Senin, 12 Oktober 2009

CPNS DAN MIMPI-MIMPI GENERASI MUDA

Rekrutmen CPNS 2008 & Mimpi Generasi Muda Dwi Rohmadi Mustofa Pengamat pendidikan tinggal di Bandar Lampung (Artikel ini ditulis Februari 2008) Rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) telah menjadi “ritual” tahunan. Ternyata, sampai hari ini, menjadi PNS merupakan impian banyak generasi muda. Di awal tahun 2008 pemerintah daerah di Lampung melakukan rekrutmen CPNS. Ribuan peserta seleksi CPNS di Lampung memadati berbagai lokasi tempat tes. Rupanya memang momen ini selalu ditunggu banyak orang. Informasi tentang formasi apa yang lowong dan berapa banyak yang dibutuhkan, selalu dinantikan para pencari kerja. Ringkasnya, “mimpi” menjadi PNS itu telah menghiasi benak ribuan bahkan jutaan pencari kerja. Hampir setiap hari, di setiap sudut ruang tema “ikut tes PNS” menjadi topik pembicaraan. Yang selalu menarik direkam dari setiap pembicaraan itu adalah soal “harga”. Maksudnya, dalam seleksi CPNS selalu ada pihak-pihak yang menyebar jaring yang katanya “bisa memasukkan” ke dinas a atau kantor b. Konon biaya untuk menempuh jalan mulus itu “cukup” Rp.100 juta saja. Rahasia umum ini memang selalu mencuat, dan seperti tidak ada bosan-bosannya dibicarakan. Padahal, semua orang juga tahu, bahkan sangat tahu, kalau yang namanya “suap” alias sogok itu seperti aroma. Karena dikonotasikan busuk, maka sogok atau suap itu diistilahkan dengan “kentut”. Namanya juga bau, sebentar saja hilang. Apalagi kalau memang ada usaha menghilangkan bau busuk itu. Jadi pastilah bau itu cepat hilang, bahkan berubah aroma harum semerbak mewangi. Pemantauan Mencermati prosesi rekrutmen CPNS dalam beberapa tahun terakhir, terlihat bahwa partisipasi masyarakat dalam mengawasi pelaksanaan rekrutmen CPNS meningkat. DPRD juga melakukan pemantauan proses rekrutmen CPNS. Sesaat segera setelah panitia mengumumkan adanya formasi dan akan melakukan rekrutmen, maka beberapa aktivis pun juga ancang-ancang memantau. Kemudian, antar lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan gabungan pemerhati sosial merapatkan barisan membangun koalisi. Media massa pun menyambut dengan ”gegap gempita”. Judul besar ditulis, misalnya, ”Baca Besok Penerimaan PNS”. Media pun menjadi corong bagi berbagai pihak yang kurang puas dengan pelaksanaan rekrutmen CPNS. Semua pihak tersebut, tujuannya satu, mengawasi pelaksanaan rekrutmen CPNS, agar berlangsung jujur, adil, dan akuntabel. Tapi muluskah jalan pemantauan atau pengawasan itu? Dalam kenyataannya, seusai proses rekrutmen, meskipun muncul berbagai pertanyaan, kritikkan, gugatan, dan bahkan hujatan, tak ada yang dapat membuktikan adanya suap. Protes yang dengan gamblang menunjukkan indikasi sangat substansial atas indikasi kecurangan pun kemudian dijawab dengan ”salah ketik” atau misskomunikasi. Pemrotes pun kadang dibuat bingung, dengan saling lempar tanggung jawab dari meja panitia yang satu ke meja panitia yang lain. Mau gugat ke pengadilan? Rasanya belum ada yang rela memberikan energinya untuk berurusan atau mengurusi dugaan kecurangan dalam rekrutmen CPNS. ”Rame-rame” di surat pembaca dan pemberitaan media pun tak ada yang dapat membuktikan ”aroma busuk” dalam setiap kali rekrutmen CPNS. Selanjutnya, koalisi LSM yang mengawasi proses seleksi CPNS itu juga kian tak terdengar, atau mungkin sudah berganti isu. ”Aroma busuk” rekrutmen CPNS sebenarnya tercium sejak lama. Tapi lagi-lagi, siapa yang dapat membuktikan. Faktor Penarik dan Pendorong Rekrutmen CPNS secara teori ekonomi rupanya mengikuti mekanisme pasar. Ada permintaan, ada penawaran. Ketika peminat atau permintaan membludak, maka penawaran juga naik. So, ini berarti bisa jual mahal gitu lho. Dengan demikian berarti bahwa sampai kapan pun, bila permintaan tinggi, maka penawaran juga akan naik. Dalam konsepsi yang lain juga mengajarkan bahwa, dalam setiap momentum yang terjadi di masyarakat selalu saja ada peluang untuk meraih keuntungan. Pemburu rente pun berkeliaran. Cerita lain lagi berkembang di kalangan pegawai negeri. Artinya, termasuk mereka yang sudah lolos rekrutmen CPNS. Dari hari ke hari, yang dihitung kemudian adalah kum atau angka kredit dan pangkat/golongan. Rekan penulis, sebagian besar teman, mau mengikuti pendidikan yang lebih tinggi baik S1 maupun S2 demi mudahnya meraih pangkat dan jabatan yang lebih tinggi. Padahal, untuk dapat mengikuti pendidikan S1 atau S2 yang biayanya cukup besar tersebut, dia mesti mengutang ke bank alias menggadaikan SK-nya sebagai PNS. Ujungnya, mengikuti pendidikan S1 atau S2 tersebut bukan untuk belajar mengasah kecerdasan, membangun sikap positif dan meningkatkan profesionalisme. Ini karena motivasi utamanya adalah ”mengejar pangkat dan atau jabatan”. Tak peduli kuliah di mana yang penting S2 diraih dan kemudian menggunakannya untuk memenuhi salah satu persyaratan ”menjemput” pangkat dan atau jabatan yang lebih tinggi. Maka jadilah lingkaran yang tak berujung dan tak berpangkal: Pangkat, jabatan, gaji, gengsi, fasilitas, pangkat, jabatan, gaji, gengsi, fasilitas, dst. Kalau demikian halnya, mengapa sampai kini orang masih mendambakan menjadi PNS? Bagaimana menyikapi kondisi seperti ini? Kalau mau jujur, melihat tugas dan pekerjaan orang lain lebih enak dari tugas dan pekerjaan kita sendiri. Tapi manakala kita masuki atau memerankan tugas dan pekerjaan orang lain yang kita ”iri” itu, maka kita akan merasa tidak enak juga. Benar kata pepatah, ”rumput tetangga terlihat lebih hijau dari rumput di rumah kita.” Secara subyektif, menjadi pegawai negeri terkesan enak. Ini dapat dideskripsikan dari beberapa kondisi berikut: Pertama, adanya anggapan dalam masyarakat yang memandang menjadi pegawai negeri ”lebih terhormat” daripada jenis pekerjaan lain. Maka tak heran jika kemudian ada CPNS yang baru saja lulus, kemudian membuat seragamnya dengan warna yang sedikit berbeda dan bahan dasar yang lebih mahal serta tekstur yang mewah, untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah ”lebih terhormat” dari yang lain. Padahal sejatinya menjadi pegawai negeri adalah aparatur pemerintah yang bertugas memberikan pelayanan kepada masyarakat, sesuai dengan bidangnya masing-masing. Kedua, adanya jaminan pendapatan tetap tiap bulan baik berupa gaji maupun tunjangan. Bahkan jaminan pendapatan itu berlanjut sampai pensiun. Pendapatan tetap atau gaji itu juga bisa ”digadaikan” di bank. Ketiga, pekerjaannya terlihat enak, umumnya dalam ruangan, dan dalam satu ruangan itu banyak pegawainya. Masing-masing pegawai punya meja dan kursi. Karena dalam ruangan, kalau sedang tidak ada pekerjaan, bisa ngobrol. Apalagi kalau atasannya tidak ada atau juga hobi ngobrol. Selanjutnya, pembaca dapat menuliskan sederet indikator lain enaknya jadi PNS sesuai dengan ”mimpi”nya masing-masing yang berjudul, ”Bila saya PNS”. Kalau diajukan pertanyaan mengapa orang mau menjadi PNS, salah satu jawaban yang mengemuka pastilah karena sekarang susah mencari kerja. Selanjutnya, dengan menjadi PNS akan banyak keenakan yang bakal dinikmati. Maka menjadi PNS merupakan dambaan banyak generasi muda mengalahkan profesi lain yang sama-sama mulia kalau dijalankan dengan sebaik-baiknya. Politik Anggaran Sebenarnya pengadaan pegawai di lingkungan pemerintahan tak lepas dari masalah ketenagakerjaan dan politik anggaran. Dalam masalah ketenagakerjaan, pemerintah dihadapkan pada problem penyediaan lapangan kerja dan kebutuhan akan sumber daya manusia yang berkualitas. Menyediakan lapangan kerja melalui sektor industri ada batasnya. Mengundang investor juga memerlukan berbagai insentif. Di sisi lain para pemilik modal akan sangat berhati-hati dalam memulai atau mengembangkan usahanya. Sektor pertanian dan perkebunan yang menyerap banyak tenaga kerja dianggap oleh banyak orang kurang menarik. Ini karena menurut sebagian orang termasuk ”pekerjaan kasar”. Berbeda dengan pegawai, yang secara umum dianggap sebagai ”pekerjaan halus”. Konsekuensi dari merekrut pegawai bagi pemerintah adalah penambahan anggaran untuk gaji dan pendapatan bagi pegawai. Ini harus dihitung sampai pada soal berapa banyak pegawai yang pensiun, dan pegawai yang direkrut itu juga selesai masa kerjanya dan pensiun kelak. Namun demikian, di sisi lain dengan gaji pegawai negeri juga dianggap sebagai salah satu lokomotif ekonomi yang menggerakkan berbagai sektor produksi di masyarakat. Lihatlah betapa banyak SK PNS yang dijadikan jaminan di bank. Uang yang dipinjam dari bank itu kemudian dijadikan modal untuk membuka usaha ataupun investasi. Kalaupun toh uang pinjaman itu digunakan untuk keperluan konsumtif, ini dapat diartikan bahwa dengan membeli barang atau jasa juga dapat diasumsikan berkontribusi dalam menggerakkan roda perekonomian. Semoga sumbang saran ini memberikan sedikit pencerahan. (*)

Tidak ada komentar: