus diakui bahwa era otonomi daerah, menimbulkan dikotomi Pusat dan Daerah. Sekarang, terminologi Pusat dan Daerah menjadi istilah semakin akrab di telinga kita. Pertanyaan muncul manakala output sekolah-sekolah agama tersebut (madrasah hingga perguruan tinggi agama [termasuk IAIN/STAIN]) diharapkan memiliki profil yang sama dengan mereka yang sekolah di sekolah umum. Sekadar ilustrasi, lulusan madrasah ibtidaiyah dapat masuk ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) umum, demikian seterusnya. Mungkin agak berbeda dengan perguruan tinggi agama yang sudah memiliki spesifikasi profil lulusan yang diharapkan, karena mereka akan segera memasuki dunia kerja. Padahal di sisi lain, isi kurikulum yang dipakai di madrasah dan sekolah umum berbeda, karena institusi induk yang menjadi leading sector juga berbeda. Sudah saatnya kini kita meninjau kembali model struktur dalam pembinaan madrasah ini, guna memperpendek rentang kendali serta efisiensi dan efektivitas. Selain itu, potensi dan kreativitas Daerah juga agar dapat lebih memperoleh tempat dalam memajukan pendidikan di daerah masing-masing. Salah satu contoh kongkret yang mirip dengan topik ini adalah penyelenggaraan ibadah haji oleh Departemen Agama. Sejak beberapa tahun lalu sudah banyak pihak yang mengusulkan agar penyelenggaraan ibadah haji dilaksanakan oleh suatu badan tersendiri atau departemen tersendiri. Belakangan pemerintah memutuskan bahwa penyelenggaraan ibadah haji masih menjadi tanggung jawab Departemen Agama (Radar Lampung, 8 Februari 2007). Jika siklus ibadah haji yang setahun sekali dengan jumlah jemaah sekitar 205 ribu jemaah saja muncul tuntutan agar ”direformasi”, apalagi dengan proses pendidikan dan pembelajaran di madrasah di seluruh Indonesia. Madrasah di Indonesia memang memiliki sejarahnya sendiri. Bermula ketika para orang tua menghendaki agar anak-anaknya memiliki bekal pengetahuan agama yang kuat. Waktu itu, mereka menitipkan anak-anak itu pada surau, majelis taklim, masjid dan sejenisnya di mana di dalamnya ada pelajaran mengaji. Lambat laun, model ini melembaga hingga menjelma menjadi madrasah yang kita kenal sekarang ini. Pemerintah semula menetapkan bahwa madrasah adalah sekolah umum dengan ciri khusus keagamaan. Tapi, apa manfaat yang sudah bisa dirasakan kini? Beberapa Masalah Dalam hal penyelenggaraan pendidikan, dikaitkan dengan pendidikan di madrasah dan otonomi daerah, terdapat beberapa poin yang menuntut perhatian besar. Bagaimana manajemen pendidikan di madrasah dan perguruan tinggi agama dilaksanakan? Bagaimana peran pemerintah dan masyarakat dalam memajukan pendidikan di madrasah dan perguruan tinggi agama? Bagaimana profil lulusan madrasah dikomparasikan dengan lulusan sekolah umum. Apakah pengelolaan madrasah diserahkan ke Daerah dan regulasi oleh Departemen Pendidikan Nasional. Di tingkat lulusan perguruan tinggi agama, berapa formasi rekrutmen calon pegawai negeri sipil (CPNS) setiap tahunnya yang tersedia bagi mereka? Melalui tulisan ini kiranya dapat memetakan dinamika pendidikan di madrasah dan perguruan tinggi agama. Para pihak yang terlibat dalam pengelolaan pendidikan di madrasah dan perguruan tinggi agama dan pengambil kebijakan bidang pendidikan, diharapkan dapat selalu memperoleh inspirasi sehinga kebijakan yang diambil dapat lebih konstruktif dan implementatif. Dengan demikian dikotomi Pemerintah Pusat dan Daerah; dikotomi madrasah dan sekolah umum dapat menjadi titik tolak yang kokoh dalam mengelola pendidikan di masa depan. Menghilangkan Stigma Diskriminasi Sudah menjadi rahasia umum, bahwa madrasah bukan pilihan pertama dan utama para orang tua untuk menyekolahkan putra-putrinya. Hanya sebagian kecil saja orang tua kini yang mengidamkan anaknya dapat bersekolah di madrasah atau perguruan tinggi agama. Di Lampung, tengoklah kapasitas IAIN dan jumlah peminatnya setiap tahun. Belum lagi kalau kita mau menelisik lebih jauh, ”minat dan motivasi” pendaftar ke IAIN. Sudah saatnya kini menghilangkan diskriminasi (sadar atau tidak) terhadap madrasah dibanding sekolah umum. Kemudian yang lebih penting lagi adalah membebaskan sekolah (pendidikan) dalam cengkeraman birokrasi yang bertele-tele, gamang, atau inkonsisten. Pemerintah juga hendaknya memberikan alokasi anggaran yang cukup dan proporsional bagi pendidikan di madrasah ini. Sebenarnya, kalau mau jujur, tidak terlalu menjadi persoalan siapa atau instansi mana yang bertanggung jawab dalam pembinaan madrasah, asalkan pada tingkat operasional tercipta pemahaman dan kesetaraan perlakuan. Hampir tidak pernah kita dengan kampanye atau sosialisasi (sounding) bahwa madrasah sama dengan sekolah umum; baik dalam penyediaan penganggaran, penyediaan prasarana dan sarana, pembinaan kelembagaan, proses belajar-mengajar, dan lulusannya. Berbagai persoalan tersebut, menjadi PR bagi kepala daerah, bupati/walikota, gubernur, untuk dapat ”memperhatikan” bagaimana madrasah dapat menjadi pilihan utama para orang tua menyekolahkan putra-putrinya. Warning yang sama juga perlu menjadi atensi bagi para pengelola madrasah. Memang dalam pengelolaan pendidikan di semua jenjang, kunci jawaban yang paling penting adalah peningkatan kualitas secara terus menerus (continuous quality improvement). Di kalangan madrasah, boleh dikatakan terdapat bahaya laten ”krisis identitas”, yang dipicu oleh berbagai stigma diskriminasi yang berlangsung lama. Jika saja kita dapat menghilangkan diskriminasi itu, maka idealisasi akan pewarisan nilai-nilai pendidikan agama dapat terjaga, dan yang lebih utama adalah lahirnya kader-kader pemimpin dengan basis pendidikan agama yang andal. Kita tentu tak ingin terjadi krisis kader bangsa yang memiliki basis pendidikan agama yang kuat, yang memegang teguh ajaran agama dan menerapkannya di lingkungannya masing-masing. Kita jelas tak ingin mimpi buruk menjadi kenyataan, yaitu ”hilangnya” generasi yang santun, cerdas, religius, dan terampil. Kita pasti tak mengidamkan profil generasi muda yang cerdas saja tapi kering moralitas. Diskursus yang berkembang adalah untuk menciptakan kader dai dan ulama tidak mesti melalui madrasah/IAIN/STAIN. Masih banyak pola pendidikan nonformal yang menyediakan fasilitas untuk mencetak dai dan ulama, yaitu pondok pesantren modern dan berbagai pelatihan. Penulis mengundang atensi dari semua pihak untuk urun rembug dan berpolemik dalam masalah ini. Harapannya, bukan mencari kambing hitam, tetapi membangun rumah bagi pendidikan anak-anak kita di masa depan yang lebih baik. (dwi rohmadi mustofa)

Tidak ada komentar: